2013 © Diddy Rusdiansyah. Diberdayakan oleh Blogger.

Ads 300 x 600

Recent Posts

3 Menjadikan Badan Pengelola Perbatasan Sebagai Badan Otoritas Khusus - Wacana atau Suatu Keharusan


A. Pendahuluan

Hasil penelitian Kodam VI/Mulawarman, yang telah diseminarkan secara nasional pada tanggal 12 Juli 2012 lalu, di Balikpapan; salah satu isu strategis yang diangkat adalah upaya percepatan pembangunan di kawasan perbatasan, diantaranya mengusulkan peningkatan status Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) dan Badan Pengelola Perbatasan Daerah (BPPD), yang semula hanya sebagai "koordinator" pelaksanaan pembangunan perbatasan, menjadi "Badan Otoritas Khusus Pengelola Perbatasan". Dasar pemikirannya adalah selama ini keterlibatan banyak Instansi Pemerintahan untuk turut berperan aktif dalam pembangunan kawasan perbatasan, sesuai tugas dan fungsinya; berdampak terhadap pemborosan biaya dan sasarannya menjadi tidak fokus (Tim Peneliti KODAM VI/MLW, 2012; 19)

Disisi lainnya fungsi koordinatif secara teoritis hanya memberikan arahan program pembangunan dan memantau pelaksanaan program dilapangan - selanjuntnya menyampaikan masukan (feed back) sebagai langkah penyempurnaan program pembangunan tahun berikutnya, tanpa ada kekuatan untuk memberikan "tekanan" bagi Instansi Pemerintah  terkait; apakah harus melaksanakan atau tidak program dimaksud. Acapkali fungsi koordinatif hanya sebagai upaya menghimpun masukan dan memberikan usulan, yang masih perlu diproses lebih lanjut oleh Instansi terkait - disesuaikan dengan dokumen perencanaan formal yang dimiliki maupun kemampuan keuangannya. Disinilah permasalahan prinsip dari fungsi koordinatif yang dibebankan pada BNPP/BPPD. Sementara upaya percepatan pembangunan di kawasan perbatasan sudah merupakan suatu keharusan yang tidak dapat ditunda.

Penyajian tulisan ini bertujuan untuk; (a) memberikan penekanan terhadap arti pentingnya perluasan peran institusional Badan Pengelola Perbatasan, terutama BPPD, dengan memperhatikan beberapa faktor pendukungnya, seperti kondisi kawasan; dan (b) memberikan tinjauan yuridis formal terhadap perluasan peran  institusional  bagi BPPD  untuk melaksanakan fungsi pelaksanaan (implementatif), yang sifatnya temporer dan residual.

B. Relevansi Badan Ororita Khusus - Perluasan Kewenangan

Pembentukan Badan Otoritas Khusus Pengelola Perbatasan dasar pemikirannya sangat realistis, karena realitas di lapangan acapkali terjadi lemahnya peran dari fungsi koordinatif BNPP/BPPD; disebabkan setiap Instansi berkepentingan untuk melaksanakan peran dan fungsi sektoral-nya dengan baik, serta berkepentingan untuk mencapai sasaran program yang sudah tertuang dalam RPJM Nasional/Daerah dan RENSTRA sektoral-nya masing-masing, walaupun kesepakatan wilayah (spasial) pembangunannya sama, yaitu di kawasan perbatasan.

Peran koordinatif dilingkungan Instansi Pemerintahan bercirikan 2 (dua) hal prinsip, yaitu; (a) keanggotaannya bersifat ad hoc, sehingga keterwakilan anggota dapat berganti-ganti dalam mewakili Institusi-nya; tidak menutup kemungkinan keterwakilan tersebut tidak dalam posisi menentukan; dan (b) tidak dalam kapasitas untuk mengambil peran dan fungsi Institusi teknis yang ada. Kedua hal inilah menjadikan Institusi yang memiliki peran/fungsi koordinatif selalu dihadapkan pada kondisi dilematis, akibat kebijakan/keputusan yang telah ditetapkan bersama; tidak dapat dilaksanakan secara efektif, karena lemahnya komitmen bersama dan ketergantungan implementasi pada Instansi teknis terkait.

Merujuk pada pemikiran James A. Champy (dalam Frances Hesselbein et al, 1997; 9-10); sebenarnya dimungkinkan bagi Institusi Pemerintah untuk melakukan reengineering, yaitu melakukan perubahan pola kerja institusi; tidak selalu bertumpu pada fungsi, tetapi mengikuti proses yang dapat  melewati batas-batas fungsional.  Dalam konteks BPPD, perubahan ini dapat  berdampak terhadap upaya untuk melakukan perluasan fungsi (reinventing), yang pada tahap awalnya diindikasikan dengan perubahan dalam struktur organisasi yang memungkinkan untuk bertindak sebagai pelaksana (eksekutor) program pembangunan dalam cakupan kawasan tertentu ("perbatasan").

Permasalahannya; perubahan status Institusi BNPP/BPPD, yaitu memiliki peran/fungsi koordinatif - implementatif, tidak hanya terkait dengan perubahan aturan hukum (yurisdiksi) institusional-nya saja, namun lebih dari itu, yaitu ada kaitannya dengan hubungan kerja antar BNPP-BPPD-Instansi Pemerintah lainnya,  baik ditingkat pusat maupun daerah, dukungan sumber daya aparatur serta penganggaran (budgeting) kegiatan; Disamping mempertimbangkan kompleksitas permasalahan perbatasan yang dihadapi, mengingat adanya perbedaan luasan spasial dan cakupan kawasan, yang terdiri kawasan perbatasan laut dan kawasan perbatasan darat.

Di Provinsi Kalimantan Timur sendiri, cakupan kawasan dimaksud terdiri dari kawasan perbatasan darat, yang berada di Kabupaten Nunukan, Malinau dan Kutai Barat, sedangkan kawasan perbatasan laut berada di Kabupaten Nunukan, yaitu di sekitar Pulau Nunukan dan Pulau Sebatik. Walaupun luas wilayah perbatasan darat lebih luas dbandingkan dengan luas perbatasan laut, namun juumlah penduduk yang berada di kawasan perbatasan laut/pesisir relatif lebih banyak (padat) - selain itu ketersediaan fasilitas layanan dasar dan infrastrukturnya lebih baik, dan dinamika kegiatan perekeno- miannya lebih baik; sebagai implikasi dari kegiatan perdagangan antara Nunukan - Tawao yang terus berkembang dengan pesat.

C. Tantangan Wilayah dan Implikasinya 

Kawasan perbatasan darat dan laut yang ditangani oleh BNPP cukup luas, terutama laut - yang ada di 12 Provinsi (Cakupan Wilayah Administratif/CWA) di Inonesia, mencakup 38 Kabupaten/Kota (Wilayah Konsentrasi Pembangunan/WKP) dan 111 Kecamatan (Lokasi Prioritas). Ini merupakan tantangan yang memiliki kompleksitas cukup tinggi, tidak hanya mencakup luas wilayahnya saja (spasial), namun ada kaitannya dengan sebaran wilayahnya - dalam bentang yang cukup luas, dengan segala keterbatasan sarana transportasi, khususnya transportasi laut, sementara menurut Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang selanjutnya dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah - kedua aturan hukum (yuridis) tadi dengan jelas menegaskan bahwa kawasan perbatasan merupakan kawasan strategis nasional, sehingga perlu dilakukan pengelolaan kawasannya secara khusus - dalam rangka menjaga kedaulatan Negara; dan ini dipertegas kembali dengan terbitnya Undang-Undang No. 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara.

Pengalaman lepasnya Pulau Sepadan dan Ligitan merupakan pelajaran yang sangat berharga, yang sampai saat ini masih menyisakan masalah, karena pihak Malaysia mulai dengan versi masalah yang lain - masalah zona ekonomi eksklusif disekitar wilayah Pulau Ligitan dan Sepadan; berbenturan dengan kepentingan Indonesia sendiri. Ini baru menyangkut masalah perbatasan di laut; Belum lagi masalah perbatasan darat di Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat dengan Malaysia, NTT dengan Timor Leste serta Papua dengan PNG - masih terdapat beberapa titik batas wilayah (demarkasi) yang belum ada kesepakatan final - outstanding boundary problems (OBP).

Sejarah telah membuktikan bahwa masalah pengelolaan kawasan perbatasan merupakan hal prinsip, secara de facto lepasnya Pulau Sepadan dan Ligitan - karena pihak Malaysia sudah lebih dulu "mengelolanya". Kita tidak ingin masalah ini terulang kembali; pepatah bijak mengatakan "belajarlah dari sejarah" dan "jangan lupakan sejarah". Keberadaan BNPP dan BPPD sudah merupakan langkah yang tepat - sebagai institusi yang secara khusus mengelola pembangunan dan pembinaan masyarakat di kawasan perbatasan; namun masalahnya adalah keterbatasan wewenang.

Apabila mempertimbangkan secara bijak kompleksitas permasalahan pengelolaan kawasan perbatasan, dengan segala implikasinya, baik dilihat secara sosial-ekonomi, politis dan pertahanan/keamanan, pembentukan Badan Otoritas Khusus adalah relevan, tanpa harus membentuk institusi baru - cukup hanya memberikan perluasan kewenangan pengelolaan, tidak semata-mata hanya berwewenang sebagai koordinasi, akan tetapi ada pula kewenangan implementasi (eksekusi).

Keberadaan BNPP ditingkat pusat, dan BPPD Provinsi/Kabupaten/Kota di daerah merupakan mata rantai organisasi pemerintahan yang telah diatur kewenangannya berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Keberadaan BNPP tetap melaksanakan peran dan fungsi yang telah diatur dalam Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2010 tentang BNPP - penekanannya ada pada fungsi koordinasi - pada tataran dearah dapat melaksanakan fungsi implementasi. Antara BNPP dan BPPD fungsi koordinasi dilaksanakan secara intens - dalam konteks pelaksanaan program pembangunan yang menjadi prioritas bersama, merujuk pada ketentuan pasal 4 Peraturan Presiden dimaksud, khususnya butir a, b, e dan f.

D. Pembentukan Badan Otoritas Khusus di Daerah - Kasus Kalimantan Timur

Bagi Provinsi Kalimantan Timur sendiri relevansi pembentukan Badan Otoritas ini adalah;

Pertama, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, yaitu terkait dengan  luasan kawasan; mencapai ± 44.955,82 km2 (darat)  atau  21,54 %  dari  luas  daratan  Kalimantan  Timur   seluas  ±  208.657,74 km2; mencakup 19 wilayah adminstratif Kecamatan, di sepanjang garis perbatasan (border line) yang mencapai 1.038 km (dari batas Kalimantan Barat - Kalimantan Timur di Kabupaten Kutai Barat hingga Kabupaten Nunukan), yang berimplikasi kerawanan terhadap tindakan "illegal" - seperti pelanggaran batas wilayah, illegal logging, illegal trading dan human trafficking, sehingga penanganan aspek pertahanan/keamanan (security aspecs)  perlu mendapatkan perhatian - guna menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Tabel 1.
Jumlah Kecamatan dan Desa, Luas Wilayah serta Jumlah dan Tingkat Kepadatan Penduduk di Kawasan  Perbatasan  Provinsi  Kalimantan Timur


Keterangan : 
1) Luas wilayah daratan.
2) Jumlah penduduk tahun 2011, kecuali Kabupaten Kutai Barat merupakan jumlah penduduk tahun 2010.
Sumber : Diolah dari pelbagai sumber.

Kedua, adanya perbedaan yang cukup mencolok terhadap hasil-hasil pembangunan yang sudah dicapai di kawasan perbatasan Malaysia (Sabah dan Serawak), terutama hasil-hasil pembangunan fasilitas dasar, jaringan infrastruktur transportasi dan tingkat kesejahteraan penduduk,  sehingga  tingkat  kemajuan  sosial ekonomi relatif lebih menonjol dibandingkan kawasan perbatasan Kalimantan Timur; oleh karenanya menimbulkan dampak ketergantungan ekonomi terhadap Malaysia.

Sementara ketersediaan fasilitas dasar di kawasan perbatasan Kalimantan Timur, seperti pendidikan dan kesehatan dapat dikatakan masih minim; dan ini memberikan pengaruh terhadap upaya pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas. Upaya pemenuhan fasilitas pendidikan dan kesehatan dihadapkan pada kendala relatif kecilnya tingkat kepadatan penduduk dan penyebaran penduduk yang cukup luas.

Ketiga, upaya membuka isolasi kawasan perbatasan harus diatasi dengan membangun infrastruktur transportasi dan komunikasi, termasuk dukungan energi kelistrikan yang berkesinambungan, sehingga dibutuhkan pembiayaan yang besar dan waktu relatif lama, karena pelaksanaannya dilakukan secara bertahap (multi years program).

Atas dasar ketiga alasan inilah, maka upaya pengelolaan aspek penciptaan kesejahteraan (welfare aspecs) - melalui percepatan pembangunan di kawasan perbatasan Kalimantan Timur harus dilaksanakan secara terintegrasikan dalam satu institusi yang diberikan perluasan kewenangan mengelola pelaksanaan teknis pembangunan - sekali lagi disini ditegaskan bahwa hakekat perluasan kewenangan tadi tidak merubah struktur kelembagaan sebagai BPPD dan masih dalam koridor hubungan kerja dengan BNPP.

E. Prinsip-prinsip Dasar Perluasan Kewenangan

Perluasan kewenangan bagi BPPD sebagai Badan Otoritas Khusus - untuk melaksanakan pula fungsi pelaksanaan (implementasi), didasarkan pada prinsip-prinsip, sebagai berikut :

1. Fungsi pelaksanaan yang melengkapi fungsi koordinasi BPPD masih ada keterkaitan (linkage) dengan program-program pembangunan yang digariskan oleh BNPP melalui penetapan rencana induk dan rencana aksi (pasal 4 huruf a Keputusan Presiden No. 12 Tahun 2010), dan sesuai dengan kewenangan daerah.

2. Pelaksanaan program tahunan yang merupakan bagian dari kesepakatan program yang mendapatkan prioritas BNPP (pasal 19, 20 ayat 2 dan 21 Keputusan Presiden No. 12 Tahun 2010).

3. Merupakan pelaksanaan program yang bersifat residual; dalam artian bahwa implikasi dari penetapan program pembangunan tersebut sebagai prioritas pembangunan di kawasan perbatasan, maka apabila tidak ada Instansi Pemerintah teknis/sektoral yang melaksanakannya (termasuk menganggarkan pembiayaannya), maka BPPD dapat mengambilalih pelaksanaannya.

4. Untuk melengkapi prinsip residual diatas, dalam pelaksanaan program pembangunan di kawasan perbatasan, menerapkan pula prinsip temporer - yang dimaksudkan sebagai pelaksanaan program yang bersifat sementara waktu; Apabila Instansi teknis/sektoral terkait sudah siap untuk melaksanakannya, maka program tersebut dapat dialihkan pelaksanaannya pada tahapan berikutnya, dan harus menjadi lebih baik lagi hasilnya.

5. Sejalan dengan prinsip temporer diatas, pelaksanaan program pembangunan di kawasan perbatasan oleh BPPD menganut prinsip rintisan - melaksanakan program prioritas yang belum pernah dilaksanakan oleh Instansi teknis/sektoral lainnya.

6. Pelaksanaan program  pembangunan secara teknis didukung dengan kemampuan sumber daya Aparatur BPPD, baik secara internal maupun dukungan dari Aparatur Instansi teknis/sektoral; ini merupakan prinsip kapabilitas.

Dari keenam prinsip tersebut diatas dapat dirunut pokok pemikirannya; bahwa perluasan kewenangan BPPD masih dalam koridor yang dapat dibenarkan, karena; Pertama, program prioritas pembangunan yang dilaksanakan didukung oleh dokumen perencanaan yang merupakan strategi nasional (dibawah koordinasi BNPP). Kedua, perwilayahan pembangunan pada kawasan perbatasan yang sudah didefinisikan menurut Undang-Undang No. 43 Tahun 2008, yaitu Kecamatan di perbatasan yang telah ditetapkan sebagai Lokasi Prioritas.

Ketiga, prinsip residual dan temporer, pada dasarnya memberikan kesempatan Instansi teknis/sektoral sebagai leading sector dalam mendukung percepatan pembangunan di kawasan perbatasan - Apa yang dilakukan BPPD hanya bersifat sementara waktu, mengisi pelaksanaan program yang mendesak dan dibutuhkan masyarakat setempat. Dalam kaitan ini, tidak menutup kemungkinan bahwa program tersebut merupakan rintisan, yang selanjutnya apabila sudah cukup mapan dan berjalan dengan baik, disamping adanya kesiapan Instansi teknis/sektoral-nya, maka sudah menjadi kewajiban BPPD memberikan kesempatan untuk diambilalih - tentunya pengambilalihan ini harus ada kelanjutan pelaksanaannya dilapangan (konsistensi program) dan menciptakan hasil yang lebih baik.          

F. Kelembagaan - Tinjauan Yuridis  

Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat dapat dikatakan sebagai perintis dalam pembenukan institusi pemerintahan yang menangani pengelolaan kawasan perbatasan; Khususnya untuk Kalimantan Timur - institusi dimaksud adalah Badan Pengelolaan Kawasan Perbatasan, Pedalaman dan Daerah Tertinggal (BPKP2DT), yang dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah No. 13 Tahun 2009 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Lain Perangkat Daerah Provinsi Kalimantan Timur, sehingga dibandingkan dengan pembentukan BNPP, yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2010, maka keberadaan BPKP2DT lebih dahulu dibentuk. Sementara itu, untuk memberikan arahan dan sekaligus menseragamkan kelembagaan BPPD, Kementrian Dalam Negeri telah menerbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri  No. 2 Tahun 2011 tentang Pembentukan Badan Pengelola Perbatasan di Daerah, dimana pada  pasal 6 dan 7  disebutkan beberapa kewenangan yang diberikan terutama kewenangan untuk melakukan koordinasi pembangunan di kawasan perbatasan - tidak berbeda dengan ketentuan Peraturan Daerah yang ada, khususnya pasal 26, yang menyebutkan tugas BPKP2DT adalah merumuskan perencanaan, pembinaan, koordinasi dan pengendaian kebijakan teknis sesuai bidang yang ada. Artinya, fungsi untuk melaksanakan kegiatan teknis pembangunan di kawasan perbatasan masih melekat secara fungsional pada Instansi Pemerintah terkait.

Permasalahannya adalah untuk menjadikan BPPD sebagai Badan Otoritas Khusus harus ada sikronisasi dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Presiden maupun Peraturan Menteri Dalam Negeri sebagaimana disebutkan diatas. Oleh Mohammad Ikhwanuddin Mawardi (2009; 156-157), disebutkan bahwa terdapat 3 (tiga) alternatif kelembagaan yang mengelola perbatasan, yaitu lembaga bersifat implementatif, lembaga bersifat koordinatif serta lembaga bersifat implementatif dan koordinatif. Diantara ketiga bentuk lembaga tadi, disarankan pilihan yang tepat adalah lembaga bersifat implementatif dan koordinatif. Inilah yang seharusnya menjadi dasar pemikiran pembentukan BNPP dan BPPD.

Pada tingkat pusat (BNPP) dibentuk keanggotaannya lintas Kementrian/Lembaga Pemerintah Non Kementrian (K/L); lihat pasal 6 Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2010,  yang berfungsi untuk menetapkan kebijakan dan rencana kebutuhan anggaran serta mengkoordinasikan, mengevaluasi dan melakukan pengawasan atas pelaksanaan program pembangunan di kawasan perbatasan (ditegaskan pada pasal 3) - walaupun pada pasal 19; disebutkan bahwa adanya fungsi untuk melakukan integarasi dan sinkronisasi dalam melaksanakan tugas antara BNPP dengan Instansi Pemerintah terkait lainnya ditingkat Pusat - namun inti dari pelaksanaan fungsi BNPP adalah koordinasi (lihat pasal 21 Peraturan Presiden yang sama).

Badan Nasional Pengelola Perbatasan ini memiliki kewenangan untuk memfasilitasi kegiatan koordinatif terhadap program dan anggaran lintas sektoral (pasal 20 ayat 2); dan tidak mengambil tugas serta kewenangan K/L, mengingat fungsi implementatif masih melekat pada K/L teknis terkait. Dalam kerangka otonom daerah - perpanjangan fungsi impelementatif ini dapat digeserkan pada Instansi teknis/sektoral di daerah. Oleh Asmawi Rewansyah (2010; 152); disebutkannya bahwa dalam reformasi birokrasi, khususnya  untuk meningkatkan pelayanan pada masyarakat, maka kesan birokrasi yang bersifat lebih mempercepat proses pelaksanaan program pembangunan harus diutamakan, apalagi ini menyangkut program pelayanan dasar.

Sesuai dengan amanat Undang-Undang No. 43 Tahun 2008 dan pasal 24 Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2010, ditingkat daerah dibentuk lembaga yang sama untuk mengelola pembanguan di kawasan perbatasan; BPPD - dikaitkan dengan keinginan membentuk Badan Otoritas Khusus ini, maka pemberlakuannya secara efektif adalah di daerah, dalam hal ini BPP diberikan kewenangan implementatif. Keberadaan Unit Pelaksana Teknis (UPT) sebagaimana disebutkan pada pasal 13 dan 14 Peraturan Menteri Dalam Negeri yang sama, dapat dijadikan dasar rujukan untuk melaksanakan fungsi implementatif ini.

Berdasarkan uraian diatas maka pembentukan Badan Otoritas Khusus Pengelola Perbatasan di Daerah, termasuk di Kalimantan Timur sangat dimungkinkan, mengingat secara kelembagaan dasar pemikirannya sudah ada sebelum dibentuknya BNPP sendiri (lihat kembali Mohammad Ikhwanuddin Mawardi, 2009, 153-171, pokok-pokok pemikiran pembentukan kelembagaan pengelolaan perbatasan). Pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, cukup jelas wilayah tanggungjawabnya; di Pusat (BNPP) bertindak dalam kewenangan koordinatif, sedang di Daerah (BPP) lebih pada kewenangan implementatif sebagai ujung tombak pelaksanaan pembangunan di daerah dalam kerangka otonomi. Ini dapat diartikan bahwa pembentukan badan tersebut bukan hanya sekedar wacana saja; bergantung pada komitmen bersama untuk memajukan lawasan perbatasan.

G. Mekanisme Pengelolaan Kawasan - Hubungan Kerja Dengan BNPP

Selama ini integrasi pembangunan kawasan perbatasan, pada skala nasional adalah merujuk pada penetapan kawasan sebagai Pusat Kegiatan Strategi Nasional (PKSN) - mengutip Rohmad Supriyadi (2011);  dan penetapan Lokasi Prioritas (LOKPRI) oleh BNPP melalui penetapan Rencana Induk Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan oleh BNPP berdasarkan Peraturan BNPP No. 2 Tahun 2011.  

Ditetapkannya 5 (lima) PKSN di Kalimantan Timur diharapkan dapat menjadi pusat pertumbuhan kawasan sekitarnya. Namun akibat keterbatasan infrastrukuktur transportasi; menyebabkan potensi ekonomi kawasan yang dijadikan dasar rujukan penetapan PKSN ini, tidak dapat dieksploitasi dengan  baik  untuk  kemaslahatan  penduduk  setempat.  Atau  dalam arti kata lainnya, belum dapat terwujudkan, karena kawasan yang ditetapkan sebagai pusat pertumbuhan belum dapat berfungsi.

Sementara LOKPRI merupakan kesepakatan dalam melakukan tahapan kegiatan pembangunan di Kecamatan perbatasan (locus); Batasan wilayah pembangunannya  lebih memperhatikan batasan wilayah administratif pemerintahan terdepan, yaitu "Kecamatan". Ini mengisyaratkan strategi pembangunan yang diterapkan bersifat pemerataan untuk semua Kecamatan yang ada di wilayah perbatasan, karena disini pemahaman  desentralisasi  lebih  ditekankan  pada  "desentralisasi fungsional"  (Afriadi Sjahbana Hasibuan, 2011); atas dasar pertimbangan; bahwa (a) kawasan perbatasan sebagai bentang geografis yang  mempunyai  fungsi sama  dalam konteks  pengelolaan dan pengembangannya; dan (b) bersifat fungsional dalam satu entitas ("gabungan institusi") yang wilayah kerjanya berada dalam satu kesatuan sistem geografis yang tidak seharusnya terkotak-kotak oleh batas administrasi daerah.

Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur; berdasarkan perencanaan pembangunan yang tertuang dalam RPJM Daerah Tahun 2009-2013, membagi perwilayahan pembangunan di kawasan perbatasan, menggunakan konsep berupa penetapan lokasi 14 Desa/Kecamatan sebagai "titik-titik kuat pembangunan". Keempat belas titik kuat dimaksud pada dasarnya tidak berbeda dengan konsep PKSN, yaitu menjadikan Desa/Kecamatan sebagai pusat pertumbuhan, namun konsep titik kuat sudah direncanakan koneksitas transportasinya, baik darat maupun udara.

Sebagai pusat pertumbuhan berdasarkan konsep titik kuat ini sifatnya berjenjang, karena tidak mungkin menjadikan pusat pertumbuhan secara bersamaan, tanpa didukung keterbukaan jalur transportasi, terutama sarana/prasarana jalan. Desa/ Kecamatan yang sudah terkoneksikan jalur transportasinya diharapkan dapat memberikan dorongan pertumbuhan wilayah sekitarnya, sekaligus menjadi batu loncatan untuk mendorong pembukaan jalur transportasi lebih dalam lagi hingga mencapai lokasi titik kuat lainnya yang sepenuhnya berada di kawasan perbatasan. Dikaitkan dengan LOKPRI, maka lokasi titik kuat yang tidak termasuk dalam LOKPRI merupakan Penunjang LOKPRI.



Keterangan :
RPJPN = Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional RPJMN = Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
RPJPD = Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah RPJMD = Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
RKPP = Rencana Kerja Pemerintah Pusat RKPD = Rencana Kerja Pemerintah Pusat
DAK = Dana Alokasi Khusus TP = Tugas Pembantuan
Dekons = Dekonsentrasi Subs = Subsidi Pembangunan
RINDUK = Rencana Induk LOKPRI = Lokasi Prioritas
K/L = Kementrian/Lembaga Pemerintah Non Kementrian Prov/Kab/ Kot = Provinsi/Kabupaten/Kota

Bagan 1 - Mekanismen Perencanaan Pembangunan Sektoral dan Spasial di Kawasan Perbatasan 


Pembagian perwilayahan pembangunan seperti disebutkan diatas mengindika-sikan bahwa strategi perwilayahan di kawasan perbatasan sudah terdapat sinkronisasi antara perencanaan pusat dan daerah - sehingga pertanyaannya; bagaimana dengan sinkronisasi secara sektoral. Tentunya, perlu ada kesepakatan mengenai mekanisme hubungan kerja antara BNPP dengan BPPD. Pada Bagan 1 diatas, mekanisme dimaksud pada dasarnya tidak terdapat perbedaan prinsip - hanya saja dari aspek spasial-nya adalah merujuk pada LOKPRI. Sementara dari pelaksanaan program pembangunan, terutama pelaksanaan teknis di lapangan sepenuhnya diserahkan pada Instansi Pemerintah Daerah, dibawah pemantauan/pengendalian BPPD secara berjenjang - BPPD Provinsi dan BPPD Kabupaten/Kota. Selama ini mata rantai hubungan kerja antara BNPP dan BPPD, khususnya dengan BPPD Provinsi putus, karena secara teknis; pelaksanaan program dilimpahkan pada Kabupaten/Kota terkait  melalui pembiayaan Tugas Pembantuan (TP); atau dilaksanakan langsung oleh BNPP.

Idealnya, BNPP lebih memfokuskan alokasi pembiayaan melalui Dana Alokasi Khusus (DAK), dengan program yang telah disepakati bersama - implementasinya dapat diserahkan pada BPPD Provinsi atau Kabupaten/Kota. Mohammad Ikhwanuddin Mawardi (2009; 109-122); cukup jelas menggambarkan bagaimana tahapan pengalihan dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan menjadi DAK.

Pengalaman selama ini, dan ini dapat juga dikatakan sebagai proses pembelajaran bagi BNPP maupun BPPD; bahwa tuntutan administratif yang harus ditangani BNPP - sebagai pertanggungjawaban didalam mengelola dana TP maupun langsung bertindak sebagai pelaksana teknis dilapangan; banyak mensita waktu untuk mengurusnya, sehingga mengurangi kesempatan waktu yang seharusnya dapat dipergunakan untuk merumuskan pelbagai kebijakan yang bersifat strategis. Apabila kita arif dan bijak menempatkan pasal 4, 19 dan 21 Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2010, sebagai landasan pijakan mengoptimalkan peran BNPP, maka hal-hal yang bersifat taktis ("jangka pendek") diserahkan pada BPPD, karena BNPP masih dapat berfungsi melakukan koordinasi dan pemantauan - tantangan luas kawasan perbatasan (darat dan laut), termasuk pulau-pulau terluar;  dengan segala keterbatasannya, membutuhkan pemikiran yang brilian; dan ini hanya dapat dilakukan; apabila beban pekerjaan yang bersifat taktis dikurangi bobotnya. Riq Duques dan Paul Kasge (dalam Frances Hesselbein et al, 1997; 39-51); menyebutkan ukuran dan sentralisasi ("kasus perusahaan besar" yang dapat dipadankan kelembagaan pemerintahan) - tidak selalu memberikan pengaruh pada peningkatan kinerja. Atau apa yang dikatakan oleh Syaukani HR et al (2002; 213-214); salah satu kesalahpahaman tentang otonomi daerah, daerah dipretensikan belum siap dan belum mampu - pemberian tugas kepada daerah  juga harus diikuiti pelimpahan kewenangan. Kedua pendapat diatas, apabila dirunut berdasarkan ranah manajemen; menegaskan akan arti pentingnya span of control - semakin jauh jarak antara pengambil keputusan dengan tindakan (eksekusi) yang harus diambil, mengharuskan adanya pelimpahan wewenang. Artinya, pengelolaan perbatasan tidak sepenuhnya hanya dapat dilakukan di Jakarta, peran aktif daerah tetap dikedepan, guna memperpendek span of control tadi, Semuanya ini pada akhirnya bermuara pada "trust"  (meminjam istilah Francis Fukuyama) antara BNPP dan BPPD.

H. Penganggaran Keuangan

Umumnya masalah yang dihadapi oleh BPPD dalam menghimpun alokasi dana pada setiap Instansi Pemerintah, yang mengalokasikan dana pembangunan kawasan perbatasan, karena belum adanya keseragaman penganggaran pada APBD, khususnya dalam Daftar Pelaksanaan Anggaran (DPA) tahun berjalan. Ini patut menjadi perhatian, karena dalam setiap Rencana Aksi (Ranaksi) tahunan, setiap Pemerintah Daerah harus mengetahui alokasi dana APBD yang diperuntukkan pada kawasan perbatasan, sehingga untuk mengatasi permasalahan ini perlu adanya kesepakatan penetapan anggarannya secara nasional, mengingat terdapat 12 Provinsi (CWA) dan 38 Kabupaten/Kota (WKP) yang memiliki kawasan perbatasan.

Dalam Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, yang selanjutnya dijabarkan lebih lanjut berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 59 Tahun 2007 tentang Perubahan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006  tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, khususnya pasal 35, yang memberikan kewenangan bagi daerah untuk melakukan klasifikasi program/ kegiatan, sesuai urusan pemerintahan dan kewenangan daerah. Apabila hal ini dapat diwujudkan maka program, pembiayaan dan tolok ukur kegiatan Instansi Pemerintah yang berkiprah langsung dalam percepatan pembangunan kawasan perbatasan, dapat diketahui secara pasti; dan ini akan memudahkan kegiatan pemantauan di lapangan.

I. Dukungan Sumber Daya Aparatur

Dukungan sumber daya aparatur; sebagai implikasi dari adanya pelaksanaan program kerja teknis sektoral oleh BPPD, apalagi dalam statusnya sebagai Badan Otorita Khusus -  mengharuskan tersedianya aparatur yang memahami tugas/pekerjaan teknis, sehingga berdampak terhadap kebutuhan aparatur dari Instansi teknis Pemerintah terkait, baik dalam status diperbantukan atau dipekerjakan.

Pada tingkat BPPD, kebutuhan Aparatur tadi lebih pada tataran teknis, sedangkan BNPP tataran-nya lebih pada strategi kebijakan, sehingga tuntutan terhadap kebutuhan multidisiplin ilmu-nya lebih kompleks; Dan ini proses perekrutannya dapat berasal dari K/L teknis/sektoral - mereka umumnya memiliki pengalaman teoritis yang didukung oleh latarbelakang pendidikan yang sesuai, serta pengalaman pragmatis yang ditempa oleh pengalaman emperik, selama melaksanakan tugasnya di K/L bersangkutan. Pengalaman selama ini membuktikan bahwa pengalaman kerja berdasarkan proses otodidak tidak selalu membawa hasil yang optimal. Pembangunan kawasan perbatasan harus kita sepakati bersama bahwa penanganannya tidak berorientasi pada "working is usually", akan tetapi bekerja penuh dedikasi - semoga ini dapat dipahami.  

O l e h
Diddy Rusdiansyah A.D, SE., MM
Kabid. Pembinaan Ekonomi & Dunia Usaha Badan Pengelolaan Kawasan Perbatasan, Pedalaman & Daerah Tertinggal Provinsi Kalimantan Timur


Daftar Kepustakaan

Buku teks/makalah/hasil peneltian
  
1) Hasibuan, DR. Afriadi Sjahbana, MPA. M.Com; Revitalisasi Pengembangan Wilayah Sebagai Upaya Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Perbatasan (suatu handout). Disampaikan pada Workshop Percepatan Pertumbuhan Ekonoi Wilayah Perbatasan, diselenggarakan DITJEN BANGDA Kementrian Dalam Negeri, tanggal 20 Juni 2011. Jakarta.
2) Hesselbein, Frances, Marshal Goldsmith & Richard Bechard (editor). 1997. The Organization of the Future. Alih Bahasa Ahmad Kemal.  PT. Elex Media Komputindo. Jakarta.
3) HR, Drs. H. Syaukani, Prof. DR. Affan Gaffar, MA dan Prof. DR. M. Ryaas Rasyid, MA. 2002. Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan. Cetakan I. Maret 2002. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
4) Mawardi, Mohammad Ikhwanuddin. 2009. Membangun Daerah yang Berkemajuan, Berkeadilan, dan Berkelanjutan. Cetakan Pertama. November 2009. IPB Press. Bandung.
5) Rewansyah, DR. Asmawi, M.Sc. 2010. Reformasi Birokrasi Dalam Rangka Good Governance. Cetakan Pertama. Perbruari 2010. CV. Yusaintanas Prima. Jakarta. 
6) Supriyadi, Ir. Rohmad, M.Si. 2011; Kebijakan & Strategi Untuk Mendorong Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Kawasan Perbatasan (sebuah handout). Disampaikan pada Workshop Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Perbatasan, diselenggarakan DITJEN BANGDA Kementrian Dalam Negeri, tanggal 20 Juni 2011. Jakarta.
7) Tim Peneliti KODAM VI/MLW. 2012. Executif Summary Penelitian Wawasan Kembangsaan Masyarakat Perbatasan RI - Malaysia di Wllayah Kodam VI/Mulawarman. Juni 2012.

Peraturan-peraturan

8) Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
9) Undang-Undang No. 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara.
10)Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
11)Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.
12)Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah.
13)Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Pengelola Perbatasan.
14)Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 59 Tahun 2007 tenatng Perubahan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah
15)Peraturan Badan Nasional Pengelola Perbatasan No. 2 Tahun 2011 tentang  Rencana Induk Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan.
16)Peraturan Gubernur No. 34 Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2009-2013.

Read more

2 Upaya Menumbuhkan Kembali Usaha Kerajinan Rakyat Di Kawasan Perbatasan Provinsi Kalimantan Timur


Kawasan perbatasan Provinsi Kalimantan Timur pada sisi wilayah pedalaman, baik di Nunukan, Malinau maupun Kutai Barat; lebih didominasi keberadaan suku Dayak dibandingkan suku-suku lainnya. Suku Dayak ini memiliki kerajinan anyaman yang motif-nya berbeda sesuai anak suku-nya masing-masing; Disinilah keunikannya, walaupun produk kerajinannya sama, akan tetapi dapat dipastikan akan berbeda motifnya, yang diwariskan sejak turun menurun.



Kekayaan budaya khas suku Dayak ini, seiring dengan perjalanan waktu dan mulai merambahnya teknologi komunikasi ke kawasan pedalaman/perbatasan, cukup memberikan dampak terhadap keberminatan untuk menekuni pembuatan seni kerajinan tangan, terutama kerajinan anyaman. Apabila ini terus dibiarkan, tanpa ada upaya nyata untuk mempertahankannya, maka tidak menutup kemungkinan secara berlahan dan pasti, kerajinan asli suku Dayak hanya dapat ditemukan di museum; boleh jadi museum dimaksud ada di Negara-negara Eropa.


Realitas dilapangan mengindikasikan adanya sinyalemen ini;

Pertama, anak-anak muda/remaja pada umumnya sudah tidak berminat lagi membuat kerajinan khas Dayak, terutama kerajinan anyaman. Alasan yang dikemukakan, lebih banyak berkisar pada rumitnya teknik menganyam dan cukup menyita waktu. Oleh karenanya, pembuatan kerajinan lebih banyak dilakukan oleh ibu-ibu rumah tangga setempat, yang umumnya berusia 30 tahun keatas.


Kedua, pembuatan kerajinan tadi dilakukan sebagai usaha sampingan, setelah pekerjaan pokok diselesaikan; apakah pekerjaan rumah tangga ataupun membantu suami di ladang. Alasan utamanya adalah sekedar mengisi kesibukan dan disimpan untuk keperluan pribadi. Kalaupun ada permintaan hanya sebatas dari lingkungan sekitarnya, dengan harga sekedarnya pula.


Ketiga, karena dianggap sebagai pekerjaan sampingan, maka konotasinya identik dengan pekerjaan tidak produktif, sehingga wajar saja pekerjaan pembuatan kerajinan tadi hanya sekedar pajangan rumah tangga dilingkungan setempat atau ditampilkan dalam upacara/pesta adat saja.



Keempat, sebagai pekerjaan sampingan dan tidak produktif, maka tampilan motif yang dihasilkan bersifat monoton; Padahal motif dasar yang ada dapat dikembangakn sesuai permintaan dan bernuasa kontemporer, tanpa melepaskan nuasa etnik aslinya. Kerajinan yang ada di art shop kota-kota besar Kalimantan Timur, khususnya anyaman dari manik ataupun produk lainnya, bukan sepenuhnya dilakukan oleh penduduk asli Dayak; dan bahan bakunya sendiri sudah bersentuhan muatan teknologi, seperti manik, penggunaan cat, sambungan atau ikatan yang menggunakan benang/nylon serta tambahan perca-perca kain yang berwarna-warni. Kesannya adalah kerajinan Suku Dayak yang didukung produk made in china.


Kelima, komersialisasi kerajinan sebagaimana disebutkan butir keempat diatas, dilihat dari segi harga, berkorelasi untuk dapat menekan harga jual, sehingga dapat menumbuhkan minat pembeli. Namun disisi lain, akan menghilangkan orijinalitas akar budaya dan falsafah dari produk seni Suku Dayak. Produk seni asli Suku Dayak penuh dengan kearifan lokal dan menggunakan bahan baku dari alam, termasuk teknik pewarnaan-nya.




Apa yang harus dilakukan

Haruskah lenyap produk-produk seni kerajian tersebut; dan apa yang harus dilakukan untuk itu semua; jawabannya hanya "ciptakan kepastian pasar". Jawaban inilah yang melandasi adanya kerjasama Badan Pengelolaan Kawasan Perbatasan, Pedalaman dan daerah Tertinggal  (BPKP2DT) Provinsi Kalimantan Timur dengan Yayasan Bhakti Total Bagi Indonesia Lestari (Total E & P Indonesie Foundation) - Balikpapan. Pihak Yayasan bertindak sebagai pembeli dan sekaligus membina pengrajian untuk dapat menghasilkan produk seni yang sudah dikemas tampilan artistik-nya sesuai motif asli, agar memberikan nilai jual lebih.


Sementara pihak BPKP2DT melakukan pembinaan berupa pelaksanaan pelatihan dan bantuan alat penunjang, setelah dilakukan penelusuran langsung ke lapangan, untuk mencari pengrajin yang potensial. Kegiatan lainnya adalah melakukan promosi melalui kegiatan pameran di daerah maupun nasional. Dari sinilah lahir program kerjasama pelatihan bagi para pengrajin kawasan perbatasan, sebagai salah satu manifestasi kerjasama BPKP2DT dengan Yayasan Bhakti Total.


Skala kerjasama ini memang "kecil", akan tatapi memiliki makna  "besar", Dikatakan dalam skala kecil, karena kerjasama ini cukup menciptakan simpul-simpul kelompok pengrajin pada Desa tertentu pada setiap Kecamatan perbatasan, dengan memperhatikan suku/anak suku Dayak yang relatif dominan, karena seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa setiap suku/anak suku memiliki motif tersendiri dan dapat dibedakan secara jelas.  Kelompok tersebutlah yang diharapkan menjadi stimulan menggerakan penduduk sekitarnya untuk ikut serta. Motivator dan tutor kelompok adalah pengrajin yang telah mendapatkan pelatihan. Secara reguler pihak Yayasan melakukan pembinaan langsung ke lokasi ("simpul") binaan, selain membeli produk kerajinan yang dihasilkan kelompok.


Pola pembinaan skala kecil ini, apabila terus dibina secara konsisten dan adanya kepastian pasar ("pembeli") atas produk yang dihasilkan, maka akan menimbulkan semangat kerja, karena kegiatan pembuatan kerajinan tangan yang semula merupakan pekerjaan sampingan menjadi kegiatan produktif; memberikan tambahan penghasilan bagi ibu-ibu dan termanfaatkannya waktu luang; Sementara, produk seni yang dihasilkan dapat dipertahankan orijinalitas . Inilah manfaat besar yang dimaksudkan. Bukankah ini prinsip dasar ekonomi, yaitu dengan biaya yang kecil mendapatkan hasil yang besar.




Apa implikasi berikutnya

Tantangan perluasan pasar menjadi kendala utama; Pasar cukup terbuka, namun keterbatasan pasokan produk seni dari para pengrajin menyebabkan permintaan pasar tidak dapat dipenuhi. Selama ini pasar tradisional Yayasan adalah Kota Balikpapan dan sekitarnya, terutama perusahaan dan tenaga kerja asing yang memiliki selera seni yang tinggi; mereka berprinsip mengutamakan kualitas dibandingkan harga.
Potensi pasar lainnya yang sudah terbuka peluangnya adalah Pasar Raya dan Alun-Alun Grand Indonesia Mall - Jakarta. Khususnya Pasar Raya ini sudah dicapai kesepakatan, akan tetapi kembali pada masalah pasokan dari pengrajin yang masih terbatas.




Kedepan, sejalan dengan program pelatihan yang direncanakan pada tahun 2013 akan datang, diharapkan pasca pelatihan tersebut akan menambah simpul-simpul pengrajin sebagai pemasok utama. Namun masih diperlukan proses pembelajaran dalam kurun waktu tertentu; Umumnya berkisar 3 - 5 bulan, sebelum siap untuk menghasilkan produk yang berkualitas.  













Read more

2 Ciri-Ciri Ekonomi Tradisional dan Kelembagaannya Dalam Konteks Perekonomian Indonesia - Suatu Tinjauan Teoritis


A. P e n g a n t a r 

Judul tulisan diatas seakan-akan menggambarkan bahwa ekonomi Indonesia masih bersifat tradisional - bercirikan struktur ekonomi yang bertumpu sepenuhnya pada sektor pertanian di pedesaan (rural), dipadankan dengan sektor ekonomi moderen; yang ditandai dengan terpusatnya kegiatan industri di perkotaan (urban); sebagaimana diungkapkan oleh Hollis B. Chenery dengan teori transformasi ekonomi-nya. Namun, sebaliknya tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran bahwa ciri-ciri ekonomi tradisional masih terdapat di Indonesia, karena kondisi geografis dan tatanan sosial budaya yang ada dilingkungan masyarakat - masih memungkinkan tetap hidupnya ciri-ciri mendasar ekonomi tradisional, yang perlu dipertahankan sebagai suatu kearifan lokal. Oleh Nuhfil Hanani dan Mangku Purnomo (2010; 31 - 36), melihat sisi lain ekonomi tradisional sebagai struktur ekonomi lokal, yang dimaknai sebagai perubahan pola interaksi sosial sekelompok masyarakat terkait aktifitasnya dalam memenuhi kebutuhan hidup - Struktur ekonomi dimaksud setidaknya ada dalam 2 (dua) tipe, yaitu non kapitalis dan kapitalis.
Struktur ekonomi non kapitalis inilah yang berdekatan dengan ciri ekonomi tradisional, karena menurut  Nuhfil Hanani dan Mangku Purnomo;   dalam struktur ekonomi non kapitalis, hasil produksi tidak diperjualbelikan secara komersial, namun digunakan bersama secara komunal sebagai produksi sosial - produksi berorientasi pada nilai guna. Berbeda dengan struktur ekonomi kapitalis, hasil produksi dipertukarkan di pasar dan sedikit digunakan bersama sebagai produksi sosial - produksi berorientasi nilai tukar.
Dalam tulisan ini - sebelum membahas kelembagaan ekonomi tradisional berdasarkan ciri-ciri mendasarnya, terlebih dahulu akan dibahas latar belakang; mengapa ekonomi tradisional masih tetap ada, kemudian dilanjutkan dengan pembahasan tentang masyarakat tradisional yang sebagian besar terdapat di pedesaan sebagai basis komunalnya. Selanjutnya dibahas pula sistem ekonomi yang berlaku saat ini - diperbandingkan dengan beberapa ciri ekonomi tradisional.

B. Latar Belakang - Mengapa Ekonomi Tradisonal Masih Ada

Ekonomi moderen yang berkembang saat ini berorientasi pada pasar, dimana didalamnya terbentuk harga yang merupakan titik temu kekuatan permintaan dan penawaran. Disamping itu, para pelaku ekonomi moderen orientasinya lebih mengedepankan profit, dengan meminimalisasi peran pemerintah, karena dianggap bahwa keterbelakangan Negara-negara berkembang bersumber dari buruknya keseluruhan alokasi sumber daya yang selama ini bertumpu pada kebijakan-kebijakan pengaturan harga yang tidak tepat dan adanya campur tangan pemerintah yang berlebihan (Todaro, 2006; 147-148); inilah yang sering disebut dengan paham "kontra revolusioner neoklasik - liberalisme (pengembangan lebih lanjut dari paham klasik Adam Smith)" -  Paham ini, walaupun tetap memberikan peran kepada pemerintah, namun sifatnya adalah pemenuhan terhadap sektor-sektor ekonomi, dimana para pelaku ekonomi tidak berkeinginan untuk masuk kedalamnya, yaitu pemenuhan terhadap "public good". Peran pemerintah lainnya adalah melakukan regulasi agar mekanisme pasar dapat berjalan dengan baik. Oleh Boediono (2009; 34-35), Tindakan pemerintah tadi pada akhirnya diharapkan dapat menciptakan kesejahteraan masyarakat. Ada 2 (dua) hal yang perlu diperhatikan menurut Boediono, yaitu; (a) strategi pembangunan yang tidak melupakan sejarah (ahistoris); dan (b) sikap dalam menghadapi globalisasi. Kedua hal tersebut menegaskan bahwa upaya dan hasil-hasil pelaksanaan pembangunan tidak melepaskan sifat ke-Indonesia-an kita; kita tetap memilki identitas sebagai Negara bangsa - tidak melapaskan sejarah akar sosial budaya, yang telah terbentuk sejak lama - tidak menjadikan kemajuan Negara kapitalis sebagai padanan kemajuan ekonomi.
Beranjak pada pengalaman tahun 1930-an, saat terjadinya depresi besar membuktikan bahwa peran pemerintah tetap diperlukan, karena mekanisme pasar tidak mungkin berlaku sesuai teorinya, yaitu dapat melakukan penyesuaian secara alami. Oleh Keynes (tepatnya pemahaman yang dikembangkan oleh penganut neoliberal), pasar tetap diperlukan untuk terciptanya efisiensi ekonomi, namun pemerintah  harus tetap eksis  untuk mengendalikan kemungkinan terjadinya penyimpangan melalui penerapan; pertama, secara langsung menerapkan  kebijakan fiskal;  dan kedua, dengan cara tidak langsung melalui penetapan regulasi (aturan), terutama aspek pengalokasian potensi sumber daya ekonomi, agar tidak bertumpu pada pihak tertentu saja; dan aspek penciptaan stabilitas ekonomi, sehingga dapat tercipta kepastian usaha (lihat Revrisond Baswir, 2010; 10-11).
Negara Amerika Serikat (USA) - Negara yang menganut paham kapitalis murni, sejak era Presiden Rhonald Reagan, mewujudkan peran pemerintah melalui "sisi penawaran", dengan mengatur kebijakan fiskal yang diharapkan dapat menjadi stimulan didalam menggerakkan sisi permintaannya. Kelompok Negara terutama Negara Eropa Bagian Barat (Nordic) telah menerapkan sistem pasar sosialis, yaitu sistem ekonomi politik dengan ciri kebebasan berinisitif, dengan tetap mengedepankan tanggungjawab sosial (lihat Didik J. Rachbini, 2004; 58). Implementasinya - Negara mengambil peran yang aktif dalam merencang desain ekonomi dan mengatur mekanisme pasar yang sehat, membuat pengaturan hukum yang proporsional - Peran Negara tidak berarti mematikan mekanisme pasar, akan tetapi justru mendinamisasikannya melalui intervensi kualitatif. Berbeda halnya dengan Negara RRC, menerapkan sistem ekonomi kapitalis tanpa melepaskan ideologi Negara yang tetap berbasis pada paham komunis (lihat John dan Doris Naisbitt, 2010).
Bagaimana dengan Indonesia - paham Ekonomi Pancasila (lihat Boediono, 2009, 47-50); ada 5 (lima) ciri yang terdapat didalamnya; 2 (dua) diantaranya, yaitu diterapkannnya rangsangan (incentive) yang bersifat ekonomi dan moral, serta  kecenderungan sosial kearah pemerataan sosial (egalitarianisme) - kesemuanya itu pada akhirnya mengedepan koperasi sebagai pilar utama Sistem Ekonomi Indonesia (ciri ke-3); Oleh Muhammad Hatta maupun Sjafruddin Prawiranegara; ini dikatakan sebagai Ekonomi Sosialis Indonesia, karena mengedepankan sikap kegotongroyongan dan religius masyarakat Indonesia (lihat M. Dawam Rahardjo, 2011).
Perkembangan ekonomi moderen merupakan tahapan dari perkembangan ekonomi tradisional, yang saat ini dapat dikatakan sudah tidak ada lagi. Permasalahannya pada tataran tertentu; apakah ekonomi tradisional memang tidak ada lagi di Negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia. Dalam bentuk "ekstrim" dapat dikatakan bahwa akibat dari pengaruh kemajuan teknologi, ekonomi tradisional sudah tidak ada, namun implementasi kemajuan teknologi tidak merata atau bahkan tidak tersentuh, terutama pada wilayah terpencil di pedesaan, pesisir pantai dan kepulauan kecil. Dalam kondisi demikian, kita dapat melihat beberapa ciri ekonomi tradisional masih tetap ada. Apalagi dikaitkan dengan realitas dari kondisi geografis Negara Indonesia yang begitu luas; terdiri atas pulau besar dan kecil, yang dipisahkan oleh laut, dengan corak ragam sosial budaya yang berbeda. Sementara pemerataan hasil-hasil pembangunan antar wilayah belum sepenuhnya tercapai. Sementara, oleh Karmiji (dalam A.B. Susanto, 2010; 87); model pembangunan wilayah memiliki 3 (tiga) dimensi pokok, yaitu: ekonomi (kualitas dan kuantitas pertumbuhan ekonomi), sosial (fungsionalitas institusi, stabilitas sosial dan pemerataan) dan lingkungan hidup (stabilitas ekosistem dan kesehatan lingkungan). Merujuk pada ketiga dimensi tersebut mengisyaratkan bahwa sebelum terjadinya interaksi ekonomi, sosial dan lingkungan hidup dengan baik; kesenjangan pembangunan wilayah dapat terjadi - ini akan menciptakan tumbuhnya ekonomi lokal yang bersifat tradisional (lihat kembali Nuhfil Hanani dan Mangku Purnomo). Berdasarkan beberapa realitas tadi menjadi penguat asumsi bahwa ekonomi tradisional masih tetap ada, dengan tingkatan yang berbeda atas dasar ciri-ciri ekstrimnya (akan dibahas berikutnya).

C. Masyarakat Tradisional - Sudut Pandang Ekonomi

Dalam konteks Indonesia, dan umumnya Negara-negara berkembang lainnya, peran pemerintah relatif dominan, karena struktur pasar-nya belum begitu canggih dan kondisi ekonomi masyarakat masih berbaur antara; (1) ekonomi bernuansa moderen, yang diindikasikan dengan kegiatan industrialisasi serta meningkatnya kegiatan sektor jasa; dan (2)  bernuansa  tradisional, dimana sebagian besar masyarakat berada didalamnya, bermata pencarian utama di sektor agraris (ekstraktif) di pedesaan (termasuk wilayah pesisir dan kepulauan terpencil). Oleh Anne Booth dan Peter McCawley (1979; 19); salah satu masalah yang dihadapi Indonesia sejak jaman penjajahan adalah dualisme, baik dualisme yang bersifat teknologi, ekonomi, sosial dan kultural.
Walaupun sumbangan sektor industri pengolahan relatif lebih dominan dibandingkan sektor pertanian (agraris) didalam membentuk PDB tahun berjalan, namun komposisi penduduk yang bergerak di sektor pertanian ("tenaga kerja sektor informal") lebih banyak, karena selain kemudahan akses bekerja tanpa keharusan berpendidikan tinggi (rata-rata penduduk pedesaan Indonesia berpendidikan s/d SD), juga disebabkan oleh ketersisihan memasuki pasar kerja formal, yang mengharuskan jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Lembaga Demografi FEUI (2011; 94); berdasarkan net enrolment ratio (APM) - rasio antara banyaknya murid usia jenjang pendidikan tertentu dengan banyaknya jumlah penduduk pada kelompok usia yang sama; menunjukkan bahwa tidak semua penduduk usia sekolah dapat menikmati bangku sekolah dan peluang bersekolah semakin kecil, seiring dengan meningkatnya jenjang pendidikan.
Oleh Rahardjo Adisasmita (2010; 37), dikatakan bahwa sebagian Negara berkembang perekonomiannya mengandung unsur feodal. Feodalisme ini sendiri bertumpu pada masyarakat pedesaan tradisional yang landasan ekonominya bergerak dibidang pertanian (agraris). Hierakhi hubungan masyarakat feodal membedakan kelas "tuan tanah", yang memiliki modal terutama berupa lahan garapan dan kelas "penggarap lahan". Kelembagaan ekonomi tradisional (di pedesaan), sebagaimana dikatakan Ahmad Erani Yustika (2010; 309); hanya menjangkau komunitas terbatas, sehingga memungkinkan setiap pelakunya (penjual dan pembeli) saling mengenal, sehingga sifat pasar menjadi personal. Pasar yang bersifat personalitas tersebut dapat meminimalkan (bahkan menghilangkan) biaya transaksi, sehingga tidak memerlukan instrumen lainnya sebagai penopang terjadinya transaksi. Tentunya, harga hasil pertanian menjadi murah, karena harga semata-mata ditentukan oleh biaya produksi ditambah sedikit keuntungan (profit). Kalaupun sistem barter (pertukaran barang/jasa) masih ada, tapi hanya diberlakukan dalam skala terbatas, sejalan dengan perkembangan monetisasi kehidupan masyarakat.
Implikasi monetisasi dan berkembangnya kelembagaan pasar di pedesaan, pasar menjadi bersifat impersonal (penjual dan pembeli belum tentu saling mengenal), karena jangkauan interaksi mencakup  komunitas lebih luas. Hal ini lebih ditopang lagi dengan ketersediaan sarana dan prasarana transportasi desa - kota. Akumulasi dari kondisi demikian, dalam masyarakat feodal pedesaan, pelaku ekonomi tidak hanya merupakan interaksi pemilik modal (tuan tanah) dengan petani penggarap, namun ditambah dengan kehadiran pihak ketiga (mediator - pemilik modal berupa dana), bertindak sebagai tengkulak hasil pertanian (menghubungkan penjual di desa dan pembeli akhir di kota). Biaya transaksi bertambah, karena ada biaya antara yang dikeluarkan tengkulak. Permasalahannya, karena penguasaan informasi pasar yang lebih luas, sehingga menyebabkan tawar menawar tengkulak lebih kuat, sehingga nilai tambah keuntungan lebih banyak dinikmati tengkulak, sedangkan petani penggarap hanya sekedar menerima upah kerja relatif tidak banyak berubah.

Tabel 1
Jumlah Penduduk Desa & Kota di Indoensia Tahun 2007 - 2010


Sumber : Diolah dari Berita Resmi Statistik - BPS, No. 45/07/Th.XIII, Juli 2010.

Sistem ekonomi feodal (tradisional) cenderung tetap bertahan selama dominasi sektor pertanian ("masyarakat pedesaan") dalam satu wilayah masih ada - dikelola secara sederhana; berjalan seiring dengan berkembangnya ekonomi moderen pada  masyarakat di perkotaan. Pada tabel 1 dapat dilihat bahwa jumlah penduduk Indonesia yang berada (bertempat tinggal) di pedesaan mencapai rata-rata 51,49 %/tahun selama periode waktu 2007 s/d 2010.   Implikasinya relatif besarnya komposisi penduduk yang bermukim di pedesaan berkorelasi terhadap upaya untuk mengembangkan sektor pertanian, guna menyerap tenaga kerja yang ada. Pada tabel 2, dapat diketahui bahwa lapangan kerja di sektor pertanian menyerap tenaga kerja lebih besar dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya. Selama kurun waktu 2008 - 2010, rata-rata tenaga kerja yang terserap oleh sektor ini mencapai rata-rata 42,85 juta orang/tahun dari seluruh penduduk usia kerja. Sektor Perdagangan yang merupakan sektor terbesar kedua dalam menyerap tenaga kerja, mencapai 21,58 juta orang/tahun, kemudian diikuti sektor Jasa Kemasyaratan dan Industri, masing-masing mencapai 14 juta orang/tahun dan 12,70 juta orang/tahun.
Namun demikian, data kemiskinan yang dipublikasikan oleh BPS per Juli  2010 lalu menunjukkan jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 13,33 % dari totalitas jumlah penduduk (lihat tabel 3). Untuk desa sendiri - angka kemiskinan tersebut mencapai 10,56 %; bandingkan dengan kota, yang hanya sebesar 9,87 %. Artinya, kumulatif angka kemiskinan didominasi oleh penduduk miskin yang ada di desa. Angka kemiskinan diukur secara makro atas dasar pengeluaran/pendapatan rumah tangga - komposisi distribusi lainnya tidak dipertimbangkan (lihat Hal Hill, 2002; 258). Apabila  dirunut lebih lanjut, tanpa mempertimbangkan kemahalan harga (inflasi), maka indikasi kemiskinan lebih banyak ditentukan keterbatasan penyerapan tenaga kerja di desa, walaupun pada tabel 2 sebelumnya menunjukan sektor pertanian paling banyak menyerap tenaga kerja. Mengingat, tenaga kerja yang terserap tidak selalu bekerja penuh waktu, banyak diantaranya bekerja paruh waktu atau musiman, dengan upah yang relatif kecil, tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup layak - dibawah pendapatan minimal, sehingga dikategorikan miskin.

Tabel 2
Penduduk Usia Kerja (15 tahun keatas) yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama Per Pebruari Tahun 2008 - 2009 (juta org)


Sumber : Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi, Edisi I Juni 2010.

Oleh karenanya merujuk pada laporan Lembaga Demografi FEUI ( (2011; 97); disebutkan bahwa akses terhadap pekerjaan yang layak dan produktif merupakan salah satu kunci pengentasan kemiskinan, dan peningkatan akses terhadap pembangunan pendidikan dan kesehatan.
Ketimpangan pembangunan secara sektoral maupun regional (desa - kota), ditambah lagi dengan rendahnya nilai tambah hasil pertanian serta tingkat harga yang bersifat inelastis, merupakan sisi lainnya yang menyebabkan perekonomian tradisional pedesaan  berkembang tidak dalam skala besar. Berbeda dengan keadaan di perkotaan yang ekonominya tumbuh lebih pesat bergaya moderen, dengan indikator makro mengikuti ketentuan global, seperti pertumbuhan ekonomi (PDB), stabilitas harga (inflasi), tingkat bunga pasar uang, indeks harga saham pasar modal dan peredaran uang (supply of money), Sementara di pedesaan ukuran kemajuan ekonomi diukur dalam tataran sederhana, yaitu pada tingkatan primer, indikatornya cukup pangan, sandang dan papan; sedangkan pada tingkatan sekunder harapan tersedianya  pendidikan, pelayanan kesehatan yang terjangkau dan aliran listrik yang permanen, dipandang sudah cukup memadai.
Perbedaan ekonomi antara pedesaan yang masih bersifat tradisional dan di perkotaan yang sudah moderen, akan menciptakan dualisme ekonomi, yang tidak hanya berlaku di Indonesia, namun sebagaimana telah dikatakan sebelumnya, berlaku pula di Negara-negara berkembang lainnya. J.H. Boeke (dalam M.L Jhingan, 2000; 201-210), melihat "dualisme penerapan ekonomi" dalam masyarakat Indonesia - yang satu menerapkan ekonomi tradisional; umumnya berbasis pertanian - berlatarbelakang budaya ketimuran (asli), sedangkan disisi lainnya akibat pengaruh budaya asing (impor) pada kelompok masyarakat perkotaan - menerapkan ekonomi kapitalis yang berorientasi pasar sepenuhnya.

Tabel 3
Jumlah Penduduk Miskin Indonesia Menurut Daerah Tahun 2007 - 2010


Sumber : Berita Resmi Statistik - BPS, No. 45/07/Th.XIII, Juli 2010.

Melengkapi pendapat Boeke tadi; Prof. Higgins (lihat  M.L Jhingan, 2000; 206); dalam masyarakat Negara-negara berkembang terjadi pula apa yang disebut dengan "dualisme teknologi", yaitu penggunaan pelbagai fungsi produksi pada sektor ekonomi moderen dan sektor ekonomi tradisional, sehingga menyebabkan terjadinya pengangguran struktural di sektor industri moderen (di perkotaan) dan pengangguran tersembunyi di pedesaan (tradisional). Harapannya, apabila pemerintah mampu mendorong pertumbuhan ekonomi secara merata, baik secara sektoral maupun regional, maka dualisme ekonomi dapat dieliminir tidak terlalu mencolok (lihat kembali Karmiji).
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2010 yang mencapai 6,1 %, demikian pula pada tahun-tahun sebelumnya  menunjukkan pertumbuhan positif diatas rata-rata  pertumbuhan ekonomi dunia (lihat tabel 4). Namun pertumbuhan tersebut lebih ditopang oleh peningkatan konsumsi masyarakat, bukan sebaliknya ditopang oleh tingkat investasi. Kondisi demikian terjadi, karena struktur PDB yang ada lebih didominasi oleh berkembangnya sektor ekonomi berbasis jasa (non tradeable).

Tabel 4
Pertumbuhan Ekonomi (PDB) per Sektor Ekonomi Tahun 2005 - 2008
Dan Pangsa Pasar per Sektor Ekonomi Rata-rata Tahun 2004 - 2007

Keterangan : 1) Satuan dalam % ; 2) Posisi s/d kuartal ke-3; 3) Rata-rata pangsa pasar selama periode waktu 2004 s/d 2007 (tidak termasuk Migas).
Sumber : Diolah dari Buku Lanskap Ekonomi Indonesia oleh Faisal Basri & Haris Munandar, hal 43).

Krisis ekonomi global 3 tahun terakhir berdampak terhadap penurunan permintaan produk dunia, namun tidak memberikan pengaruh signifikan bagi perekonomian Indonesia, mengingat masih kuatnya permintaan produk dalam negeri; disinilah letak sisi positif dari kuat konsumsi masyarakat sebagai penopang PDB ("laju pertumbuhan ekonomi"). Sebaliknya, sisi negatif yang dirasakan adalah kurangnya pembukaan lapangan kerja baru, mengingat sektor ekonomi non tradeable bersifat "intensif modal" dan hanya menyerap tenaga tenaga kerja yang memiliki pendidikan dan keahlian relatif tinggi (lihat Faisal Basri dan Haris Munandar, 2009; 45)
Potensi pertanian pedesaan yang relatif masih besar, terutama diluar pulau Jawa, dapat lebih ditingkatkan lagi hasilnya, dengan cara membenahi infrastruktur pertanian, seperti jaringan irigasi dan jalan desa. Pembangunan infrastruktur ini memiliki arti strategis dari aspek pemerataan pembangunan; menciptakan keseimbangan pemba-ngunan desa - kota sesuai dengan prioritas kebutuhan setempat. Disamping membuka kesempatan kerja di desa, guna menekan eksodus anak-anak muda usia kerja ke kota, yang umumnya  memasuki lapangan kerja sektor informal, sebagai pekerja (buruh), karena latar belakang pendidikan/keterampilan yang tidak memungkinkan mereka masuk lapangan kerja sektor formal.
Pembangunan desa bukan dalam artian "memodernisasikan" desa, mengingat dari aspek sosial percepatan pembangunan, tanpa perencanaan yang matang akan berdampak terhadap bergesernya nilai-nilai kearifan lokal yang seharusnya tetap dipertahankan, Ketradisionalan desa bukan berarti keterbelakangan, budaya saling membantu (kegotong royongan) patut tetap dipertahankan. Untuk itu diperlukan rumusan pembangunan yang tepat, diawali dengan pemahaman ekonomi tradisional pedesaan, baik dari aspek ciri-cirinya maupun keuntungan dan kelemahannya.

D. Sistem Ekonomi - Tinjauan Umum

Pemahaman sistem ekonomi menurut Deliarnov (2006; 4); mencakup keseluruhan proses dan aktifitas masyarakat dalam upaya memecahkan masalah-masalah ekonomi, sekaligus mencapai tujuan-tujuan ekonomi, sosial dan politik masyarakat bersangkutan. Menurut Gregory dan Stuart (dalam Deliarnov, 2006; 4), disebutkan bahwa sistem ekonomi mencakup mekanisme, penganturan pengorganisasian, dan aturan untuk membuat dan melaksanakan keputusan-keputusan tentang alokasi sumber daya yang terbatas jumlahnya. Merujuk pada pemahaman yang disebut terakhir, maka apabila dilakukan pemilihan akan terdapat 4 (empat) hal yang menjadi penekanannya, yaitu :
1) Adanya organisasi yang harus melakukan pengaturan dalam pengambilan keputusan ekonomi, yang pilihannya dapat dilakukan secara terpusat (sentralistis) oleh pemerintah pusat atau disebarkan pada jenjang pemerintahan dibawahnya (desentralisasi). Dalam konteks ini secara politis mengisyaratkan adanya pembagian kewenangan.  
2) Pengaturan mekanisme penyebaran informasi dan koordinasi, yang pilihannya dapat dilakukan melalui suatu perencanaan terpusat oleh lembaga pemerintahan atau melalui mekanisme pasar.
3) Pengaturan kewenangan atas hak kepemilikan kekayaan produktif; Diserahkan sepenuhnya sebagai kepemilikan tunggal Negara (public) untuk kepentingan bersama. Atau pada tingkatan ekstrim sebagaimana berlaku umumnya di Negara-negara yang menganut sistem kapitalis, kekayaan produktif diberikan penguasaannya pada individu (swasta) pemilik modal. Atau mengambil jalan tengah; dikelola secara kolektif; dalam batasan tertentu swasta diberikan kewenangan untuk mengelolanya.
4) Mekanisme penetapan berbagai tujuan dan sistem insentif. Pilihannya adalah memberikan insentif atau moral dalam menggerakan para pelaku ekonomi. Umumnya, pilihan tersebut berupa insentif ekonomi.
Mengingat pilihan sistem ekonomi terkait dengan ideologi politik yang dianut suatu Negara, maka nuansa politis akan selalu memberikan pengaruh terhadap pengambilan keputusan ekonomi, sehingga secara "kelembagaan", sebagaimana dikemukakan oleh Yeager (dalam Ahmad Erani Yustika; 35); kelembagaan adalah sebagai aturan main (rule of the game) dalam masyarakat. Aturan main tersebut mencakup regulasi yang memapankan masyarakat untuk melakukan interaksi.
Ekonomi tradisional, yang masih kental dalam kehidupan masyarakat Indonesia, merupakan bagian sub sistem dari pengembangan sistem ekonomi Artinya, secara kelembagaan sistem dimaksud hidup dan berjalan diatas realitas sosial, politik, hukum, budaya dan lainnya secara sesungguhnya dalam  satu kesatuan analisis. Oleh karenanya, formulasi ekonomi kelembagaan akan berbeda-beda, apabila diberlakukan pada setiap sistem ekonomi yang berbeda. Dalam konteks Negara Indonesia, yang secara konstitusional menganut paham "sosialis" dan realitas dalam kehidupan masyarakat masih terdapat sistem ekonomi "tradisional", berbaur dengan sistem yang lebih moderen, sehingga menimbulkan dualisme kondisi perekonomian (tradisional - moderen) - lihat kembali Boeke dan Prof. Higgins (dalam M.L Jhingan; 2000). Untuk memasuki pembahasan kelembagaan ekonomi tradisional tersebut terlebih dahulu memahami ciri-cirinya, termasuk sisi keuntungan dan kelemahannya.

E. Ekonomi Tradisional - Relevansinya di Indonesia

Sistem ekonomi tradisional merupakan sistem ekonomi yang dijalankan secara bersama untuk kepentingan bersama, dan  berkembang dari kebiasaan hidup masyarakat "komunal", baik sebagai warisan masa lalu maupun dalam perspektif saat ini, yang masih mempertahankan tradisi sebagai kearifan lokal, dan sekaligus menjadi nilai kebenaran sosial yang menjadi pengikat interaksi masyarakat didalamnya. Artinya, pemahaman ekonomi tradisional tidak mengenal batasan dimensi waktu, selama ciri-ciri tidak berubah.
Ciri mendasarnya adalah barang/jasa yang diperlukan, diproduksi  oleh masyarakat itu sendiri, namun dalam kenyataan hal ini sudah tidak ada lagi, kecuali pada kehidupan masyarakat primitif (seperti kehidupan beberapa suku yang ada di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua - hidup bersifat nomaden). Adapun ciri-ciri selengkapnya ekonomi tradisional, yang masih dianggap relevan untuk konteks saat ini adalah sebagai berikut :

1) Teknik produksi dapat dipelajari secara turun menurun dan bersifat sederhana.

Secara umum dalam lingkup agraris - penerapan teknik berproduksi sifatnya masih sederhana dan diwariskan secara turun temurun antar generasi. Proses pembelajaran bersifat otodidak, dimana faktor pengalaman sangat menentukan keberhasilan produksi. Alat produksi yang dipergunakan relatif sederhana; Bukan  berarti tidak ada peralatan yang bersifat mekanistik. Tetap ada penggunaan peralatan yang bermuatan teknologi, namun kandungan teknologi-nya relatif sederhana, dapat dipergunakan secara praktis (tepat guna).

2) Hanya sedikit menggunakan modal.

Pemahaman modal disini adalah modal untuk berproduksi, terutama tenaga manusia. Relatif lebih murah, karena tenaga manusia dimaksud umumnya terdiri dari anggota keluarga, yang masih ada ikatan persaudaraan, sehingga sistem upah tidak diukur dari aspek "upah moneter", namun kompensasinya dapat berupa "natura", misalnya pembagian hasil setelah panen. Kalaupun ada upah, akan tetapi tidak diukur secara ekonomi murni, lebih banyak pada kesepakatan bersama.

3) Pertukaran dilakukan dengan sistem barter.

Pertukaran barang (barter) dalam transaksi ekonomi tradisional masih berlaku sampai dengan saat ini, terutama dipedesaan. Barter terjadi karena masing-masing pihak berkepentingan terhadap barang yang berbeda. Komposisi pertukaran barang dinilai atas dasar kesetaran nilai, tanpa mengedepankan "nilai moneter-nya". Oleh karenanya, komposisi tersebut tidak bersifat baku, karena unsur utamanya dilandasi kerelaan dan bersifat personal. Barter dapat dilakukan pula dalam bentuk transaksi pertukaran jasa dengan barang. Seperti, upah kerja yang diberikan dari hasil produksi (natura).

4) Tidak mengenal pola pembagian kerja.

Dalam masyarakat ekonomi moderen pembagian kerja merupakan spesialisasi keahlian untuk berperan didalam pasaran kerja. Ini merupakan implikasi dari kompleksitas permasalahan yang menuntut spesialisasi keahlian yang berbeda. Sebaliknya dalam masyarakat ekonomi tradisional permasalahannya tidak begitu kompleks, sehingga tidak ada keharusan pembagian kerja, karena teknologi sederhana yang ada dapat dioperasionalkan oleh setiap orang. Pembagian kerja hanya sebatas pembagian tanggung-jawab, yang tidak bernilai ekonomi semata.

5) Masih terikat tradisi.

Masyarakat dalam ekonomi tradisional selalu terikat dengan tatanan sosial budaya yang menjadi tradisi sejak lama, biasanya terkait dengan norma-norma adat dan pemahaman bahwa alam adalah bagian dari kehidupan. Ajaran keagamaan (kepercayaan) yang masih bernuansa animisme menjadikan alam sebagai bagian pemujaan (ritual) yang harus dilaksanakan. Tradisi yang telah membudaya dalam kehidupan masyarakat di pedesaan/pesisir (khususnya di Indonesia), menjadikan gejala alam sebagai pertanda untuk melakukan usaha lingkup agraris.

6) Tanah sebagai tumpuan kegiatan produksi dan sumber kemakmuran.

Sejak zaman feodalisme hingga saat ini, tanah merupakan bagian dari modal ekonomi yang bersifat strategis. Perbedaanya, dalam ekonomi tradisional menganggap tanah sebagai satu-satunya modal utama, karena disamping menyangkut status sosial, keberadaan tanah dapat diidentikan dengan penguasaan faktor produksi dan peningkatan kemakmuran.
Seperti telah diutarakan diatas, pada tataran ekstrim, ekonomi tradisional dapat dikatakan sudah tidak ada lagi, akan tetapi beberapa ciri-ciri tadi masih terdapat di pedesaan (termasuk wilayah pesisir pantai dan kepulauan terpencil) di Indonesia, meskipun dalam batas-batas tertentu tidak semua ciri tersebut didapatkan dalam kehidupan masyarakat desa, seperti barter murni dalam jumlah yang besar.

Bagan 1 - Ciri, Keuntungan dan Kelemahan Sistem Ekonomi Tradisional

Ciri-ciri lainnya, tanah tidak lagi dianggap sebagai satu-satunya faktor produksi, karena mulai dipahaminya pemanfaatan teknologi dalam kegiatan berproduksi. Berikutnya, mengenai pembagian kerja diterjemahkan secara sederhana menjadi spesialisasi didalam menentukan pilihan produk yang dibudidayakan, sesuai potensi alam setempat.
Sisi positif ekonomi tradisional; Pertama, mengeliminir terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat, sebaliknya lebih menekankan pada kebersamaan yang menempatkan kepentingan komunal diatas segalanya. Hubungan interaktif antar individu lebih bersifat personal, sehingga cukup membantu untuk menekan terjadinya persaingan tidak sehat. Kedua, implikasi dari hal pertama tadi berimbas pada lemahnya semangat "invidualisme", yaitu lebih mementingkan kepentingan pribadi diatas segalanya. Sementara dalam  mekanisme pasar, yang menjadi kharakter utama ekonomi moderen, semangat individualisme menuntun penilaian ekonomi pada aspek mencari keuntungan sepihak, tanpa memikirkan pihak lainnya untung atau rugi. Ketiga, kemakmuran hakikinya harus dinikmati bersama, walaupun tingkatan kekayaan ekonomi antar individu berbeda, sehingga kehidupan masyarakat tercipta dalam suasana yang aman.
Sisi kelemahannya; Pertama, penggunaan teknologi belum sepenuhnya dijadikan sebagai faktor produksi, sehingga tingkat produktifitas masih rendah. Pengalaman kerja yang didapatkan secara otodidak atau turun-temurun dari generasi sebelumnya, berakibat pencapaian produktifitas bersifat stagnan, dan cenderung mengalami penurunan, apabila dihitung perunitnya. Karena, peningkatan produktifitas harus diikuti dengan  penambahan tenaga atau penambahan faktor produksi lainnya, seperti tanah, sedangkan hasil yang didapat tidak meningkat signifikan. Kedua, tanpa adanya sentuhan teknologi menyebabkan kualitas hasil produksi relatif masih rendah.
Dari keseluruhan uraian diatas, pemahaman mengenai ekonomi tradisional tidak harus diindentikan dengan "primitif". Keberadaannya akan selalu melekat pada suatu Negara yang kondisi kehidupan ekonomi masyarakatnya dihadapkan pada hal-hal sebagai berikut :
1) Potensi agraris-nya besar, dalam cakupan wilayah yang luas, namun masih menghadapi keterbatasan sarana/prasarana untuk menjangkau seluruh wilayahnya, sehingga masyarakat yang berada di wilayah pedesaan ("pedalaman") belum terjangkau tersebut ("minim sarana/prasarana"), secara mandiri mengelola potensi agraris-nya berdasarkan pengalaman yang diwarisi turun temurun.
2) Keterbelakangan wilayah berarti "keterisolasian"; serba terdapat banyak keterbatasan terutama informasi, dan ini cenderung menjadikan masyarakatnya lambat menerima perubahan. Setiap perubahan selalu dipadankan baik - buruknya terhadap tata nilai yang berlaku. Sikap berkompetisi (persaingan) dan harga ditentukan secara ekonomis, dengan ukuran moneter, bukan tatanan nilai utama dalam sistem ekonomi tradisional. Terpenuhinya kebutuhan pangan, sandang dan papan sudah menjadi ukuran kemakmuran, sehingga nilai lebih produksi merupakan milik bersama dan harus dinikmati bersama. Dalam kelompok masyarakat terbatas (dalam wilayah yang begitu luas) pemenuhan pangan, sandang dan papan cukup menggunakan alat produksi sederhana, tidak memerlukan teknologi tinggi, apalagi modal yang besar.
3) Kesadaran terhadap potensi alam yang memberikan sumber penghidupan, menyebabkan timbulnya kearipan lokal dalam pengelolaan potensi alam, yang merupakan tradisi budaya turun temurun; Dan dari banyak kasus terbukti bahwa kearifan lokal sangat mendukung kelestarian alam. Atau dengan arti kata lainnya, tradisi suatu masyarakat tradisional tidak selalu dipersepsikan "tertinggal".    
4) Latar belakang pendidikan masyarakat dalam ekonomi tradisional relatif rendah. Konsekwensinya, disatu sisi lamban dalam menerima perubahan, disisi lainnya mereka memiliki pemahaman yang berlaku menurut tatanan setempat, sehingga penerimaan perubahan terlebih dahulu memahami tatatan nilai setempat. Kondisi demikian bila dikaitkan dengan nilai-nilai ekonomi "konvensional", tidak akan ada titik temu, mengingat ekonomi tradisional berkembang dalam lingkungan dimana masyarakat menerimanya sebagai suatu realita yang menjadikan mereka tetap hidup, walaupun dengan keterbelakangan pendidikan. Perubahan ekonomi tradisional menjadi kearah moderen, pasti akan terjadi. Akan tetapi prosesnya terjadi secara bertahap, sejalan dengan kesiapan menerima perubahan.  

F. Kelembagaan Ekonomi Tradisional

Sebagaimana telah disebutkan pada awal pembahasan; Sistem ekonomi tradisional merupakan awal pengembangan ekonomi yang lebih moderen; menurut Rahardjo Adisasmita (2010; 28), terdapat 3 (tiga) sistem ekonomi utama, yaitu komunis, sosialis dan kapitalis. Dengan runtuhnya Uni Sovyet, merupakan keruntuhan sistem ekonomi komunis, walaupun masih menyisakan Kuba dan Korea Utara sebagai penganut sistem yang sama, namun dilihat dari skala ekonomi-nya tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap perekonomian dunia secara keseluruhan. Sementara Negara China, sistem ekonomi-nya sudah menjadi kapitalis, dimana paham komunis hanya merupakan ideologi (manifesto) Negara saja (lihat kembali John dan Doris Naisbitt). Artinya, perekonomian dunia saat ini hanya ada kapitalis dan sosialis, yang sama-sama berorientasi pasar. Oleh Sarbini Soemawinata (2004; 74); menyebutkan bahwa dampak negatif perkembangan kapitalis, dapat dihadapi oleh paham sosialis - dengan mengedepankan demokrasi didalam masyarakat.
Pertanyaannya; apakah pada sistem ekonomi tradisional tidak ada pasar. Jawaban tetap ada pasar, karena dalam pengertian ekonomi pasar tidak diartikan "tempat pasar" (market place). Menurut Ahmad Erani Yustika (2010; 308); dalam suatu pasar keputusan merefleksikan saling keterkaitan (interplay) antara pasokan (supply) dan permintaan (demand) dan harga bisa berfluktuasi tergantung dari perubahan hubungan (changing relationship) diantara penjual dan "harga", sebagai suatu nilai moneter.
Kalau harga merupakan "nilai moneter" sepenuhnya, akan terdapat pertentangan harga dalam sistem ekonomi tradisional, mengingat harga tersebut dapat berbentuk "non nilai moneter". Pergeseran penggunaan harga (nilai) dari non moneter menjadi moneter, akan bergantung tahapan dari perkembangan monetisasi dilingkungan masyarakat tradisional. Dan ini akan terjadi, karena perubahan terhadap 4 (empat) hal :
1) Kemampuan berproduksi sektor agraris sudah melebihi kebutuhan masyarakat setempat dilihat dari aspek kuantitas-nya, dan dari aspek kualitasnya sudah bervariasi (mampu menghasilkan banyak produk).
2) Pasar dalam artian "tempat" sudah berkembang; mengarah pada pasar reguler; permanen pada suatu tempat, dimana penjual dan pembeli bertemu secara fisik.
3) Muncul kehadiran pihak lain (eksternal) yang bertindak sebagai perantara (mediator) antara masyarakat setempat dengan pihak lain. Pada awalnya pertukaran terjadi dengan cara barter, namun sejalan dengan perkembangan pasar mulai menggunakan alat pertukaran moneter.
4) Masyarakat setempat mulai memahami nilai ekonomi suatu produk yang mereka hasilkan.
Keempat perubahan diatas akan terjadi secara alami, tidak perlu dipaksakan, dengan pelbagai dalih program pembangunan top down pemerintah, khususnya pemerintah daerah. Sebaiknya langkah yang perlu dilakukan adalah melakukan pemberdayaan pada aspek pendidikan dan kemampuan berproduksi, melalui program pendampingan yang kontinyu dan direncanakan dengan baik.
Pertanyaan berikutnya; apakah ekonomi tradisional masih ada relevansinya sistem ekonomi Indonesia, yang menganut paham sosialisme ala Indonesia. Oleh Mubyarto disebutkan sebagai "Ekonomi Pancasila". Dalam konteks ini.  keberadaan Ekonomi Pancasila yang oleh Mubyarto, disebutkan prakteknya dengan mudah dapat ditemui dalam kehidupan nyata dilingkungan masyarakat Indonesia, sebagai ekonomi rakyat, bersifat moralistik, demokratik dan mandiri. Dalam pemahaman yang berbeda, oleh Dawam Rahardjo; dikatakan bahwa apabila ekonomi rakyat yang diidentikan dengan Ekonomi Pancasila, yang banyak dijumpai di daerah-daerah, di pedesaan dan kota-kota kecil maupun di kampung-kampung yang berada pada daerah perkotaan. Pada umumnya, diwilayah tersebut banyak dijumpai industri/kerajinan rakyat bercirikan kolektifisme, dimana berlaku kepemilikan kolektif atas faktor-faktor produksi yang menghasilkan produk kolektif/individu, dengan distribusi yang berorientasi pada pemenuhan pasar lokal. Jika praktek sederhana tersebut dijadikan rujukan, maka praktek tadi hanya sekedar gambaran dari sebuah "ekonomi tradisional"; bukan sistem ekonomi dalam arti sebenarnya. Ekonomi tradisional merupakan kondisi faktual yang dihadapi oleh Negara Berkembang, bersendikan masyarakat sipil  (civil society) dan dialog serta perekonomian yang bersifat subsisten dan intensif sumber daya manusia.    
Sistem ekonomi lainnya yang telah disebutkan sebelumnya, namun tidak berbeda prinsip  dengan  ekonomi Pancasila adalah Ekonomi Kerakyatan, dimana oleh Sarbini Sumawinata (2004); dikatakan bahwa Ekonomi Kerakyatan adalah "gagasan" tentang cara dan tujuan pembangunan dengan sasaran utama perbaikan nasib rakyat, yang pada umumnya berdomisili di pedesaan. Ekonomi Kerakyatan ini menghendaki adanya pendekatan terhadap kebebasan ekonomi dan partisipasi seluruh masyarakat, sehingga peranan pemerintah harus mampu mewujudkan adanya demokrasi ekonomi, keadilan sosial dan mengeluarkan kebijakan yang berpihak kepada masyarakat (populistik). Artinya, Ekonomi Kerakyatan ini mendekati sistem ekonomi pasar sosialis, yang dikemas dengan realita Indonesia.
Oleh Revrisond Baswir (2010); Ekonomi Kerakyatan atau Demokrasi Ekonomi, dapat diartikan; perlunya partisipasi seluruh anggota masyarakat untuk memiliki alat-alat produksi atau modal nasional (pasal 33 UUD 1945), baik modal material, intelektual maupun institusional. Implikasinya, Negara dipastikan harus mampu mendistribusikan secara merata ketiga modal tersebut kepada masyarakat, guna menjamin keterlibatan masyarakat dalam proses produksi, karena sesuai amanat pasal 27 UUD 1945, setiap warga Negara berhak mendapat pekerjaan dan penghidupan yang layak. Perwujudan pasal 27 dan 33 UUD 1945 dalam tataran kebijakan ekonomi, tidak menegaskan sebagai suatu sistem ekonomi yang dapat dibedakan dengan sistem ekonomi lainnya, namun lebih memperjelas arah pijakan sistem yang bernuasa sosialis.

G. K e s i m p u l a n

Dari keseluruhan pembahasan yang telah diutarakan sebelum-nya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1) Keberadaan sistem ekonomi tradisional merupakan bagian dari sub sistem ekonomi Indonesia, yang menganut paham sosialis, yang sering disebut dengan Ekonomi Pancasila atau Ekonomi Kerakyatan, karena basisnya memperdayakan masyarakat luas terutama di pedesaan.
2) Ekonomi tradisional akan berkembang menjadi lebih moderen, dengan tahapan proses yang tidak perlu dipaksakan, karena terdapat 4 (empat) hal yang menjadikan proses itu berjalan dengan sendirinya atas inisiatif masyarakat setempat.
3) Ekonomi tradisional yang bersifat ekstrim sudah tidak ada lagi, namun ciri-ciri mendasarnya masih sering ditemui di Negara-negara berkembang yang potensi agraris-nya dominan, dan dalam kehidupan masyarakat-nya terjadi dualisme kondisi ekonomi, yaitu masyarakat bercorak moderen dan bercorak tradisional.


O l e h : 
Diddy Rusdiansyah A.D, SE, MM., M.SI
(Dosen Tetap pada Universitas Widya Gama Mahakam Samarinda)


Daftar Pustaka
1) Adisasmita, Prof. DR. Rahardjo, M.Ec. 2010. Ekonomi Politik. Universitas Hasanuddin. Makassar.
2) Badan Pusat Statitik. 2010. Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi. Edisi I. Juni 2010. Jakarta.
3) Badan Pusat Statistik. 2010. Profil Kemiskinan di Indonesia Maret 2010. Berita Resmi Statistik. No. 45/07/Th.XIII, Juli 2010. Jakarta.
4) Basri, Faisal & Haris Munandar. 2009. Lanskap Ekonomi Indonesia - Kajian dan Renungan Terhadap Masalah Struktural, Transpormasi Baru dan Prospek Perekonomian Indonesia. Edisi Pertama. Cetakan ke-1. Penerbit Kencana Prenada Group. Jakarta.
5) Baswir, Revrisond. 2010. Ekonomi Kerakyatan Vs Neoliberalisme. Cetakan I. Januari 2010. Delokomotif. Jakarta.
6) Boediono. 2009. Ekonomi Indonesia Mau Kemana ? - Kumpulan Esai Ekonomi. Cetakan Pertama. Juni 2009. Kepustakaan Populer Gramedia. Jakarta. 
7) Booth, Anne dan Peter McCawley, 1979. Ekonomi Orde Baru. Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial. Jakarta.
8) Deliannov, Drs, MSc.  2006. Ekonomi Politik. Penerbit Erlangga. Jakarta.
9) Deliarnov, Drs. MSc. 2010. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Edisi Ketiga. Cetakan Keenam. Januari 2010. PT. Rajagrafindo Persada. Jakarta.
10)Hanani, Nuhfil dan Mangku Purnomo. 2010. Perubahan Struktur Ekonomi Lokal. Cetakan Pertama. Universitas Brawijaya Press. Malang.
11)Hill, Hal. 2002. Ekonomi Inonesia. Edisi Kedua. Cetakan Kedua. Maret 2002. Alih Bahasa Tri Wibowo Budi Santoso dan Hadi Susilo. PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta. 
12)Jhingan, M.L. 2000. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Cetakan Kedelapan. Oktober 2000. Penerjemah Guritno. PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta.
13)Lembaga Demografi FEUI. 2011. Indonesia Economic Outlook 2011. Lembaga Penerbit FEUI. Jakarta. 
14)Naisbitt, John dan Doris Naisbitt. 2010. China's Megatrends - 8 Pilar yang Membuat Dasyat China. Alih Bahasa Hendro Prasetyo. PT. Grameda Pustaka Utama. Jakarta.  
15)Rahardjo, Prof. DR. Dawam. 2004. Ekonomi Pancasila Dalam Tinjauan Filsafat Ilmu (handout). 6 Januari 2004. Diunduh tanggal 21 Desember 2009.
16)Rahardjo, Prof. DR. Dawam. 2011. Ekonomi Neo-Klasik dan Sosialisme Religius - Pragmatisme Pemikiran Ekonomi Politik Sjafruddin Prawiranegara. Cetakan I. Oktober 2011. Penerbit Mizan Publika. Jakarta. 
17)Rachbini, Didik J. 2004. Ekonomi Politik - Kebijakan dan Strategi Pembangunan. Edisi Pertama. Pebruari 2004. Granit. Jakarta.
18)Sumawinata, Prof. Sarbini. 2004. Politik Ekonomi Kerakyatan. Cetakan Pertama. Maret 2004. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
19)Susanto, AB, at all. 2010. Reinvensi Pembangunan Ekonomi Daerah - Bagaimana Membangun Kesejahteraan Daerah. Penerbit Erlangga. Jakarta. 
20)Todaro, Michael P dan Stephen C. Smith. 2006. Pembangunan Ekonomi. Jilid I. Edisi Kesembilan. Alih Bahasa Drs. Haris Munandar, MA dan Puji A.L, SE. Penerbit Erlangga. Jakarta. 
21)Yustika, Ahmad Erani, DR. 2010. Ekonomi Kelembagaan - Definisi, Teori dan Strategi. Edisi Kedua. Cetakan Kedua. September 2010. Bayumedia Publishing. Malang.   
   

Read more

Delete this element to display blogger navbar

 
© Kabar Perbatasan Kaltim | Design by Blog template in collaboration with Concert Tickets, and Menopause symptoms
Powered by Blogger