Perdagangan Lintas Batas di Kawasan Perbatasan Indonesia - Malaysia; Sebuah Kajian Terhadap Implementasi Border Trade Agreement (BTA) Tahun 1970 di Kalimantan Timur

A. Latar Belakang

Teori pertumbuhan ekonomi neoklasik menyebutkan bahwa keterbukaan sistem ekonomi suatu Negara, terutama melalui kegiatan investasi - perdagangan luar negeri akan mendorong  pertumbuhan ekonomi Negara bersangkutan (Todaro, 2006; 151). Ini mengartikan betapa pentingnya suatu Negara untuk melakukan perdagangan bebas, walaupun realitas perdagangan bebas dalam arti sebenarnya belum dapat diwujudkan - banyak Negara mengimplementasikan bentuk lain perdagangan bebas dalam skala bilateral, multilateral ataupun regional (kawasan). Negara maju sendiri, seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa saat ini sudah mulai merumuskan kawasan perdagangan bebas transatlantik; dan apabila ini dapat diwujudkan, maka akan menciptakan kawasan perdagangan bebas terbesar di dunia (Kompas; JumÆat, 17 Januari 2013). Dilingkungan ASEAN sendiri, bentuk perdagangan bebas kawasan berupa ASEAN Free Trade Area (AFTA) dan antara ASEAN dengan China sudah melahirkan ASEAN - China Free Trade Area (ACFTA) yang mulai berlaku efektif tahun 2010. Demikian pula antara Brunei - Indonesia - Malaysia - Philipina; terdapat  kerjasama ekonomi (termasuk perdagangan) untuk menciptakan kawasan pertumbuhan ekonomi yang dinamis; BIMP - EAGA (Brunei, Indonesia, Malaysia and Philippines - East ASEAN Growth Area).
Secara teoritis; apapun pilihan kerjasama perdagangan diharapkan - seperti disebutkan diatas adalah mendorong pertumbuhan ekonomi, karena adanya perluasan pasar hasil produksi dalam negeri, sehingga dapat meningkatkan pemasukan devisa, Dampak positif berikutnya adalah penyerapan terhadap tenaga kerja, sejalan dengan peningkatan kegiatan industrialisasi (investasi), baik menggunakan fasilitas PMDN maupun PMA serta peningkatan penerimaan pajak (Mudrajad Kuncoro, 2004; 256) - yang kesemuanya merupakan dampak positif dari kegiatan perdagangan luar negeri. Namun untuk mencapai itu semua, harus mampu menwujudkan daya saing produk unggulan yang dapat berkompetisi dengan produk yang sama; yang dihasilkan Negara lain (Tulus T.H. Tambunan, 2011; 231-235).
Bagaimana halnya dengan Negara yang saling berbatasan, baik di darat ataupun di laut (dalam jarak berdekatan), seperti halnya antara Indonesia - Malaysia; tepatnya antara Kalimantan Timur dengan Serawak dan Sabah di darat, sementara di laut adalah antara Nunukan - Tawao, termasuk pula perbatasan laut antara Riau - Malaka; dan antara Kepulauan Riau - Johor Bahru. Apakah ada bentuk perdagangan lain yang diterapkan - bentuk perdagangan yang telah disepakati antara Indonesia dan Malaysia adalah berdasarkan Border Trade Agreement (BTA); yang terakhir disepakati pada tahun 1970, dan sampai dengan saat ini belum ada perubahan kesepakatan.
Sejalan dengan berjalannya waktu, banyak hal yang telah berubah - yang mengharuskan perlunya dilakukan penyesuaian BTA Tahun 1970, terutama nilai perdagangan, cakupan area (access of area) pada setiap exit/entry point yang telah disepakati pada Border Cross Agreement (BCA), sebagai kawasan yang menerima manfaat perdagangan lintas batas, yang dibebaskan dari beban bea/cukai  masing-masing Negara. Hal lain yang tidak kalah pentingnya untuk dikaji adalah implementasi BTA pada kawasan perbatasan laut - dalam konteks ini cukup relevan untuk menjadikan perdagangan lintas batas antara Nunukan - Tawao sebagai kasus yang cukup menarik untuk dikaji. Namun sebelum semua hal tadi dibahas satu persatu, ada baiknya disinggung sedikit mengenai BTA.

B. Border Trade Agreement - Tinjauan Umum

Sebagaimana diketahui bahwa dalam hal perdagangan lintas batas antara Indonesia dan Malaysia terdapat 2 (dua) kesepakatan yang telah dilakukan bersama, yaitu, Pertama, Agreement on Border Trade between the Government Republic of Indonesia and the Government of Malaysia (Persetujuan mengenai Perdagangan Lintas Batas Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Malaysia); Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 24 Agustus 1970 (tanpa perlu diratifikasi kedua belah pihak). Kedua, pada tanggal 16 Oktober 1973 di Jakarta telah ditetapkan Agreement on Travel Facilities for Sea Border Trade between the Government Republic of Indonesia and Malaysia (Perjanjian mengenai Fasilitas Perjalanan untuk Perdagangan Lintas Batas antara Republik Indonesia dan Malaysia); Dan telah diratifikasi berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1974 tanggal 6 Juli 1974; Lembaran Negara Nomor 36.
Khususnya terkait BTA tahun 1970 telah diatur beberapa hal prinsip; diantaranya pengertian perdagangan lintas batas, pelaku lintas batas serta jenis  dan nilai barang/produk. Perdagangan lintas batas ini sendiri dapat berupa perdagangan lintas batas darat, yaitu perdagangan yang dilakukan melalui daratan antar kawasan perbatasan darat kedua negara; Dan perdagangan lintas batas laut, yang diartikan sebagai perdagangan yang dilakukan melalui kawasan perbatasan laut dari kedua negara. Adapun pelaku lintas batas adalah orang (penduduk) yang berdiam (bertempat tinggal) didalam kawasan perbatasan kedua negara, dan  memiliki paspor  yang dikeluarkan masing-masing negara maupun pas lintas batas yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan BCA, yang terakhir adalah BCA Tahun 2006, sedangkan saat disepakatinya BTA Tahun 1970 rujukannya adalah BCA Tahun 1967.
Sementara jenis barang/produk yang diperdagangkan, dari pihak Indonesia mencakup hasil pertanian maupun lainnya, tidak termasuk minyak, mineral dan bijih tambang. Sedangkan dari pihak Malaysia mencakup barang kebutuhan hidup sehari-hari (pokok) serta peralatan/perlengkapan untuk keperluan industri skala terbatas (sederhana). Nilai barang/produk yang dapat dibawa/diangkut melalui perdagangan lintas batas di kawasan perbatasan darat oleh penduduk kedua Negara tidak melebihi           RM 600/orang/bulan, sedangkan melalui kawasan perbatasan laut/pesisir dapat dilakukan dengan menggunakan kapal terdaftar pada pemerintah lokal masing-masing pihak, dengan ukuran tonase kapal 20 m3 (gross), dan nilai barang/produk yang dibawa/diangkut tidak lebih dari RM 600 setiap kali jalan.
Di Kalimantan Timur, wilayah perbatasannya dengan Malaysia adalah sepanjang 1.038 km, yaitu dari Kabupaten Kutai Barat, Malinau hingga Nunukan - mencakup luas wilayah ▒ 44.955,82 km2, dimana didalamnya mencakup 19 Kecamatan (lihat Tabel 1), dengan melintasi perbatasan Negeri Sarawak dan Sabah, baik dari darat maupun laut. Namun pada saat kesepakatan BTA Tahun 1970 ditetapkan; baru dicapai kesepakatan (berdasarkan BCA Tahun 1967) - kawasan lintas batasnya (ôaccess of areaö) secara definitif adalah; (a) Di laut, berada di Nunukan - Tawao; dan (b) Di darat, berada di Simanggaris - Serudong dan Long Midang - BaÆKelalan;  untuk kawasan lainnya dapat ditetapkan kemudian atas persetujuan kedua belah pihak.

Tabel 1
Jumlah Penduduk, Luas Wilayah dan Kepadatam Penduduk Kecamatan Di Kawasan Perbatasan Provinsi Kalimantan Timur


Keterangan: 1) Penduduk Kabupaten Nunukan dan Kutai Barat tahun 2011.
2) Pulau Sebatik merupakan salah satu pulau terluar di Kalimantan Timur, dan berbatasan langsung dengan Malaysia (Sabah), baik di darat maupun di laut.
2) Jumlah penduduk tahun 2011 (berdasarkan data yang dihimpun dari Badan Pengelolaan Kawasan Perbatasan Kabupaten Nunukan).
3) Jumlah Desa dan luas wilayah akan dikonfirmasi lebih lanjut.
4) Luas wilayah akan dikonfirmasi lebih lanjut.
5) Penduduk Kabupaten Malinau tahun 2010.
Sumber : Data dari pelbagai sumber yang telah diolah. 

C. Nilai Perdagangan dan Faktor-Faktor Terkait Lainnya

Penetapan nilai perdagangan lintas batas sebesar RM 600/orang/bulan sudah tidak relevan lagi, karena 2 (dua) indikator yang ekonomi yang paling prinsip, yaitu; pertama, perkembangan inflasi berdampak terhadap penurunan nilai uang - melalui mekanisme permintaan (demand full inflation) dikedua Negara (Tajul Khawaty A.S, 2000),  sehingga nilai paritas daya beli (purchasing power parity) Indonesia - Malaysia; diukur atas dasar mata uang masing-masing dapat dipastikan bahwa kuantitas barang yang dapat dibeli menjadi berkurang. Dan kedua, peningkatan pendapatan perkapita dikedua Negara akan menambah daya beli/konsumsi (Todaro, 2003; 57); diwujudkan dengan peningkatan kuantitas barang yang diminta, maupun kualitas barangnya - semula merupakan barang kebutuhan pokok (primer), meningkat menjadi barang hasil olahan industri (sekunder) atau bahkan berpeluang lebih meningkat lagi menjadi barang tersier (mewah); tergantung pada  kecenderungan tingkat konsumsi (marginal propensity to consume) penduduk - merujuk pada teori Keynes (lihat M.L. Jhingan, 2000). Disekitar kawasan perbatasan Kalimantan Timur kecenderugan konsumsi masyarakat masih relatif tinggi untuk pemenuhan kebutuhan pokok, termasuk barang-barang hasil olahan (manufacture) yang masih dikategorikan sebagai kebutuhan pokok.
Dari kedua indikator tadi, yaitu inflasi dan pendapatan perkapita, maka indikator yang paling berpengaruh adalah perkembangan pendapatan perkapita, karena  meningkatnya PDRB (gross domestic regional bruto) di Kabupaten yang memiliki kawasan perbatasan, yaitu Nunukan, Malinau dan Kutai Barat - Ini berarti pertumbuhan ekonomi di ketiga Kabupaten tersebut mengalami peningkatan.  Oleh Budiono (dalam Mudrajad Kuncoro, 2004; 129), disebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output (ôPDB/PDRBö) per kapita dalam jangka panjang.
Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa selama kurun waktu 2006 - 2011 PDRB ketiga Kabupaten tadi meningkat signifikan - laju pertumbuhan ekonomi untuk Kabupaten Nunukan selama kurun waktu tersebut rata-rata 10,00 %/tahun, sedangkan untuk Kabupaten Malinau dan Kutai Barat, masing-masing mencapai prorata 8,13 %/tahun dan 6,48 %/tahun. Dikaitkan dengan perkembangan jumlah penduduk (lihat Tabel 2), maka pendapatan perkapita yang dicapai selama kurun waktu yang sama mengalami peningkatan - merujuk pada pendapat Budiono; memberikan gambaran bahwa ketiga Kabupaten perbatasan pertumbuhan ekonomi-nya cukup baik - dipertegas oleh Kuznet (dalam Lincolin Arsyad, 2010; 278); pengalaman dari Negara maju sebelumnya - salah satu dari 6 (enam) kharakteristik pertumbuhan ekonomi, dapat dilihat dari variabel ekonomi agregatif, yaitu tingginya tingkat pertumbuhan output perkapita dan penduduk. Pendapatan perkapita secara riil (setelah diperhitungkannya inflasi) mencerminkan kekuatan tawar dari pendapatan nominal, sehingga ini dapat menjadi indikator kesejahteraan (Tulus T.H. Tambunan, 2011, 56), walaupun tingkat kesejahteraan penduduk dikaitkan dengan pendapatan perkapita (ôdalam jumlah yang relatif samaö) dapat saja berbeda, karena dipengaruhi oleh; (a) perbedaan pola konsumsi masyarakatnya; (b) perbedaan iklim; dan (c) struktur produksi nasional (Lincolin Arsyad, 2010; 35-36).
Peningkatan pendapatan perkapita di kedua Negara - Indonesia dan Malaysia, khususnya disekitar wilayah perbatasan sudah pasti akan mendorong peningkatan konsumsi dan produksi. Dari pihak Indonesia mendorong peningkatan konsumsi terhadap barang/produk kebutuhan pokok, yang didatangkan dari Malaysia. Sebaliknya, dari pihak Malaysia cenderung lebih banyak membutuhkan barang/produk hasil bumi (raw material) dari Indonesia untuk keperluan produksi. Oleh karenanya, nilai perdagangan yang ditetapkan dalam BTA Tahun 1970 sebesar RM 600 patut untuk ditinjau ulang pada perspektif waktu saat ini. Keterlambatan dalam mengantisipasi penyesuaian tadi, secara ilegal menimbulkan maraknya aksi penyelundupan yang dilakukan oleh penduduk kedua Negara; untuk mendapatkan keuntungan ekonomi lebih besar. Sementara secara legal adalah munculnya pola perdagangan barter trade disekitar kawasan Nunukan - Tawao - pola ini akan dibahas berikutnya.      

Tabel 2
Perkembangan PDRB, Pendapatan Perkapita dan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Perbatasan Provinsi KalImantan Timur Tahun 2006 - 2010 


Keterangan :
*) Angka sementara.
1) Atas dasar harga konstan, tahun dasar 2000. 
Sumber : Kabupaten Dalam Angka, publikasi Bappeda & BPS tahun Bersangkutan oleh masing-masing Kabupaten. 

Pilihan Pendekatan - Pendapatan Perkapita atau Pengeluaran Penduduk

Permasalahannya adalah berapa besar  nilai perdagangan yang seharusnya; dan apa yang menjadi  ôpendekatannyaö. Sebagaimana telah dibahas sebelumnya - salah satu pendekatan yang dapat menjadi acuan dalam menentukan nilai perdagangan adalah  pendapatan perkapita; dan secara teoritis alasan pembenarannya telah dibahas sebelumnya. Pendekatan lainnya adalah berdasarkan pengeluaran penduduk. Biro Pusat Statistik membagi pengeluaran penduduk ini menjadi 2 (dua), yaitu pengeluaran penduduk perkotaan dan pengeluaran penduduk pedesaan; kawasan perbatasan masuk dalam  kategori ôpedesaanö.
Pengeluaran penduduk ini tidak dapat dipungkiri lagi bahwa pengaruh pendapatan riil perkapita sangat menentukan, sehingga kalau menggunakan pendapatan perkapita sebagai ukuran untuk menentukan nilai perdagangan dalam ranah BTA Tahun 1970; sudah merupakan pendekatan yang cukup kuat; Namun sebagaimana disebutkan oleh Stiglitz et all (2011) bahwa pendapatan perkapita yang merupakan turunan dari PDB (PDRB pada tingkatan regional), tidak sepenuhnya menggambarkan pemerataan distribusi pendapatan - masih ada indikator lainnya yang dapat dijadikan ukuran kesejahteraan; secara realistis di kawasan perbatasan di Kalimantan Timur (ôdi wilayah pedalamanö) pendapatan perkapitanya relatif lebih rendah dibandingkan kawasan perbatasan laut/pesisir. Oleh karenanya penggunaan ukuran pengeluaran penduduk lebih tepat - selain merupakan pengeluaran yang secara riil dikeluarkan penduduk untuk memenuhi kebutuhan pokoknya (untuk makanan) - sudah menggambar pula kemampuan daya beli penduduk (Dumairy, 1997; 121-125). Praktis peningkatan nilai perdagangan lintas batas (BTA) ini secara tidak langsung ditentukan pula oleh perkembangan jumlah penduduk di kawasan perbatasan kedua Negara - ini dilihat dari nilai kuantitasnya secara keseluruhan. Sebaliknya dilihat dari kualitasnya, yaitu  satuan nilai perdagangan yang disepakati - belum sepenuhnya  menggambarkan daya beli riil, walaupun komposisi produk/barang yang disepakati kedua Negara tidak berubah, kecuali harga paritasnya - disinilah faktor utama permasalahan-nya, karena ôunitö barang-nya dapat dipastikan berkurang.
Menjadikan pengeluaran penduduk pedesaan (rural) sebagai pendekatannya, paling tidak sudah mendekati kebutuhan minimal terhadap barang/produk yang menjadi kebutuhan pokok penduduk kawasan perbatasan dan sekitarnya, meskipun dari 14 komoditi yang diperhitungkan BPS sebagai ôPengeluaran Rata-Rata Perkapita Sebulan untuk Kelompok Makanan Menurut Jenisnyaö, sebagian dapat dipenuhi dari wilayah di sekitar kawasan perbatasan (di Indonesia), kecuali; (1) minyak dan lemak; (2) bahan minuman; (3) bumbu-bumbuan; (4) makanan dan minuman jadi; (5) tembakau; serta (6) konsumsi lainnya, yang lebih banyak  didatangkan dari kawasan perbatasan Malaysia - termasuk ôPengeluaran Rata-Rata Perkapita Sebulan untuk Kelompok Bukan Makanan Menurut Jenisnyaö, khususnya  untuk; (1) perumahan, bahan bakar, penerangan dan air; (2) aneka barang dan jasa; serta (3) pakaian, alas kaki dan tutup kepala.
Sementara penggunaan pendekatan pendapatan perkapita, dapat digunakan dalam menentukan kesepakatan nilai perdagangan, akan tetapi harus dilakukan jastifikasi terhadap seberapa besar pengeluaran perkapita penduduk untuk barang/produk yang merupakan kebutuhan pokok - tentunya penduduk di pedesaan. Rujukan ini, apabila dapat dipenuhi akan sangat membantu dalam menentukan nilai perdagangan dimaksud, mengingat hasilnya sesuai realitas - bandingkan dengan hanya menjadikan pendapatan perkapita sebagai ukuran mutlak, pasti akan terjadi bias.

Jumlah Penduduk - Faktor Pemicu Utama

Penyajian data pada Tabel 3, dapat dilihat bahwa jumlah penduduk di ketiga Kabupaten perbatasan Kalimantan Timur berkembang cukup pesat selama kurun waktu 2006 - 2011. Dibandingkan Kabupaten perbatasan lainnya, jumlah dan laju pertumbuhan penduduk Kecamatan perbatasan Kabupaten Nunukan relatif lebih besar, karena tingginya migrasi penduduk dari daerah lain, khususnya dari Sulawesi; dan sebagian besar berada di kawasan laut/pesisir (di Pulau Nunukan terdapat 2 Kecamatan dan Sebatik terdapat 5 Kecamatan).

Tabel 3
Jumlah Penduduk Kabupaten Perbatasan dan Pengeluaran Penduduk Pedesaan Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2006 - 2011 *)


Catatan :
*) Kawasan perbatasan dikategorikan sebagai pedesaan.
Keterangan :
1) Belum dimiliki datanya.
2) Publikasi BPS Provinsi Kaltim.
Sumber : Kabupaten Dalam Angka Provinsi Kaltim dan dari masing-masing Kabupaten, publikasi Bappeda & BPS tahun bersangkutan.

Kecamatan perbatasan di Kabupaten Malinau dan Kutai Barat laju pertumbuhan penduduknya relatif masih rendah. Kondisi geografis kawasan yang dapat dipilah menjadi kawasan perbatasan darat dan kawasan perbatasan laut, berimpilkasi bagi penduduk setempat untuk mendapatkan kemudahan pemenuhan kebutuhan hidup. Dalam hal ini, Kecamatan perbatasan yang termasuk dalam kawasan perbatasan laut/pesisir, diuntungkan oleh masih relatif lancarnya pasokan produk yang merupakan produksi dalam negeri dan kemudahan mendapatkan produk dari Malaysia. Dibalik ini semua; harus ada kearifan semua pihak untuk memastikan penduduk kawasan yang mana seharusnya mendapatkan manfaat BTA; Apakah penduduk kawasan perbatasan darat (pedalaman) atau kawasan perbatasan laut/pesisir atau kedua kawasan tersebut.
Selama ini perdebatan mengenai penduduk mana yang betul-betul berhak mendapatkan manfaat hanya dibatasi pada pembuktian atas kepemilikan paspor dan pas lintas batas dari pejabat berwenang masing-masing Negara - siapapun memiliki salah satu dokumen tersebut sudah berhak mendapatkan manfaat perdagangan menurut ketentuan BTA, tanpa melihat domisili sebenarnya - selama masih dapat membuktikan status domisili-nya masuk dalam kawasan perbatasan. Pertambahan jumlah penduduk dimasing-masing Negara akan diikuti secara proporsioanl bertambahnya penduduk yang memiliki paspor atau pas lintas batas; Ini berarti, secara absolut nilai perdagangan akan bertambah pula.

Nilai Perdagangan - Fakta Indikatif atau Kebutuhan Riil

Bertambahnya jumlah penduduk di Kecamatan perbatasan berpengaruh terhadap akumulasi peningkatan pengeluaran rata-rata perkapita untuk makanan dan bukan makanan. Sebagai contoh - nilai kebutuhan bahan makanan dan bukan makanan tersebut pada tahun 2010 (merujuk hasil sensus penduduk 2010, jumlah penduduk di kawasan perbatasan Kalimantan Timur berjumlah 151.051 jiwa), maka dengan jumlah pengeluaran sebesar Rp 540.207,-/orang/bulan; didapatkan nilai pengelauaran sebesar  Rp 81.598.807.557,-/bulan; atau dalam satu tahun jumlahnya akan mencapai                Rp 979.185.690.684, sehingga dikonversikan dalam nilai US $ (asumsi APBN Tahun 2010 sebesar Rp 9.000.-/US $) - akan didapatkan hasil setara US $ 720.28/orang/bulan (bandingkan dengan Appendix 2 - memperhitungkan inflasi)

Appendix 1 - Ilustrasi Perhitungan Dalam Menentukan Nilai Perdagangan Dengan Menggunakan Pendekatan Pengeluaran Penduduk


Nilai pengeluaran untuk makanan dan bukan makanan (kebutuhan pokok) diatas, dikaitkan dengan nilai perdagangan menurut BTA Tahun 1970 - sebesar RM 600  sudah tidak sepadan lagi, karena seperti telah disinggung sebelumnya nilai paritas daya belinya terus menurun sepanjang kurun waktu ▒ 40-an tahun (terhitung sejak tahun 1970), tergerus kenaikan inflasi, baik di Indonesia maupun Malaysia. Apabila diasumsi RM 1 setara dengan Rp 2.900, maka RM 600 setara Rp 1.740.000,-; dikonversikan dalam nilai US $ sebesar Rp 9.000,-/US $, maka nilai perdagangan lintas batas tersebut hanya setara US $ 193.33/orang/bulan; suatu nilai yang relatif kecil untuk saat ini - bandingkan dengan perkiraan kebutuhan nilai perdagangan atas dasar pengeluaran rata-rata penduduk perbatasan (dikategorikan ôpedesaanö) untuk makanan dan bukan makanan dalam sebulannya (tahun 2010); US $ 720.28/orang/bulan.
Hasil perhitungan diatas bukan merupakan rujukan sepenuhnya; paling tidak dapat menjadi indikasi bahwa  nilai perdagangan menurut BTA Tahun 1970 sudah perlu disesuaikan - kisaran angka US $ 400-an cukup realistis. Penyesuaian keatas atau kebawah dari angka kisaran tersebut; bergantung pada asumsi; Pertama, jumlah penduduk; karena pengeluaran penduduk masih dihitung secara kasar; mencakup keseluruhan jumlah penduduk (jiwa) - tanpa membedakan usia, dimana pada setiap jenjang usia pengeluarannya berbeda untuk pemenuhan kebutuhan pokok. Kedua, jumlah komoditi yang masuk dalam kelompok makanan dan bukan makanan masih diperhitungkan secara keseluruhan - padahal pada komoditi makanan sebagian dihasilkan dari kawasan perbatasan sendiri, yaitu barang/produk hasil pertanian (ekstraktif), sedangkan dalam kelompok bukan makanan yang tidak termasuk kebutuhan pokok tidak perlu diperhitungkan.

Appendix 2 - Ilustrasi Perhitungan Nilai Perdagangan Dengan Memperhitungkan Inflasi


Bagaimana halnya dengan pihak Malaysia - dalam konteks penyesuaian nilai perdagangan ini; berapa nilai sewajarnya - jawaban atas pertanyaan ini, harus membedakan pula posisi kawasannya. Pada kawasan perbatasan darat dengan pihak Indonesia, nilai perdagangan sekitar US $ 400-an sudah mencukupi, karena hanya membutuhkan barang/produk hasil pertanian. Namun untuk kawasan perbatasan laut,  khususnya Nunukan - Tawao, komoditas hasil pertanian (termasuk perikanan) yang dihasilkan Nunukan dan wilayah sekitarnya, sudah menjadi bahan baku industri di Tawao dan kawasan sekitarnya, seperti kakao dan kelapa sawit. Disamping terdapat pula barang/produk yang masuk ke Tawao hanya untuk transit dan selanjutnya diperdagangkan di kota lainnya di Sabah, seperti pisang dan ikan hasil tangkapan - skala perdagangannya cukup besar, namun jumlah pastinya tidak diketahui. Realitasnya, nilai perdagangan setara US $ 700-an bukan tidak mustahil; dianggap msih belum mencukupi.
Toleransi pihak Sabah untuk menerapkan barter trade dalam hubungan dagang antara Nunukan - Tawao (bagian dari kesepakatan persidangan Pembangunan Sosial Ekonomi Malaysia - Indonesia; KK/JKK Sosek Malindo); menjadikan aturan BTA yang membatasi nilai perdagangan sebesar RM 600 (ôuntuk saat iniö) dapat dikesampingkan, karena semua pihak ôsaling berkepentinganö; Ini dapat diartikan; terdapat 2 (dua) bentuk perdagangan di kawasan perbatasan Kalimantan Timur - Sabah, di kawasan perbatasan darat menerapkan sepenuhnya BTA, sementara di kawasan perbatasan laut menerapkan barter trade. Atau akibat akselerasi perdagangan lintas batas yang sangat pesat antara Nunukan - Tawao, menjadikan pembatasan nilai perdagangan (menurut BTA) sudah tidak dapat lagi dijadikan acuan.
       
Menggunakan US $ - Mengapa bukan RM 

Penggunaan US $ hanya sekedar masalah teknis saja, karena hubungan moneter antara kedua Negara yang berbeda penggunaan mata uang-nya, lebih diformilkan untuk menggunakan mata uang lainnya sebagai acuan konversi timbal balik (reciprocal). Penggunaan US $, selain mempertimbangkan kestabilan nilai kurs-nya - mempertimbankan pula sifatnya yang merupakan hard currency; dapat diterima disemua Negara - di Indoensia menjadi salah satu preferensi portofolio (lihat A. Tony Prasetiantono; 1995; 92).

Perkembangan Teknologi Transportasi - Pengaruhnya Terhadap Nilai Perdagangan

Dalam ketentuan BTA 1970 disebutkan penggunaan sarana transportasi laut berupa kapal yang bobotnya tidak lebih dari 20 m3 dan terdaftar pada Pemerintah lokal masing-masing negara - setiap kali mengangkut muatan nilai barangnya tidak lebih dari RM 600. Perkembangan teknologi transpormasi saat ini, menjadikan hambatan angkutan barang/produk bukan menjadi permasalahan lagi, hanya perlu meningkatkan frekuensi pengangkutannya saja. Realitas seperti ini yang banyak ditemui dilapangan - dan dilakukan oleh pihak-pihak dari kedua Negara, dengan alasan utama untuk mendapatkan manfaat ekonomi (keuntungan) lebih.
Peningkatan frekuensi pengangkutan berpeluang menjadikan nilai akhir perdagangan dapat melebihi RM 600. Sebagai indikasinya dapat dilihat dari jumlah perahu yang bertambat, baik di Nunukan dan sekitarnya maupun di Tawao dan sekitarnya. Permasalahannya, jumlah perahu yang tambat pada pelabuhan (jetty) tidak resmi - tidak diketahui pasti. Namun sangat dimungkinkan, karena banyaknya pintu masuk tradisional antara Nunukan - Tawao; dan ini sudah terjadi secara turun termurun diantara penduduk kedua Negara. Apalagi jarak tempuh laut antara Nunukan - Tawao hanya memakan waktu 15  - 45 menit (sesuai dengan kapasitas kecepatan mesin angkutan transportasi laut).

D. Cakupan Area Perdagangan - Access of Area

Cakupan kawasan perdagangan lintas batas yang diatur dalam BTA adalah merujuk pada  cakupan area (access of area) yang sudah disepakati dalam BCA, dan karena BTA Tahun 1970 merujuk pada BCA Tahun 1967 - tentunya sudah tidak relevan lagi, karena dalam BCA terakhir, yaitu BCA Tahun 2006 sudah ada perluasan cakupan area-nya. Namun secara prinsip tidak ada permasalahan, karena dalam implementasinya kedua Negara dapat saling menerima.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya - kawasan perbatasan dapat dipilah menjadi 2 (dua), yaitu kawasan perbatasan laut/pesisir dan kawasan pebatasan darat (lihat Tabel 1). Kedua kawasan tadi terdapat 2 (dua) perbedaan - khususnya pada kawasan perbatasan laut/pesisir; Pertama, kemudahan akses transportasi dan terdapat beberapa pilihan moda angkutan, dengan pelbagai kelengkapan infrastruktur fisik dan layanan dasar yang mencukupi; dan kedua, konsentrasi penduduk yang relatif besar. Dalam kondisi demikian, terutama kondisi pertama, maka pada kawasan perbatasan laut/pesisir - pemenuhan barang/produk  kebutuhan pokok bukan masalah prinsip, karena masih dapat dipasok dari dalam negeri, walaupun nilai jual akhir pada konsumen relatif menjadi lebih mahal. Dalam pemahaman lainnya; dapat dikatakan bahwa pasokan kebutuhan pokok tadi dari Malaysia (Tawao dan sekitarnya) lebih terkait dengan faktor harga - nilai jual pada konsumen akhir relatif lebih murah dbandingkan pasokan dari dalam negeri, sebagai implikasi dari mata rantai distribusi lebih pendek - itu saja.
Kondisi sebaliknya terjadi pada kawasan perbatasan darat; pasokan barang/produk kebutuhan pokok non pertanian dari dalam negeri bertumpu pada kelancaran penerbangan subsidi (ôsubsidi ongkos angkutö), guna menekan harga jual akhir yang dapat terjangkau penduduk setempat - namun pasokan barang dengan hanya mengandalkan penerbangan subsidi adalah terbatas, yaitu terbatas jumlah muatan dan frekuensinya, kecuali menggunakan penerbangan non regular (non subsidi) - sekali lagi masalahnya adalah harga jual akhir; harga dapat dipastikan menjadi lebih mahal. Alternatifnya adalah mengandalkan pasokan dari Malaysia (kawasan perbatasan Sabah dan Serawak). Keterbatasan sarana transportasi fisik (jalan), menjadikan upaya untuk mendapatkan pasokan barang/produk dari Malaysia harus dilakukan dengan berjalan kaki (dengan waktu tempuh 1 - 3 hari perjalanan) - tentunya produk hasil pertanian yang dibawa ke Malaysia untuk dijual; dan selanjutnya produk yang dibawa dari Malaysia - semuanya dalam jumlah terbatas. Kecuali pada lintas batas di Long Midang - BaÆKelalan, masih bisa memanfaatkan sarana transportasi roda 4 dan roda 2, walaupun dengan kondisi permukaan jalan di sekitar Kecamatan (termasuk didalmnya Long Midang) masih berupa tanah; apabila hujan akan sangat licin dan penuh kubangan lumpur.  
Gambaran dari 2 (dua) kondisi kawasan perbatasan seperti telah diutarakan diatas, terdapat perbedaan prinsip dalam hal perdagangan lintas batas - pada kawasan perbatasan laut/pesisir permasalahannya hanya pada pasokan barang/produk yang lebih murah harganya, apabila mendatangkan dari Malaysia. Pada kawasan perbatasan darat (khususnya di Kabupaten Nunukan dan Malinau) bukan harga, tetapi yang lebih dibutuhkan adalah kelancaran pasokan; apakah dari dalam negeri ataupun Malaysia.

E. Penduduk Kawasan Mana yang Berkepentingan Terhadap BTA

Menjawab pertanyaan; penduduk kawasan perbatasan yang mana sebenarnya berkepentingan terhadap BTA, terutama penyesuaian terhadap nilai perdagangan. Bagi penduduk kawasan perbatasan darat, dengan segala keterbatasan prasarana/sarana transportasi - nilai perdagangan US $ 400-an masih mencukupi, karena untuk dapat membeli barang/produk dari Malaysia, harus mampu menjual hasil produksi pertanian (ekstraktif) di Malaysia. Realitasnya - secara individu; hasil pertanian yang dijual relatif terbatas, sehingga kemampuan untuk membeli produk Malaysia terbatas pula. Sementara potensi pertaniannya cukup menjanjikan, namun tidak dapat dibudidayakan secara optimal, akibat terbatasnya prasarana/sarana transportasi, sedangkan hasil pertanian yang bersifat bahan mentah merupakan produk yang tidak memiliki daya tahan lama (undurable good) - keterbatasan transportasi tadi mengakibatkan disinsentif untuk melakukan budidaya pertanian dalam skala besar. Kecuali, sebagai pedagang, untuk keperluan menjaga stok barang dagangannya, membeli barang dari Malaysia dalam jumlah yang lebih besar.
Dan perlu diingat bahwa jumlah penduduk kawasan perbatasan darat relatif rendah (lihat Tabel 3); hanya 57.652 jiwa atau 33,96 % dari jumlah penduduk kawasan perbatasan secara keseluruhan. Beda halnya dengan di kawasan perbatasan laut/pesisir, dengan jumlah penduduk yang lebih banyak, yaitu 102.657 jiwa atau 65,04 %, serta  kondisi infrastruktur yang lebih baik - daya beli yang cukup mendukung, sebagai implikasi relatif lebih besarnya pendapatan, sehingga secara ekonomis berkepentingan untuk dapat memanfaatkan BTA, karena harga akhir produk lebih murah.

F. Implementasi BTA - Apakah Perlu Ada Pembatasan

Masalahnya; apakah semua kawasan perbatasan yang berada di laut/pesisir harus masuk dalam kategori kawasan yang mendapatkan manfaat perdagangan. Ini merupakan masalah prinsip, karena; Pertama, tanpa adanya pembatasan cakupan kawasan perdagangan lintas batas (access of area) menurut BTA, akan ada benturan dengan kebijakan Pemerintah untuk memanfaatkan produksi dalam negeri. Kedua, akan menyebabkan bias pemanfaatan, semula BTA hanya sekedar pemenuhan kebutuhan pokok bagi penduduk kawasan perbatasan di masing-masing Negara, saat ini sudah menjadi barang/produk dagangan, yang diperjualbelikan secara retail dipasaran. Dan ketiga, menghindarkan adanya pihak-pihak lain yang memanfaatkan selisih harga; untuk keuntungan sepihak, dengan memperdagangkannnya diluar kawasan perbatasan.
Pembatasan bukan pada barang/produk yang diperdagangkan, akan tetapi hanya cakupan kawasannya saja  (access of area) - Nunukan dan kawasan sekitarnya sudah cukup lancar pasokan barang/produk dari dalam negeri; Apakah masih perlu mendapatkan manfaat BTA - ada baiknya pertanyaan ini dibicarakan lebih lanjut. Siapa yang akan memulainya; dapat dipastikan akan menimbulkan perdebatan, terutama pihak-pihak yang selama ini sudah cukup mapan (established) mendapatkan manfaat besar dari penerapan BTA.
Pembatasan BTA akan menjadi tidak berarti apabila bentuk perdagangan lintas batas ini  bukan dalam ranah ketentuan BTA, melainkan bentuk perdagangan barter trade, yang disepakati pada forum BIMP - EAGA. Prinsip dasar barter trade tidak memberikan batasan nilai perdagangan.

G. Perdagangan Nunukan - Tawao

Perkembangan perdagangan Nunukan (Kalimantan Timur) - Tawao (Sabah) seperti tersaji pada Tabel 4, dapat diperhatikan bahwa sejak tahun 2006 pihak Nunukan  selalu mengalami defisit neraca perdagangan terhadap Tawao. Artinya, permintaan penduduk Nunukan dan sekitarnya berupa barang/produk  kebutuhan pokok sehari-hari (konsumsi), termasuk peralatan/perkakas dan perlengkapan yang dibutuhkan industri sederhana relatif besar, dibandingkan dengan ekspor penduduk Nunukan dan sekitarnya ke Tawao berupa hasil-hasil pertanian. Perkembangan data perdagangan tadi tidak dapat dikatakan sepenuhnya merupakan perdagangan dalam ranah (domain) BTA ataupun barter trade. Namun yang jelas - merupakan data hasil dari pencatatan atas barang/produk yang dibawa penumpang dari Tawao (impor) dan laporan yang diberikan oleh penduduk Nunukan yang mengirimkan produk hasil pertaniannya ke Tawao (ekspor). Tentunya validitas pencatatan ini masih terdapat kelemahan mendasar, karena laporan yang disajikan lebih mengacu pada laporan lisan - tidak ada pembuktian otentik lainnya.
Selain itu, bergantung pula pada keaktifan pihak petugas lapangan dalam melakukan pencatatan. Permasalahannya dan juga menjadi kendala utama selama ini adalah masih banyak pintu masuk/keluar dari Nunukan ke Tawao; serta sebaliknya. Oleh karena itulah hasil pencatatan atas kegiatan ekspor - impor belum sepenuhnya menggambarkan data perdagangan yang dapat menjadi rujukan kebijakan, terutama oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dan Kabupaten Nunukan. Fluktuasi data ekspor - impor  yang tidak konsisten sudah merupakan indikasi terhadap permasalahan ini.

Tabel 4
Perkembangan Perdagangan Lintas Batas Nunukan - Tawao Tahun 2004 - 2011


Keterangan :
1) Ekspor dari Nunukan ke Tawao. 
2) Impor dari Tawao ke Nunukan.
Sumber : Dinas Perdagangan dan Koperasi Provinsi Kalimantan Timur.

Penerapan secara efektif barter trader ini, pada tahun 2010 (melalui kesepakatan KK/JKK Sosek Malindo Provinsi Kalimantan Timur - Negeri Sabah); menjadikan posisi impor dari Tawao semakin membesar. Kedepannya, tidak menutup kemungkinan defisit tersebut akan terus bertambah, karena relatif tingginya intensitas perdagangan lintas batas, yang tidak terlepas dari keberadaan jumlah penduduk, sebagai kekuatan pendorong permintaan, sehingga akumulatif dari peningkatan pendapatan perkapita dan pesatnya laju pertumbuhan penduduk di Nunukan dan sekitarnya merupakan pemicu utama terhadap peningkatan impor barang/produk olahan (sekunder) dari Tawao.
Pertanyaannya; bagaimana dengan posisi ekspor Nunukan - apabila ekspor dapat mengimbangi peningkatan impor maka dapat terjadi bahwa posisi defisit nilainya tidak sebesar dengan data yang disajikan pada Tabel 4 diatas. Angka ekspor yang ada tidak dalam jumlah yang wajar; diprediksikan bahwa angka tersebut lebih dari itu - sekali lagi; permasalahannya terletak pada ôsistem pencatatanö, disamping terkait dengan pintu keluar/masuk tidak resmi yang  banyak terdapat di perbatasan laut kedua Negara - kondisi demikian merupakan mata rantai kegiatan perdagangan yang sudah berlangsung sejak lama; Penduduk Nunukan dan sekitarnya sudah biasa memasarkan hasil produksi pertanian/perikanan langsung ke Tawao, selain pertimbangan mendapatkan harga jual lebih tinggi; juga  mempertimbangkan jalur pemasaran yang lebih cepat.

H. Barter Trade

Dalam ranah ekonomi saat ini; barter trade ini sudah tidak lazim lagi dipergunakan dalam sistem perdagangan - terlebih lagi dalam sistem perdagangan antar Negara, karena merupakan salah satu ciri ekonomi tradisional; Perdagangan terjadi tanpa menggunakan alat moneter, cukup dengan kesepakatan barang/produk yang akan dipertukarkan oleh kedua belah pihak dalam ôsatuanö tertentu, maka terjadilah pertukaran (perdagangan), tanpa menggunakan satuan moneter.  Sistem perdagangan yang berlaku dimanapun untuk saat ini, sudah pasti menggunakan alat moneter sebagai satuan hitungnya; Dan kenyataannya, penggunaan istilah barter trade, yang disepakati dalam kerangka kerjasama ekonomi BIMP EAGA tetap menggunakan alat moneter.
Apa yang telah disepakati dalam BIMP EAGA menjadi acuan kegiatan perdagangan bagi semua, termasuk antara Indoensia dan Malaysia - dalam kawasan perdagangan lintas batas antara Nunukan dan Tawao; Walaupun secara teoritis dan pragmatis tidak ada padanannya. Penerapan barter trade ini merupakan kelanjutan historis perdagangan yang memberikan manfaat bagi kawasan di sekitar Kalimantan Timur bagian utara - tepatnya Nunukan; Sabah serta Philipina selatan. Bagi pihak Malaysia barter trade sudah diatur sistem dan kelembagaan-nya, sehingga sangat wajar untuk terus mempertahankan bentuk perdagangan ini. Sementara pihak lain, seperti Indonesia belum ada sistem dan lembaga yang berfungsi untuk mengatur barter trade, karena terjebak dalam regulasi internal yang kaku. Implementasi barter trade yang ada dan diterapkan oleh pihak Malaysia - tidak lain sebagai modifikasi dari free trade zone.  
Menurut Ramli Dollah et all (2007); menyebutkan bahwa barter trade ini cukup menguntungkan bagi Malaysia, khususnya pada lingkup kegiatan perdagangan (ekspor - impor) antara Sabah dengan Indonesia - Brunei - Philipina. Pihak Sabah menjadikan pelabuhan di Tawao dan Sandakan sebagai pelabuhan untuk melakukan barter trade Pelaku utama barter trade adalah kelembagaan (agensi) yang telah ditetapkan oleh Pemerintah, karena; Pertama, ada kewajiban untuk membayar bea/cukai (duty) atas ekspor - impor yang dilakukan. Dan kedua, untuk memudahkan pengawasan oleh petugas bea dan cukai (Custom), terutama pengawasan terhadap keluar-masuk barang/produk yang diatur dalam ketentuan barter trade. Aktifitas barter trade melalui pelabuhan Tawao memberikan keuntungan bagi Pemerintah Malaysia, yaitu pemasukan dana berupa pajak ekspor - impor (export - import duty) dan cukai penumpang.
Kedepan Pemerintah Malaysia merencanakan bahwa pelabuhan di Sandakan. Tawao dan Lahad Datu yang menjadi pelabuhan barter trade sebagai Free Trade Zone (FTZ) - sebagai mini FTZ untuk mengimbangi Labuan; bahkan akan menjadikan Sebatik (wilayah Malaysia) dan Tawao sebagai kawasan bebas cukai - sebagai pengembangan lebih jauh dari manfaat besar yang didapatkan dari penerapan barter trade, yang selama ini terjadi antara Nunukan - Tawao (lihat Ramli Dollah et al; hal 90).
Kesemuanya ini menjadi indikasi bahwa BTA dikawasan perbatasan laut akan tergerus dengan sendirinya; dan kalaupun tetap dipertahankan, hanya sekedar mengakomodir kepentingan para wisatawan (tourism) ataupun para individu yang sekedar berdagang kecil-kecilan,   sehingga untuk mengimbangi langkah kedepan yang dilakukan pihak Malaysia, khususnya Sabah, maka Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dan Kabupaten Nunukan - sudah seharusnya untuk menerapkan FTZ. Apalagi dalam beberapa kesepakatan kerjasama Sosek Malindo telah disinggung masalah ini. Ada 2 (dua) hal prinsip yang harus dilakukan, yaitu; Pertama, pembenahan infrastruktur pelabuhan sebagai pintu keluar/masuk kegiatan perdagangan antara Nunukan - Tawao. Praktis pelabuhan lainnya (tradisional) harus dihapuskan, sehingga pengawasan menjadi lebih mudah.  Dan kedua, individu-individu yang selama ini aktif melakukan kegiatan perdagangan dengan pihak Tawao, dihimpun menjadi satu dan dibentuk kelembagaan-nya - agar posisi tawar (bargaining position) menjadi lebih kuat. Fakta yang ada dan menjadi kelemahan para individu tersebut adalah harga ditentukan oleh pihak Tawao. Kelemahan ini dapat diatas apabila seluruh individu yang melakukan kegiatan perdagangan bersatu.  

I. Penutup - Kesimpulan dan Saran

Dari apa yang telah diutarakan diatas, dapat disimpulkan bahwa; (1) BTA Tahun 1970 perlu dilakukan penyesuaian kembali terhadap pemberlakukan nilai perdagangan, karena adanya perubahan daya beli uang yang terkooptasi oleh perkembangan inflasi di kedua Negara - Indonesia dan Malaysia; (2) Dalam melakukan penyesuaian nilai perdagangan dapat menggunakan pendekatan pendapatan perkapita atau pengeluaran penduduk; (3) Cakupan area (access of area), yang secara umum dapat dipilah menjadi kawasan perbatasan darat (pedalaman) dan kawasan perbatasan laut/pesisir - perlu ada penegasan, karena orientasi atas pemanfaatan BTA berbeda-beda. Pada kawasan perbatasan darat adalah kelancaran pasokan kebutuhan pokok dari Malaysia dan dapat diperdagangkannya hasil pertanian ke Malaysia, sedangkan untuk kawasan perbatasan laut/pesisir, orientasinya bertumpu pada perolehan harga barang/produk yang lebih murah; (4) Beranjak dari kesimpulan ke-3 tadi, maka penekanan BTA seharusnya memberikan perhatian pada penduduk di kawasan perbatasan darat, yang saat ini masih dihadapkan pada keterisolasian wilayah; (5) Di kawasan perbatasan laut, terdapat 2 (dua) bentuk perdagangan, yaitu BTA dan barter trade, yang implikasinya sangat berbeda terutama dalam hal nilai perdagangan; serta (6) Barter trade tanpa ada pembatasan nilai perdagangan dan hanya membatasi jenis barang/produk yang dapat diperdagangkan. Pihak Malaysia telah membentengi dirinya dengan penerapan sistem dan kelembagaan yang sudah cukup mapan (in proper place) untuk memanfaatkan barter trade.
Beberapa kesimpulan diatas, menginspirasikan bagi Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dan Kabupaten Nunukan untuk melakukan inisiasi - kajian terhadap penerapan free trade zone pada kawasan perdagangan antara Nunukan - Tawao, sehingga disarankan melakukan pembenahan prinsip pada penyedia fasilitas infrastruktur pelabuhan dan kelembagaan kegiatan perdagangan, yang selama ini lebih digerakkan oleh kegiatan perorangan (individu)

O l e h :
Diddy Rusdiansyah AD, SE., MM
Kepala Bidang Pembinaan Ekonomi & Dunia Usaha Badan Pengelolaan Kawasan Perbatasan, Pedalaman & Daerah Tertinggal

Referensi Pendukung

1) Arsyad, Prof. Lincolin, Ph.D. 2010. Ekonomi Pembangunan, Edisi 5. Cetakan Pertama. Juni 2010. UPP STIM YKPN. Yogyakarta.
2) A.S, DR. M.S. Tajul Khalwaty, MM, MBA. 2000. Inflasi dan Solusinya. Cetakan Pertama. Juli 2000. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
3) Bappeda Provinsi Kalimantan Timur. Kalimantan Timur Dalam Angka. Publikasi BAPPEDA dan BPS Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2006, 2007, 2008, 2009, 2010 dan 2011.
4) Bappeda Kabupaten Nunukan. Kabupaten Nunukan Dalam Angka. Publikasi BAPPEDA dan BPS Kabupaten Nunukan Tahun 2006, 2007, 2008, 2009, 2010 dan 2011.
5) Bappeda Kabupaten Malinau. Kabupaten Malinau Dalam Angka. Publikasi BAPPEDA dan BPS Provinsi Kabupaten Malinau Tahun 2009, 2010 dan 2011.
6) Bappeda Kabupaten Kutai Barat. Kabupaten Kutai Barat Dalam Angka. Publikasi BAPPEDA dan BPS Kabupaten Kutai Barat Tahun 2006, 2007, 2008, 2009, 2010 dan 2011.
7) Dollah, Ramli dan Ahmad Mosfi Mohammad. 2007. Perdagangan Tukar Barang Malaysia - Indonesia : Potensi dan Cabaran (sebuah makalah). Jati Vol 12. Desember 2007.
8) Dumairy, Drs, MA, 1997. Perekonomian Indoensia. Cetakan Pertama. Penerbit Erlangga. Yogyakarta.
9) Jhingan, M.L. 2000. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Cetakan Kedelapan. Oktober 2000. PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta. 
10)Kompas, Koran Harian Umum. 17 Januari 2013.
11)Prasetiantono, A. Tony. 1995. Agenda Ekonomi Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
12)Stiglitz, Joseph E., Amartya Sen dan Jean-Paul Fittousi, 2011. Mengukur Kesejahteraan - Mengapa Produk Domistik Bruto Bukan Tolok yang Tepat Untuk Menilai Kemajuan. Cetakan Pertama. April 2011. Diterjemahkan Mutiara Arumsari dan Fitri Bintang Timur. Penerbit Marjin Kiri. Jakarta 
13)Tambunan, Prof. DR. Tulus T.H. 2011. Perekonomian Indoensia Kajian Teoritis dan Analisis Emperis. Juli 2011. Ghalia Indonesia. Bogor.
14)Todaro, Michael P dan Stephen C. Smith. 2003. Pembangunan Ekonomi Di Dunia Ketiga. Jilid I. Edisi Kedelapan. Alih Bahasa Drs. Haris Munandar, MA dan Puji A.L, SE. Penerbit Erlangga. Jakarta.
15)Todaro, Michael P dan Stephen C. Smith. 2006. Pembangunan Ekonomi. Jilid I. Edisi Kesembilan. Alih Bahasa Drs. Haris Munandar, MA dan Puji A.L, SE. Penerbit Erlangga. Jakarta.

comment 2 komentar:

Denisa Ruvianty on 24 Maret 2015 pukul 17.50 mengatakan...

Terimakasih, Pak. Informasi yang sangat baik. Kalau bisa dimasukan di Jurnal, Pak, supaya banyak mahasiswa dan akademisi yang membaca untuk penelitian selanjutnya :)

Unknown mengatakan...

Pengakuan tulus dari: FATIMAH TKI, kerja di Singapura

Saya mau mengucapkan terima ksih yg tidak terhingga, serta penghargaan & rasa kagum yg setinggi-tingginya kepada MBAH DEWA, saya sudah kerja sebagai TKI selama 5 tahun diMalaysia,dengan gaji lebih kurang 2.5jt/bln,tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,apalagi setiap bulan harus mengirim ortu di jawa, sudah lama saya mengetahui roomnya mbah ini, juga sudah lama mendengar nama besar MBAH,tapi saya termasuk orang yg tidak terlalu percaya dengan hal ghoib, jadi saya pikir ini pasti kerjaan orang iseng yg mau menipu.tetapi kemarin waktu pengeluaran 8924 , saya benar2 tidak percaya & hampir pingsan,angka yg diberi Mbah 8924 ternyata tembus, awalnya saya coba2 menelpon, saya bilang saya terlantar diMalaysia, tidak ada ongkos pulang,terus beliau bantu kasih angka 4478 setelah saya bantu mahar yg dibutuhkan.mulanya saya tdk percaya,mana mungkin angka ini keluar, tapi dengan penuh pengharapan saya pasangin kali 100 lembar, sisa gaji bulan Kemarin, ternyata tembuss….!!!
dapat BLT 250jt, sekali lagi terima kasih banyak MBAH DEWA, saya sudah kapok kerja jadi TKI, rencana minggu depan mau pulang aja ke sukabumi.buat mbah,saya tidak akan lupa bantuan& budi baik MBAH.
Demikian kisah nyata dari saya tanpa rekayasa.
YANG MAU SEPERTI SAYA HUB:MBAH DEWA DI:082 316 555 388
ATAU KUNJUNGI SITUS DIBAWAH INI

KLIK=>> BOCORAN TOGEL HARI INI



Yang punya room salam jackpot...










Kesaksian IBU Sri Rahayu Dari sukabumi

Ingin Berbagi Cerita. dulunya saya pengusaha sukses harta banyak dan kedudukan tinggi
tapi semenjak saya ditipu oleh teman hampir semua aset saya habis
saya sempat putusasah hampir bunuh diri.tapi untungnya saya buka internet dan menemukan nomor MBAH GEDE
saya beranikan diri untuk menghubungi beliau,saya dikasih solusi
awalnya saya ragu dan tidak percaya,tapi saya coba ikut ritual dari MBAH GEDE
alhamdulillah sekarang saya dapat modal dan mulai merintis kembali usaha saya
sekarang saya bisa bayar hutang2 saya di bank Mandiri dan BNI
terimah kasih MBAH GEDE,mau seperti saya Hub no.MBAH GEDE di:082 337 115 789
atau lebih jelasnya klik situs dibawah

klik=> PESUGIHAN PUTIH TAMPA TUMBAL





wassalam








Ny. RATI TRIE UTTAMI

Kisah Nyata Dari Saya Ibu Rati Trie Uttami, Tanggerang Banten.
Salam Untuk Semuanya Sedikit Ingin Berbagi Kepada Teman2 Sekalian Tentang Keberhasilan Saya Mendapatkan Dana Gaib Dari Aky Sadewa Pakar Ahli Pesugihan Islami, Pada Awalnya Saya Sangat Tidak Percaya Dan Berfikir Ini Hanya Program Orang Iseng Yang Tidak Bertangguangjawab, Namun Bertepatan Kondisi Saya Yang Sedang Mengalami Kerugian Yang Sangat Dalam Berbisnis Dan Harus Segera Melunasi Hutang2 Saya Di Bank Yang Sudah Menumpuk Dengan Kondisi Terhempit Saya Coba Untuk Menghubungi Aky Sadewa Untuk Meminta Bantuan Agar Saya Bisa Bayar Hutang Dan Dan Puji Syukur Saya Ucapkan Bantuan Dari Aky Benar Sangat Nyata Saya Mendapatkan Bantuan Uang Gaib Dengan Jumlah 1Milyar, Proses Cepat Cair Hanya Dengan Membayar Biaya Mahar Untuk Keperluan Ritual Uang Gaib 1 Milyar Langsung Masuk Ke Rekening Tabunagan Saya Sungguh Luar Biasa, Terima Kasih AKY Berkat Bantuannya Hutang2 Saya Sudah Lunas Dan Sekarang Saya Mulai Membuka Bisnis Baru Lagi, Maka Dari Itu Kepada Teman2 Jangan Ragukan Pesugihan Aky Sadewa Karna Saya Sudah Membutikan Sendiri hasilnya.. Contact Person Aky Sadewa Di: (~0823~9966~6829~) Untuk Info Lengkapnya Kunjungi Di Situs: www.akysadewaritualislami.com

Posting Komentar

Delete this element to display blogger navbar

 
© Kabar Perbatasan Kaltim | Design by Blog template in collaboration with Concert Tickets, and Menopause symptoms
Powered by Blogger