2013 © Diddy Rusdiansyah. Diberdayakan oleh Blogger.

Ads 300 x 600

Recent Posts

1 Implikasi dan Perspektif Pemekaran Kecamatan di Kabupaten Nunukan Terhadap Strategi Perencanaan Pembangunan di Wilayah Perbatasan

A. P e n d a h u l u a n

Tulisan yang dikemukakan pada kesempatan ini merupakan pandangan yang bersifat pragmatis, dalam kaitannya dengan implikasi dan perspektif kedepan dilakukannya pemekaran Kecamatan perbatasan di  Kabupaten Nunukan; Sebagai suatu pandangan pragmatis, tinjauannya lebih mengedepankan kondisi riil, yang dikombinasikan dengan tinjauan teoritis, sehingga hasil akhirnya belum merupakan suatu pembenaran pendapat; masih terbuka peluang perbedaan pendapat, khususnya perbedaan pada perspektif kedepan terhadap kebijakan pemekaran Kecamatan dimaksud.
Sebagaimana diketahui, Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) mencanangkan kebijakan "Sebatik" menjadi kawasan pengembangan agro industri dan jasa maritim, sebagai strategi untuk mengimbangi ketertinggalan pembangunan dengan Tawao (Malaysia). Kebijakan ini pada awalnya tidak ada keterkaitan langsung dengan kebijakan Pemerintah Kabupaten Nunukan melakukan pemekaran Kecamatan, karena tahapan pemekaran dimaksud sudah berjalan terlebih dahulu prosesnya. Namun kedua kebijakan tadi dalam konteks saat ini memiliki keterkaitan terhadap strategi perencanaan pembangunan ditinjau dari aspek perwilayahan pembangunan.

B. Latar Belakang Pemekaran

Kabupaten Nunukan adalah satu diantara 3 (tiga) Kabupaten di Kalimantan Timur yang memiliki wilayah perbatasan, dengan jumlah 8 Kecamatan sebelum dimekarkan, yaitu Nunukan, Nunukan Selatan, Sebatik, Sebatik Barat, Sebuku, Lumbis, Krayan dan Krayan Selatan.
Adapun jumlah penduduknya pada tahun 2010 (hasil sensus) mencapai 140.841 jiwa, dengan mata pencaharian utama disektor ekstraktif, khususnya pertanian, perkebunan serta perikanan dan kelautan. Sementara ketersedian fasilitas kebutuhan dasar berupa jalan akses, pendidikan, kesehatan, komunikasi, pasokan listrik dan air bersih dapat dikatakan bahwa sebagian besar Kecamatan perbatasan masih minim, kecuali di Kecamatan Nunukan dan Nunukan Selatan. Demikian pula kondisi indikator sosial ekonomi lainnya masih dalam kondisi minim, sehingga secara keseluruhan belum dimungkinkan untuk dilakukan pemekaran Kecamatan, walaupun secara administratif telah didukung jumlah Desa definitif pada setiap Kecamatan baru dimekarkan tersebut (minimal 3 Desa).
Secara yuridis formal turunan dari UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang selanjutnya diubah dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua UU No. 32 Tahun 2004, yaitu PP No. 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan; memberikan peluang dilakukakannya pemekaran atas dasar "pertimbangan khusus", dimana berdasarkan pertimbangan untuk menciptakan kesejahteraan (prosperity) masyarakat setempat dan menjaga keamanan/ pertahanan wilayah (security), dapat dilakukan  pembentukan Kecamatan baru di wilayah perbatasan Kabupaten Nunukan, dengan cara melakukan pemekaran Kecamatan.
Berdasarkan pertimbangan khusus tadi, dapat diterjemahkan bahwa dari aspek percepatan pembangunan, pendekatan yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Nunukan adalah melakukan perpanjangan birokrasi pemerintahanan. Diharapkan Aparatur yang ditempatkan dapat menjadi stimulan dalam menggerakan kegiatan pemerintahan, pelayanan umum kepada masyarakat dan pembangunan; Walaupun Camat dan Aparat-nya berdasarkan ketentuan UU No. 32 Tahun 2004 jo. UU No. 12 Tahun 2008, hanya memiliki kewenangan delegatif saja. Artinya, efektifitas pelaksanaan tugas didasarkan adanya pelimpahan kewenangan dari Bupati. Luasnya cakupan wilayah kerja Camat di perbatasan, terutama yang jauh ibukota Kabupaten,  dengan segala keterbatasan yang ada, maka pelimpahan kewenangan harus diikuti dengan penyediaan secara berimbang kebutuhan pembiayaan, personil dan perlengkapan (3 P). Pemenuhan terhadap kebutuhan pembiayaan berlaku prinsip function follows money 1) ; Dalam kerangka otonomi daerah, prinsip dimaksud memberikan kewenangan bagi Pemerintah Daerah menggali potensi pendapatan yang legal untuk membiayai urusan rumah tangganya; Dengan prinsip yang sama bagi Kecamatan, identik dengan penyediaan biaya sesuai dengan beban tugas, terkait dengan pelimpahan kewenangan.

C. Cakupan Wilayah Perbatasan  

Sebelum membahas lebih lanjut mengenai impikasi dan perspektif pemekaran ini, sekiranya relevan untuk menyamakan persepsi mengenai wilayah perbatasan.  Berdasarkan UU No. 26 Tahun 2007 tentang  Penataan Ruang, khususnya dari sudut kepentingan pertahanan dan keamanan, maka yang termasuk kawasan strategis adalah kawasan perbatasan, pulau kecil terdepan dan kawasan latihan militer. Penjabarannya dalam PP No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional,  disebutkan ruang lingkup kawasan perbatasan Negara adalah wilayah Kabupaten/Kota yang secara geografis dan demografis berbatasan langsung dengan Negara tetangga dan/atau laut lepas; Selanjutnya kawasan perbatasan Negara meliputi kawasan perbatasan darat dan kawasan perbatasan laut, termasuk pulau-pulau kecil terluar.
Kedua aturan tadi secara tegas menyebutkan batas wilayah negara berada di "Kabupaten/Kota", mengingat konsep dasarnya diarahkan pada aspek pengembangan ekonomi yang mencakup wilayah lebih luas dan ada keterkaitan sektor ekonomi yang saling menunjang antar wilayah yang tercakup didalamnya, termasuk dalam pemahaman ini adalah pengembangan Pusat Kegiatan Strategi Nasional (PKSN) yang dijadikan sebagai pusat pertumbuhan suatu wilayah.
Sedangkan menurut UU No. 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara,  disebutkan bahwa kawasan perbatasan Negara adalah bagian dari wilayah Negara yang terletak pada sisi dalam batas wilayah Indonesia dengan Negara lain. Dalam konteks imi, disebutkan batas wilayah Negara di darat berada di "Kecamatan", dimana pengembangan unit Kecamatan perbatasan diarahkan pada penguatan aspek pertahanan dan kesejahteraan masyarakat, sehingga locus-nya lebih dispesifikasikan secara jelas, disamping bertujuan untuk lebih memeratakan hasil pembangunan. Pengembangan dari pemahaman konsep ini adalah penerapan "Lokasi Prioritas (Lokpri)".
Perbedaan cakupan batas wilayah; apakah di Kecamatan atau di Kabupate/Kota tetap menimbulkan implikasi yang sama, karena pembangunan di wilayah perbatasan tidak hanya ditekankan pada aspek pertahanan dan keamanan (hankam) semata, namun harus diimbangi oleh aspek penciptaan kesejahteraan (prosperity) 2) melalui pengembangan potensi ekonomi lokal serta aspek relevan lainnya, seperti pengembangan sosial budaya, politik, lingkungan, transportasi, komunikasi dan IPTEK.
Khususnya mengenai pulau-pulau kecil terluar (PPKT), sesuai PERPRES No. 78 Tahun 2005 tentang PPKT, di Provinsi Kalimantan Timur  terdapat 5 pulau kecil terluar, yaitu Pulau  Sebatik,  Gosong Makassar dan Karang Unarang di Kabupaten Nunukan.  Sementara di Kabupaten  Berau adalah Pulau Sambit dan Pulau Maratua. Keberadaan PPKT tadi berbatasan laut  dengan Negara Malaysia (Sabah), sehingga  pembangunan aspek hankam dan kesejahteraan tetap mendapat perhatian yang proporsional. Perbedaan dengan perhatian dengan perbatasan darat hanya terletak pada pola penanganannya saja, karena pulau terluar tersebut, kecuali Sebatik dan Maratua, tidak ada penghuninya.
Pulau Sebatik berdasarkan cakupan perwilayahan seperti telah diutarakan diatas memiliki kekhasan tersendiri, karena wilayah perbatasannya mencakup perbatasan darat dan laut terhadap Sabah (Malaysia). Selain itu, termasuk pula dalam kategori pulau terluar. Implikasinya terkait dengan pilihan model pembangunan yang tepat, sesuai kondisi alamiah, muatan potensi unggulan lokal, dukungan infrastruktur yang sudah ada dan akan dikembangkan lebih lanjut serta kualitas dan kuantitas SDM setempat.

D. Model-model Pembangunan Wilayah Perbatasan  

BAPPENAS menawarkan 5 model pengembangan wilayah perbatasan yang dapat menjadi rujukan 3), yaitu : Pertama, Model Pusat Pertumbuhan; Penerapan model ini mengharuskan ditetapkannya terlebih dahulu suatu lokasi strategis sebagai pusat kegiatan ekonomi wilayah, sehingga berimplikasi terhadap pengembangan beberapa kawasan khusus, dengan pelbagai insentif sarana/prasarana penunjang, pembiayaan, kelembagaan dan SDM. Beberapa kawasan khusus yang dibutuhkan adalah pos pemeriksaan lintas batas (PPLB), kawasan berikat, kawasan industri, welcome plaza dan kawasan pemukiman.
Penyediaan beberapa fasilitas kawasan khusus tadi berdasarkan teori gravitasi yang dikembangkan oleh Carey dan Ravenstein 4); dapat diprediksi besarnya daya tarik suatu potensi kawasan, sehingga mampu menarik sektor/ kegiatan lainnya untuk masuk ke wilayah tersebut. Daya tarik potensi dapat terjadi karena faktor alami (given) maupun faktor buatan, sehingga dilihat dari aspek perencanaan wilayah dalam kaitannya dengan penerapan model pusat pertumbuhan, maka penetapan  wilayah pertumbuhan  sudah  memperhitungkan  ketersediaan potensi ekonomi dan eksistensi fasilitas yang ada saat ini, untuk pengembangan lebih lanjut penyediaan fasilitas  kawasan  khusus.
Kedua, Model Transito; penerapan model ini tidak membutuhkan penyediaan fasilitas  kawasan  khusus  yang cukup  kompleks  sebagaimana  halnya
model pusat pertumbuhan, kecuali fasilitas PPLB. Ini mengingat bahwa  wilayah bersangkutan hanya sebagai transit pergerakan orang lintas antar Negara. Intensitas pergerakan orang lintas antar negara yang cukup tinggi berpeluang untuk disediakannya fasilitas welcome plaza.
Ketiga, Model Station Riset dan Wisata Lingkungan; Apabila suatu wilayah memiliki potensi sumber daya alam berupa keindahan alamiah flora yang eksotik, keindahan lingkungan yang menantang jiwa petualangan (ovunturir), fauna endimik local dan budaya khas etnik setempat, maka berpeluang besar untuk menerapkan model ini. Konsekwensinya adalah keharusan untuk melengkapi fasilitas riset biologi (station research), terutama bersifat outdoor serta menyatu dengan pemukiman dan budaya penduduk setempat. Fasilitas lainnya adalah kawasan wisata lingkungan, dengan penetapan obyek wisata yang dapat dijangkau; menggunakan rute-rute perjalanan yang menjamin keselamatan wisatawan, disamping ketersediaan fasilitas penginapan bagi para wisatawan. Terakhir, berupa fasilitas PPLB. Penerapan model ini lebih efektif, apabila ada sarana/prasarana transportasi yang terkoneksi antar Negara.
Keempat, Model Kawasan Agropolitan; Diterapkannya model ini diawali oleh adanya kesepakatan antar Negara untuk memanfaatkan lahan pertanian lintas Negara. Agropolitan menerapkan sistem manajemen dalam suatu wilayah  yang telah ditetapkan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi berbasis sektor pertanian (agrobisnis/agroindustri). Sesuai dengan teori gravitasi, maka  perkembangan pusat pertumbuhan (agropolitan)  akan mendorong tumbuhnya kegiatan pertanian di wilayah sekitarnya (hinterland), baik berupa; (a) Sub sektor agrobisnis hulu; berupa penyediaan pembibitan, mesin dan peralatan pertanian serta pupuk, pestisida, dan obat/vaksin ternak; (b) Sub sektor agrobisnis hilir; berupa industri pengolahan pertanian dan usaha perdagangannya; dan (c) Sub sektor usaha tani, mencakup tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, perikanan, peternakan dan kehutanan.
Demikian pula sektor lainnya yang terkait (off farm agrobisnis) dalam wilayah tersebut akan ikut mengalami perkembangan, seperti perkreditan dan usaha angkutan. Ketersediaan fasilitas utama berupa infrastruktur transportasi sangat diperlukan, untuk menciptakan  koneksitas antara wilayah agropolitan dengan wilayah hinterland.
Kelima, Kawasan Perbatasan Laut; Model ini terbentuk dari cluster kegiatan ekonomi yang memanfaatkan ketersediaan potensi sumber daya laut dan pesisir di sekitarnya sebagai keunggulan wilayah, sehingga fasilitas yang dibutuhkan berorientasi pada pemenuhan fasilitas pengawetan dan pengolahan hasil budidaya laut/pesisir (aquaculture) bernilai ekonomis. Fasilitas yang selayaknya disediakan adalah kawasan berikat, kawasan industri, kawasan aquakultur dan kawasan wisata pantai, termasuk fasilitas PPLB.
Pertanyaannya; dari kelima model pengembangan diatas, model mana yang relevan untuk diterapkan di wilayah (Kecamatan) perbatasan Kabupaten Nunukan, khususnya di Pulau Sebatik; sejalan dengan rencana BNPP yang menetapkan Sebatik sebagai wilayah pengembangan agroindustri dan jasa maritim.

E. Kecamatan Perbatasan di Kabupaten Nunukan  

Sebelum pemekaran, jumlah Kecamatan di Kabupaten Nunukan berjumlah 9 Kecamatan, dan setelah dimekarkan jumlahnya menjadi 15 Kecamatan. Khususnya Kecamatan yang merupakan perbatasan, sebelum dimekarkan berjumlah 8 Kecamatan, meningkat menjadi 12 Kecamatan setelah adanya pemekaran.  Kecamatan  Sebuku  dan Lumbis, yang semula memiliki wilayah perbatasan dengan Serawak (Malaysia Timur), setelah ditetapkannya Kecamatan Lumbis Ogong dan Tullin Onsoi, maka praktis kedua Kecamatan disebutkan terakhirlah yang dikategorikan sebagai Kecamatan perbatasan.

Tabel 1
Kecamatan-Kecamatan di Wilayah Perbatasan Kabupaten Nunukan Setelah Pemekaran Kecamatan


Keterangan : 1) Merupakan salah satu dari 5 pulau-pulau kecil terluar di Provinsi Kaltim. 
Sumber : Diolah dari pelbagai sumber.

Kecamatan Sei Manggaris, dengan jumlah Desa sebanyak 4 Desa, yaitu Srinanti, Tabur Lestari, Simaenre Samaja dan Sekaduyan Taka, merupakan  pecahan dari Kecamatan Nunukan. Kecamatan Sei Manggaris memiliki posisi strategis, karena alasan; Pertama, sudah ditetapkan menjadi Pusat Kegiatan Strategi Nasional (PKSN), sehingga dengan dukungan ketersediaan infrastruktur penunjang investasi; dapat mendorong tumbuhnya wilayah sekitarnya sebagai hinterland. Infrastruktur jalan berupa trans Kaltim sudah ada. Usaha perkebunan kelapa sawit dalam skala besar sudah mulai berkembang, dengan pola PIR - Perkebunan.
Kedua, sudah direncanakannya Kecamatan Sei Manggaris sebagai Kota Terpadu Mandiri (KTM); berbasis di Desa Simaenre Samaja. Keberhasilan menjadikan Satuan Pemukiman (SP) eks transmigrasi di Srinanti dan Tabur Lestari menjadi Desa definitif, dan keberhasilan membina para transmigrasi memanfaatkan lahan usaha (2 ha) untuk berkebun kelapa sawit, disamping masih tersedianya lahan yang mencukupi, menjadi dasar untuk segera mendorong terwujudnya KTM.
Ketiga, di Kecamatan Sei Manggaris direncanakan pendirian Pos Lintas Batas Darat  (PLBD) Sei Manggaris - Serodong (Sabah). Walaupun saat ini, pihak Malaysia belum bersedia untuk segera membuka PLBD dimaksud, namun upaya percepatan pembangunan yang terprogram dan konsisten, baik dalam kerangka PKSN maupun KTM akan mendorong pihak Malaysia merubah strategi melakukan percepatan pembangunan di wilayah (divisi/sub divisi) perbatasannya.      
Di Sebatik, semula hanya terdiri 2 wilayah administrasi Kecamatan, yaitu Kecamatan Sebatik dan Sebatik Barat; Saat ini, berdasarkan hasil pemekaran, sudah menjadi 5 Kecamatan, yaitu Sebatik, Sebatik Tengah, Sebatik Barat, Sebatik Timur dan Sebatik Utara. Dari aspek pemerintahan, khususnya jumlah Kecamatan yang ada, maka peluang untuk ditingkatkan statusnya Sebatik menjadi "Kota" dimungkinkan, dengan harapan kedepan bahwa kelengkapan infrastruktur perkotaan yang harus disediakan, dapat mengimbangi pembangunan Kota Tawao (Sabah). Sejalan dengan rencana menjadikan Sebatik sebagai wilayah pengembangan agrobisnis dan jasa maritim. Konsekwensinya, Pemerintah Kabupaten Nunukan perlu untuk membenahi kekurangan infrastruktur ekonomi, sosial, pemerintahan dan fisik yang ada. Diperlukan pembiayaan relatif besar, sejalan dengan dinamika perkembangan  penduduk Sebatik.
Kondisi demografi Kabupaten Nunukan selama tahun 2006 - 2010, mengindikasikan bahwa perkembangan jumlah penduduk cukup pesat; Pada tahun 2006 baru berjumlah ± 119.247 jiwa, menjadi ± 140.841 jiwa pada tahun 2010, sehingga laju pertumbuhan penduduk rata-rata 4,26 %/tahun, dengan tingkat kepadatan penduduk rata-rata ± 9,08 jiwa/km2 selama kurun waktu tersebut. Sebagian besar penduduk berada di Nunukan (Kecamatan Nunukan dan Nunukan Selatan). Sementara jumlah penduduk di Sebatik (Kecamatan Sebatik dan Sebatik Barat) menduduki urutan kedua; namun laju pertumbuhannya selama kurun waktu 2006 - 2010 cenderung menurun; rata-rata - 0,73 %/tahun, karena terdapat pengurangan penduduk di Sebatik Barat relatif lebih besar dibandingkan peningkatan penduduk di Sebatik. Sedangkan tingkat kepadatan penduduknya paling besar dibandingkan Kecamatan lainnya; rata-rata 132,09 jiwa/km2.

Tabel 2
Luas Wilayah, Jumlah Penduduk, Rata-rata Kepadatan Penduduk dan Laju Pertumbuhan Penduduk di Kabupaten Nunukan Tahun 2006 - 2010.


Keterangan : 1) Dihitung berdasarkan rata-rata kepadatan dan laju pertumbuhan penduduk.
2) Kec. Nunukan Selatan pada tahun 2006 s/d 2008 masih gabung dengan Kec. Nunukan.
3) Kepadatan dan laju pertumbuhan penduduk merupakan angka gabungan Kec. Nunukan dan Nunukan Selatan.
4) Gabungan jumlah penduduk Kecamatan Sebatik dan Sebatik Barat, dengan rata-rata tingkat kepadatan penduduk sebesar 132,09 jiwa/km2.  
Sumber : Kabupaten Nunukan Dalam Angka, publikasi Bappeda dan BPS Kab. Nunukan tahun bersangkutan.

Pemekaran Kecamatan di Sebatik, tidak otomatis menambah luasan wilayahnya, yaitu tetap berjumlah ± 246,61 km2. Berarti, pemekaran Kecamatan di Sebatik menjadi 5 Kecamatan, hanya membagi-bagi luasan wilayah yang ada. Dan inipun masih dipilah untuk lahan kepentingan pemukiman penduduk, pencadangan lahan untuk infrastruktur ekonomi, sosial dan fisik, lahan usaha penduduk yang sudah given serta lahan untuk penyangga lingkungan. Permasalahannya; apakah rencana menjadikan Sebatik sebagai wilayah agrobisnis dan jasa maritim sudah mempertimbangkan aspek ini.  


F. Implikasi Pemekaran Kecamatan  

1. Implikasi Administratif

Pemekaran Kecamatan perbatasan di Kabupaten Nunukan, berimplikasi terhadap strategi perencanaan pembangunan wilayah perbatasan. Secara administratif terjadi eskalasi terhadap jumlah Kecamatan perbatasan yang ada di Provinsi Kalimantan Timur, semula 15 Kecamatan, menjadi 19 Kecamatan (lihat Tabel 3). Akan tetapi luasan wilayahnya menjadi berkurang, terutama akibat dipecahnya Kecamatan Lumbis menjadi Kecamatan Lumbis Ogong dan Kecamatan Sebuku menjadi Tullin Onsoi. Dari luas wilayah Provinsi Kalimantan Timur yang mencapai ± 208.657,74 km2; meliputi luas daratan ± 198.441,17 km2 dan luas laut (sejauh 12 mil) ± 10.216,57 km2, luasan wilayah perbatasan darat Kabupaten Nunukan sebelum pemekaran adalah ± 14.263,68 km2 atau 7,19 % dari  luas perbatasan darat di Kalimantan Timur, atau 27,49 %  dari luas daratan seluruh wilayah perbatasan yang mencapai ± 51.888,30 km2.  Setelah pemekaran luas wilayah Kecamatan perbatasan Kabupaten Nunukan hanya ± 10.306,23 km2 atau 5,19 % dari luas darat perbatasan Provinsi Kalimantan Timur.  Demikian pula jumlah penduduknya akan berkurang, mengingat konsentrasi penduduk di Kecamatan Lumbis dan Sebuku berada di Ibukota Kecamatan, yaitu di Mansalong (Lumbis) dam Pembeliangan (Sebuku), sehingga tingkat kepadatan penduduk menjadi berkurang sebagai akibat tidak diperhitungkannya kedua Kecamatan sebagai Kecamatan perbatasan.

Tabel 3
Kecamatan Perbatasan dan Luas Wilayah Kecamatan di Provinsi Kalimantan Timur setelah Pemekaran Kecamatan di Kabupaten Nunukan.



Catatan : Luas wilayah seluruh Kecamatan perbatasan di Provinsi Kaltim adalah 47.930,85 km2.
Sumber : Diolah dari pelbagai sumber.

Disisi lainnya, fokus penanganan wilayah perbatasan lebih terarah, karena keberadaan Kecamatan yang baru dimekarkan, khususnya Kecamatan Lumbis Ogong, Tullin Onsoi dan Sei Manggaris; berada langsung ("mendekati") wilayah perbatasan dengan Malaysia. Oleh karenanya perencanaan pembangunan dapat langsung disesuaikan dengan kebutuhan setempat.
Sebagaimana telah diutarakan sebelumnya, mengacu pada UU No. 43 Tahun 2008, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur telah menerbitkan Keputusan Gubernur Kalimantan Timur Nomor 126/K.185/2010 tanggal 1 April 2010 tentang Penetapan Nama-nama Kabupaten dan Kecamatan yang Berbatasan Langsung Dengan Malaysia (Sabah dan Serawak) di Provinsi Kalimantan Timur, baik berbatasan darat maupun laut. Adanya perubahan Kecamatan perbatasan dari hasil pemekaran Kecamatan di Kabupaten Nunukan; mengharuskan secara administratif dilakukannya perubahan Keputusan Gubernur ini. Namun perubahan dimaksud, yang semula hanya mencakup 15 Kecamatan, berubah menjadi 19 Kecamatan, harus ada kesamaan persepsi terhadap penetapan Kecamatan Nunukan dan Nunukan Selatan sebagai Kecamatan perbatasan; dilihat dari sisi perbatasan laut, sehingga sebelum dilakukan perubahan terlebih dahulu ada kesepakatan, dikaitkan dengan kebijakan penetapan pulau-pulau kecil terluar di Provinsi Kaltim, yang berhadapan langsung perbatasan lautnya dengan Negara Malaysia.

2. Implikasi Perwilayahan Pembangunan

Penetapan Keputusan Gubernur inilah yang menjadi pangkal penetapan kebijakan pembangunan dan sekaligus dasar perencanaan strategi perwilayahan pembangunan; Merujuk pada RPJM Nasional 2010 - 2014, telah ditetapkan 4 (empat) Pusat Kegiatan Strategi Nasional (PKSN) di Provinsi Kalimantan Timur, yang merujuk pada ketentuan UU N. 26 tahun 2006 dan PP No. 26 Tahun 2007. Keempat PKSN dimaksud keberadaannya ada pada Kecamatan yang telah ada sebelumnya (lihat Tabel 4), kecuali PKSN di Sei Manggaris telah berubah, semula masuk Kecamatan Nunukan menjadi Kecamatan Sei Manggaris.
Khususnya PKSN di Nunukan dan Sei Manggaris, sebenarnya masih berada dalam satu wilayah administrasi Kecamatan (berinduk di Kecamatan Nunukan); Perbedaannya hanya; PKSN Nunukan berada di Pulau Nunukan, sedangkan PKSN Sei Manggaris berada di daratan Pulau Kalimantan, sebagai konsekwensi adanya perencanaan pumbukaan PLB darat di Sei Manggaris - Serodong.
Sebagai PKSN, yang mengadopsi modet "Pusat Pertumbuhan", dengan pendekatan trickledown effect-nya (efek menetes kabawah), maka  kegiatan investasi yang terkonsentrasikan pada suatu wilayah tertentu, dengan kelengkapan fasilitas infrastruktur pendukungnya, diharapkan dapat memberikan multiplier effect pada wilayah sekitarnya (hinterland), melalui pasokan bahan baku yang diperlukan oleh sektor industri terkait. PKSN di Nunukan kesiapan infrastrukturnya lebih baik dibandingkan PKSN Sei Manggaris dan Long Midang. Sebagai pusat pertumbuhan, idealnya tidak terdapat kesenjangan pembangunan antar PKSN, karena setiap PKSN memilki cakupan wilayah keterkaitan disekitarnya. Apabila suatu PKSN karena alasan keterbatasan infrastruktur, tidak memungkinkan melaksanakan fungsi sebagai pusat pertumbuhan; Berarti dorongan terhadap pertumbuhan ekonomi di wilayah sekitarnya tidak dapat dilaksanakan. Realitasnya,  PKSN di Kalimantan Timur belum berfungsi sesuai rencana. Khusunya di Kabupaten Nunukan; wilayah lainnya yang berkembang disekitar PKSN Nunukan terjadi secara alami, tanpa ada dorongan langsung dari pelaksanaan kegiatan ("investasi") menurut skema PKSN.
Kesenjangan pembangunan di wilayah perbatasan, seharusnya diawali dengan upaya mengintensifkan pembangunan pada setiap PKSN, dengan mengedepankan prinsip-prinsip daya dukung dan daya tampung yang menjamin kelestarian lingkungan serta  memanfaatkan keunggulan posisi geografis yang berorientasi pasar. 5) Artinya, alternatif lain terhadap pilihan model pembangunan yang tepat untuk PKSN Sei Manggaris dan PKSN Long Midang, diarahkan pada model 'Kawasan Aggropolitan", tidak harus menggunakan model pertumbuhan ekonomi.
Sebagai kawasan agropolitan; berbasis pada pengembangan agroindustri, karena potensi lahan yang ada cukup luas, dan cakupan lahannya dapat meliputi kawasan perbatasan antar Negara (Kalimantan Timur - Serawak/Sabah). Dukungan infrastruktur diarahkan pada kelancaran mobilisasi untuk kegiatan produksi dan pemasaran. Pusat pengolahan hasil (manufaktur) merupakan wilayah konsentrasi kegiatan ekonomi, sementara keberadaan lahan menjadi wilayah pendukung (hinterland); sektor lainnya terutama jasa pendukung akan tumbuh dengan sendirinya, mengikuti perkembangan skala industri dan migrasi penduduk yang berkepentingan untuk mendapatkan manfaat ekonomi, baik sebagai pekerja maupun penyedia jasa.
PKSN di Sei Manggaris memiliki prospek cerah dengan model ini, sebagai konsekwensi adanya dukungan fasilitas jalan trans Kaltim, dan kemudahan akses  pemasaran  menggunakan  moda  angkutan darat dan sungai/ laut. Sebagian besar lahan sudah dimanfaatkan untuk perkebunan kelapa sawit, dengan 3 (tiga) perusahaan besar yang bertindak sebagai inti, didukung 2 (dua) pabrik pengolahan CPO. Sementara PKSN Long Midang, karena keterbata-san akses pemasarannya didalam wilayah Indonesia, maka pengembangan agroindustri harus sejalan dengan kegiatan industrialisasi yang berkembang di Malaysia, khususnya pada Sub Distrik Bakelalan (Limbang Division, Sarawak).
Untuk keperluan ini; langkah strategis yang perlu dilakukan adalah percepatan pembukaan PLB darat pada kedua Negara. Dari pihak Negara Bagian Serawak,  pada  pelaksanaan  Sosek Malindo  Nasional  (Desember  2011),  telah
setuju dilakukannya pembukaan PLB di Long Midang - Bakelalan dan di Lembudud (Krayan) - Bario (Miri Division, Serawak); Bahkan  telah menyiapkan lahan 1,25 ha untuk pembangunan Pos Imigrasi di PLB Long Midang - Bakelalan.

Tabel 4
Pusat Kegiatan  Strategi Nasional  (PKSN) & Lokasi Prioritas (Lokpri) di Wilayah Perbatasan Provinsi Kaltim Yang Menjadi Fokus Penanganan Tahun 2012-2014



Sumber : 1) RPJM Nasional 2010 - 2014, publikasi BAPPENAS.
2) Rencana Induk Pengelolaan Batas Wilayah Negara & Kawasan Perbatasan, publikasi BNPP.          

Bersamaan dengan rencana pembukaan PLB darat, infrastruktur jalan di Krayan dan Krayan Selatan dari dan menuju PLB perlu dibenahi (ditingkatkan kelas jalannya), guna memperlancar mobilisasi pasokan bahan baku industri ke Malaysia (Serawak). Sementara itu,  rencana perpanjangan landasan pacu bandara di Long Nawang melalui kerjasama TNI Manunggal Masuk Desa (TMMD) dan penyediaan fasilitas penunjang operasional bandara lainnya sudah sejalan dengan strategi ini.  
Sesuai Rencana Induk Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan 2010 - 2014; Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP),  bersama Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur cq. Badan Pengelola Kawasan Perbatasan, Pedalaman & Daerah Tertinggal (BPKP2DT) telah menetapkan lokasi prioritas (Lokpri) yang akan ditangani pada tahun 2012 - 2014  (lihat Tabel 5), berdasarkan kriteria-kriteria sebagai berikut : 6)
1. Berbatasan langsung dengan Negara tetangga atau memiliki pulau terluar (terdepan) ;
2. Sebagai Pusat Kegiatan Strategi Nasional (PKSN) ;
3. Memiliki pos lintas batas antar Negara (entry exit point) ;
4. Ada hubungan sosial ekonomi masyarakat secara tradisional ;
5. Ada pertimbangan khusus, terutama terkait dengan aspek hankamnas.
Pertanyaannya; apakah  ada Implikasi dari perbedaan locus yang menjadi prioritas penanganan perbatasan berdasarkan PKSN dan Lokpri. Penetapan PKSN di lokasi tertentu pada Kecamatan yang sudah memiliki akses terbukanya kegiatan ekonomi melalui pemanfaatan lintas batas (PLB) formal antar Negara (di darat atau laut), sehingga akan menjadi stimulan bergeraknya pengembangan potensi ekonomi wilayah disekitarnya, dengan menggunakan model pembangunan relevan. PKSN ditetapkan dalam batas wilayah yang menekankan pengembangan potensi alamiahnya (comperative advantage). Sedangkan penetapan Lokpri pada dasarnya tidak terdapat perbedaan prinsip dengan PKSN, karena telah mengakomodir keberadaan PKSN dan pos lintas batas formal. Kecuali dalam hal penetapan Lokpri yang mengakomodir kebijakan; Pertama, adanya hubungan sosial ekonomi masyarakat setempat secara tradisional dan turun menurun; Dan kedua ada pertimbangan khusus terutama terkait dengan aspek pertahanan/keamanan. Kedua pertimbangan tadi bermakna bahwa Lokpri dapat ditetapkan tanpa ada kaharusan wilayah tersebut nantinya direncanakan pembukaan PLB.
Batasan wilayah pembangunan Lokpri tidak berbasis pada pengembangan potensi alamiahnya, namun lebih memperhatikan batasan wilayah administratif pemerintahan terdepan, yaitu "Kecamatan". Ini mengisyaratkan strategi pembangunan yang diterapkan bersifat pemerataan untuk semua Kecamatan yang ada di wilayah perbatasan, karena disini pemahaman  desentralisasi  lebih  ditekankan  pada  "desentralisasi fungsional" 7), atas dasar pertimbangan; bahwa (1) perbatasan merupakan bentang geografis yang  mempunyai  fungsi sama  dalam konteks  pengelolaan dan pengembangan;
dan (2) bersifat fungsional dalam satu entitas yang berada dalam satu kesatuan sistem geografis yang tidak terkotak-kotak oleh batas administrasi daerah.
Pemerataan pembangunan berimplikasi terhadap pemerataan alokasi pembiayaan pembangunan, baik bersumber dari dana APBD Provinsi/Kabupaten maupun APBN, sehingga strategi yang diterapkan BNPP berupa pentahapan penetapan Lokpri, sejak tahun 2012 - 2014, dimana jumlah Lokpri yang ada sebanyak 111 Lokpri, mencakup 38 Kabupaten/Kota sebagai Wilayah Konsentrasi Pembangunan (WKP) dan 12 Provinsi sebagai Cakupan Wilayah Administrasi (CWA). Di Provinsi Kalimantan Timur mengakomodir jumlah Lokpri sebanyak 13 Kecamatan (sebelum pemekaran) pada 3 CWA di Kabupaten Nunukan, Malinau dan Kutai Barat.
Kecamatan Nunukan dan Kecamatan Nunukan Selatan merupakan wilayah PKSN, namun tidak dimasukkan kedalam Lokpri, walaupun kriterianya dimungkinkan untuk itu. Alasannya adalah infrastruktur pada kedua Kecamatan tadi relatif sudah memadai, sehingga ini membuktikan bahwa penekanan pemerataan pembangunan antar Kecamatan perbatasan, khususnya pada lingkup masing-masing CWA lebih ditonjolkan.  
Dimekarkannya Kecamatan Sebatik dan Sebatik Barat hingga menjadi 5 Kecamatan dan Kecamatan Nunukan dipecah menjadi 2 Kecamatan akan merubah eskalasi pentahapan Lokpri pada tahun 2013 dan 2014, dengan memasukan Kecamatan Sebatik Tengah, Sebatik Timur, Sebatik Utara dan Sei Manggaris. Sedangkan Kecamatan Lumbis cukup digantikan dengan Kecamatan Lumbis Ogong (Lokpri II - 2013), dan Kecamatan Sebuku digantikan oleh Kecamatan Tullin Onsoi (Lokpri III - 2014).
Apabila memperhatikan azas keseimbangan pembangunan antar Kecamatan yang telah ditetatapkan sebagai Lokpri; Perlakuan terhadap setiap Lokpri seharusnya disesuaikan dengan kondisi setempat, terutama perlakuan terhadap penggunaan standar biaya yang berbeda-beda tingkat kemahalannya. Kecenderungan alokasi pengganggaran yang bersifat lumpsum tidak tepat, seharusnya didasarkan pada pemenuhan program pelayanan dasar yang diperlukan setiap Kecamatan. Indikator jumlah penduduk sebagai  ukuran dalam pengalokasian anggaran pembangunan tidak diterjemahkan secara kaku, seperti alokasi obat-obatan (kesehatan) dan bantuan operasional sekolah berdasarkan jumlah anak didik (pendidikan). Pada wilayah perbatasan indikator ini tidak dapat diterapkan, karena minimnya jumlah penduduk, maka dapat dipastikan akan berdampak terhadap penentuan alokasi anggaran pembangunan. Sementara tingkat kesulitan terkait dengan kondisi alam dilapangan merupakan faktor yang utama yang berdampak terhadap tingkat kemahalan harga/biaya.
Identifikasi kebutuhan awal berupa penentuan wujud program secara riil disepakati terlebih dahulu; Untuk wilayah perbatasan di Provinsi Kalimantan Timur program yang paling mendesak adalah; Pertama, pemberdayaan masyarakat, dimana sektor dominannya adalah pendidikan dan kesehatan; Kedua, penataan pemukiman, dengan menyediakan fasilitas air bersih, pasokan listrik yang menggunakan pembangkit listrik sesuai kondisi setempat dan berbiaya murah, jalan penghubung antar Desa dengan ibukota Kecamatan, ketersediaan fasilitas komunikasi serta kelengkapan infrastruktur pemerintahan yang cukup memadai. Ketiga, pemanfaatan potensi ekonomi lokal, melalui pengembangan kegiatan produktif berbasis lokal.            
Ketiga pilar program pembangunan diarahkan pada upaya menjadikan  Kecamatan perbatasan sebagai satuan wilayah pembangunan, yang mampu melaksanakan fungsi sebagai pusat pemerintahan terdepan dan sebagai pusat  pembangunan setempat; Tidak membedakan apakah konsepsi pengemba-ngannya berdasarkan pendekatan PKSN ataupun Lokpri.

G. Perspektif Kedepan Pemekaran Kecamatan  

Sebagaimana telah diutarakan sebelumnya bahwa latar belakang pemekaran Kecamatan di Kabupaten Nunukan, lebih diarahkan pada upaya percepatan pembangunan, dengan melakukan perpanjangan birokrasi pemerintahan sampai pada tingkat Kecamatan, dan yang paling drastis adalah pemekaran di Sebatik, hingga mencapai 5 Kecamatan. Hal ini mengisyaratkan keinginan untuk menjadikan Sebatik sebagai "Kota". Pertanyaan mendasarnya; apakah prospek pemekaran akan berkorelasi terhadap upaya percepatan pembangunan Sebatik; Dan apakah potensi alamiah yang ada dapat mendukung kebijakan menjadikan Sebatik sebagai wilayah pengembangan agrobisnis dan jasa maritim.
Beranjak dari kedua pertanyaan diatas, langkah awalnya adalah melihat pada daya dukung lahan yang ada di Sebatik, yaitu 246,61 km2. Peruntukan lahan berubah secara dinamis mengikuti perkembangan penduduk, sebagai dampak ikutan dari keharusan menyediakan fasilitas layanan bagi penduduk setempat, terutama untuk pemukiman. Kondisi demografi pada perspektif saat ini menunjukkan bahwa tingkat kepadatan rata-rata 132,09 jiwa/km2 (kurun waktu 2006 - 2010), dan terus berkembang mengikuti dinamikan pertumbuhan penduduk, sementara luas lahan tidak mengalami perubahan.
Pemanfaatan lahan untuk pengembangan potensi ekonomi yang dmiliki, akan berbenturan dengan pemanfaatan lahan untuk pengembangan infrastruktur dasar yang diperlukan penduduk, apalagi nantinya sebagai kawasan perkotaan, akan lebih banyak lagi kebutuhan infrastruktur perkotaan yang diperlukan. Disisi lainnya, lahan-lahan perorangan yang telah diusahakan sebagai mata pencaharian merupakan peruntukkan lahan yang sudah bersifat permanen kepemilikannya; Tentunya proses pengalihan kepemilikannya harus melalui aturan hukum yang berlaku. Demikian pula terhadap kewajiban untuk menjaga lingkungan alam sekitarnya, terutama pada lahan yang memiliki tingkat kemiringan yang curam atau sempadan sungai tetap harus dipertahankan.
Keterbatasan lahan untuk pengembangan Sebatik kedepan, bukan berarti meredam keinginan untuk meningkatkan status Sebatik menjadi "kawasan perkotaan", mengingat secara politis memiliki nilai strategis sebagai beranda depan negara RI, sehingga kewajiban untuk menyediakan pelbagai fasilitas perkotaan merupakan suatu keharusan. Namun, pilihan kebijakan menjadikan Sebatik sebagai kawasan pengembangan agroindustri dan jasa maritim; sekiranya perlu dikaji secara mendalam, mengingat pilihan model pengembangan sebagai "transito dan jasa perdagangan" lebih tepat. Fasilitas khusus yang disediakan hanya berupa PPLB, dengan dilengkapi welcome plaza, seperti seperti toko cinderamata, cash point bank, money changer, restoran, pos dan telekomunikasi (postel) serta penginapan disekitar lingkungan welcome plaza. Implikasinya adalah penempatan PPLB (CIQS) yang ada di Lamijung - Nunukan, idealnya dipindahkan ke Sebatik, agar hanya ada satu lokasi entry point saja atas mobilitas orang dari Nunukan menuju Tawau atau sebaliknya.
Sebagai wilayah jasa perdagangan; Sebatik merupakan transit atas barang ekspor - impor antara Nunukan dengan Tawao, sehingga perlu dilakukan perdagangan secara formal, yang selama ini lebih banyak memanfaatkan fasilitas Border Trade Aggreement (BTA); Dan selama ini pula term of trade Indonesia terhadap Malaysia berada dalam posisi tidak diuntungkan, mengingat ekspor Indonesia (Nunukan dan wilayah sekitarnya) lebih banyak produk-produk pertanian yang masih perlu diolah lebih lanjut (raw material), dengan harga relatif rendah.  Sedangkan impor dari Tawao berupa produk bahan makanan yang sudah diolah (memiliki nilai tambah), dengan harga relatif lebih tinggi. Selain itu, ketatnya aturan BTA, baik terhadap batasan nilai perdagangan yang hanya RM 600 serta batasan tonase kapal sebesar 20 m3 (gross) mengakibatkan terjadinya banyak kasus illegal trade.
Data perdagangan lintas batas antara Nunukan - Tawao pada tahun 2004 s/d 2011 mengindikasikan bahwa sejak tahun 2007 mengalami defisit (lihat Tabel 5).  Gambaran  defisit ini dapat diinterprestasikan bahwa; Pertama, banyak produk hasil pertanian/perikanan dari Nunukan dan wilayah sekitarnya masuk ke Tawao tidak tercatat dengan baik atau melalui jalur illegal. Kedua, ada kemungkinan defisit tersebut lebih besar, karena banyak produk impor Tawao yang diseludupkan masuk ke Nunukan dan wilayah sekitarnya.
Salah satu aspek penting lainnya untuk menjadikan Sebatik berperan penuh sebagai kawasan jasa perdagangan adalah membuka pelabuhan ekspor, walaupun pada tahap awalnya masih dalam skala kecil, namun memformalkan kegiatan perdagangan ini melalui pembukaan pelabuhan ekspor adalah lebih baik, daripada membiarkan terjadinya illegal trade yang merugikan Indonesia.

Tabel 5
Perkembangan Perdagangan Lintas Batas Nunukan - Tawao Tahun 2004 - 2011



Keterangan : 1) Ekspor dari Nunukan ke Tawao. 
2) Impor dari Tawao ke Nunukan.
Sumber : Dinas Perdagangan dan Koperasi Provinsi Kalimantan Timur.

Menjadikan Sebatik, baik sebagai kawasan transito maupun jasa perdagangan adalah bagian dari penerapan model pengembangan "Kawasan Perbatasan Laut", mencakup Nunukan dan Sebatik. Ini berarti, Sebatik merupakan kawasan perkotaan ("tidak harus pemerintahan Kota") yang berperan sebagai transito pergerakan orang dan sekaligus sebagai jasa perdagangan; Dengan kedua peran tadi masalah keterbatasan lahan masih dapat diatasi melalui perencanaan tata ruang yang baik. Sementara Nunukan dijadikan kawasan industri, dengan mengembangkan industri pengolahan yang berbasis agroindustri. Idealnya kawasan khusus lainnya yang tercakup dalam model ini, yaitu kawasan berikat, kawasan pelabuhan bebas, kawasan aquakultur dan kawasan wisata pantai harus dikembangkan pula secara bersamaan dan proporsional, dengan ditetapkannya Nunukan sebagai kawasan industri.
Tahap awal menjadikan Nunukan sebagai kawasan industri lebih relavan; sebagai batu loncatan untuk pengembangan kawasan khusus lainnya pada tahapan selanjutnya. Secara teoritis konsentrasi aktivitas ekonomi ("industri") pada suatu kawasan akan mendapatkan 2 (dua) eksternalitas ekonomi, yaitu penghematan lokalisasi (localization economies) dan penghematan urbanisasi (urbanization economies).
Kedua penghematan tadi sering disebut dengan istilah "agglomeration economies". Penghematan lokalisasi 8) berhubungan dengan dapat ditekannya biaya produksi, karena mampu meningkatkan skala produksi dalam jumlah besar; Dan  peluangnya menjadi lebih besar lagi, apabila terdapat keterkaitan usaha/industri  antar perusahaan yang berada dalam satu lokasi ("kawasan"). Bagi perusahaan industri keterkaitan utamanya adalah perusahaan lain yang bertindak sebagai pemasok bahan baku.  Penghematan lokalisasi yang melibatkan banyak perusahaan saling terkait dalam meningkatkan produksi, akan mengarah pada pembentukan klaster industri.
Klaster industri merupakan pengelompokkan aktivitas industri yang terkonsentrasi dalam suatu kawasan (spasial), dengan satu atau dua spesialisasi industri utama. Pengembangan kawasan industri Nunukan akan mengarah pada pembentukan klaster industri, apabila spesialisasi dapat difokuskan pada agroindustri berbasis hasil perkebunan, yang potensinya cukup besar. Nunukan sendiri, dilihat dari penghematan urbanisasi, walaupun masih belum optimal dapat memberikan peran menekan biaya produksi, sebagai dampak ketersediaan fasilitas infrastruktur pendukung kegiatan industri.      
Sebelumnya sudah ada kajian untuk menjadikan Nunukan sebagai kawasan berikat (bounded area) pada tahun 1990-an oleh BPPT. Namun implementasinya terkendala banyak faktor 9), diantaranya; Pertama, penetapan lokasi harus memiliki akses pasar dan keterkaitan dengan ekonomi domistik (regional), tidak sekedar dibangun untuk kepentingan counter growth pole. Akses pasar (ekspor) Nunukan bertumpu pada Tawao, berupa produk hasil pertanian. Praktis dorongan permintaan ekspor ditentukan oleh kondisi perekonomian Negara Bagian Sabah, khususnya Kota Tawao dan sekitarnya. Dalam kaitannya dengan ekonomi domistik, permasalahannya terletak pada kesulitan untuk mewujudkan integrasi vertikal kegiatan industri, yang sangat berperan untuk menciptakan efisiensi ekonomi dan memperkuat daya saing.
Kedua, jaringan infrastruktur dan fasilitas publik yang berkualitas; Walaupun sudah berkembang, akan tetapi tingkat akselerasinya relatif tidak seimbang dengan tuntutan pengembangan kawasan berikat. Dan masih terdapat beberapa alasan lainnya, seperti kelembagaan dan skema insentif yang belum jelas. Namun alasan yang paling prinsip adalah 2 (dua) alasan yang telah diutarakan lebih awal.
Penyesuaian implementasi kawasan berikat di Nunukan sebenarnya masih dapat dilakukan, karena terdapat perbedaan kawasan berikat diwilayah perbatasan dan diluar wilayah perbatasan: 10)
1. Kawasan berikat di wilayah perbatasan hanya memfasilitasi kerjasama kedua Negara yang berbatasan, untuk menciptakan kemampuan bersama dalam menghadapi persaingan tingkat global; Sedangkan diluar wilayah perbatasan, kawasan berikat diciptakan untuk menarik masuknya investasi dalam skala besar dan kerjasama antar Negara, guna menghasilkan produk yang akan diekspor kembali, dengan harga bersaing.
2. Implikasi kerjasama investasi yang hanya terbatas pada dua Negara saja, menyebabkan cakupan produk yang dihasilkan terbatas, sementara kawasan berikat diluar wilayah perbatasan mencakup banyak investor dari banyak Negara, sehingga produk yang dihasilkan lebih bervariatif.
3. Sasaran pasar kawasan berikat di wilayah perbatasan relatif terbatas dibandingkan sasaran pasar kawasan berikat diluar wilayah perbatasan; umumnya mencakup banyak Negara.
Perspektif saat ini, dimana jaringan infrastruktur dasar dan fasilitas publik  sudah mencukupi dan didukung basis industri agrobisnis yang memanfaatkan pasokan bahan baku dari wilayah lainnya (hinterland), seperti hasil perkebunan kelapa sawit yang memiliki prospek besar untuk terus berkembang, termasuk  pengembangan karet alam, kopi dan lada yang cukup terbuka. Usaha peternakan sapi prospek pemasarannya ke Negara Bagian Sabah cukup besar, karena permintaan daging sapi tidak dapat dipenuhi  dari pasokan lokal. Usaha perikanan tangkap dan budidaya potensi pesisir masih dikelola secara tradisional, sehingga terbuka peluang untuk dikembangkan lebih lanjut, melalui sistem pengelolaan moderen. Oleh karenanya, pilihan menjadikan Nunukan sebagai kawasan industri cukup relevan.
Pencanangan BNPP untuk menjadikan Sebatik sebagai kawasan pengembangan agrobisnis dan jasa maritim masih sejalan dengan pilihan model pengembangan, yang menjadikan Sebatik dan Nunukan sebagai kawasan perbatasan laut, karena pengembangan agroindustri dilakukan dalam satu kawasan yang lebih besar, tidak  hanya  Sebatik saja,  yang kondisi lahannya terbatas. Disamping itu berkembangnya usaha perkebunan di Sebatik terutama sawit dan perikanan laut masih dalam skala kecil,  tidak efisien  mendirikan  usaha  pengolahan  berbasis  agroindustri dalam skala besar, tanpa memperhitungkan pasokan bahan baku dari wilayah lainnya disekitar Nunukan; Dari aspek ekonomi akan menambah biaya transportasi. Jasa maritim akan berkembang sebagai dampak ikutan (multiplier effect) dari berkembangnya kegiatan yang tercakup dalam sektor agroindustri sebagai basis utama pengembangan kawasan.
Jasa maritim dalam model pengembangan perbatasan laut dapat diidentikan dengan kawasan khusus pelabuhan bebas. Pada perspektif saat ini, pelabuhan bebas belum dapat dikembangkan, karena lalu lintas pelabuhan masih merupakan feeder pergerakkan barang dan orang menuju Nunukan dari wilayah sekitarnya atau sebaliknya, karena infrastruktur pelabuhan di Nunukan sudah tersedia, dapat disandari kapal barang/penumpang berskala besar.  
Kawasan pengembangan Nunukan dan Sebatik, selain didukung kesiapan infrastruktur dasar terutama di Nunukan, juga didukung ketersediaan potensi lahan cukup luas untuk pengembangan lanjutan, Bandar udara dan laut, beberapa lembaga keuangan perbankan, fasilitas akomodasi (hotel) dan potensi SDM. Faktor-faktor pendukung tadi merupakan suatu keuntungan (advantage) yang berkorelasi terhadap upaya menekan kebutuhan biaya pengembangan kawasan.
Sebatik akan berkembang relatif lebih cepat sebagai transito dan jasa perdagangan, dibandingkan dengan menjadikannya sebagai pengembangan agrobisnis dan jasa maritim, karena kebutuhan biaya penyiapan infrastrukturnya cukup besar, sementara pasokan bahan baku dari luar berdampak terhadap efisiensi biaya; Para investor sangat memperhatikan kedua hal ini, karena terkait dengan keuntungan bisnis yang diharapkan. Infrastruktur kawasan transito dan jasa perdagangan berupa pelabuhan sepenuhnya menjadi tanggungjawab Pemerintah. Pada tahap awal pengembangan tentunya disesuaikan dengan kebutuhan riil, Pemerintah Daerah cukup hanya mencadangkan lahan pengembangannya.
Perikanan tangkap yang potensinya cukup besar dan disinyalemen bahwa hasilnya banyak dibawa ke Tawao, dengan harga yang diatur secara sepihak oleh pedagang di Tawao; Hal ini dapat diatasi dengan mendirikan TPI di Sebatik dan mengundang pedagang Tawao untuk terlibat didalamnya; Memfasilitasi pembangunan pabrik pengawetan ikan berorientasi ekspor di Nunukan yang pasokan listriknya relatif stabil dibandingkan Sebatik. Kepentingan nelayan adalah hasil produksinya ada yang membeli, tidak mempermasalahkan harus di Sebatik atau Nunukan, karena keduanya cukup berdekatan. Atau mengembangkan home industri pembuatan tepung ikan, baik untuk keperluan industri pembuatan panganan berbasis ikan maupun pakan ternak (ikan yang berkualitas rendah/afkir). Selama ini sektor perikanan tangkap selalu menjadi perdebatan pada tataran kebijakan pemerintah, sementara tingkat produksinya dan keterlibatan jumlah rumah tangga petani (nelayan) masih dalam skala yang tidak begitu besar. Demikian pula dalam konteks hasil produksi ekstraktif lainnya yang dihasilkan oleh Sebatik dipretensikan sebagai potensi yang nilai keekonomiannya selalu mengarah pada kesimpulan perlunya pengembangan industri berbasis agrobisnis. Namun melupakan bahwa pengembangan industri merupakan mata rantai yang mengkaitkan banyak aspek, terutama pasokan bahan baku dan infrastruktur.
Oleh karenanya, keinginan bersama untuk menjadikan Sebatik sebagai berada depan RI dilihat secara proporsional; menjadikan Sebatik sebagai transito dan jasa perdagangan akan mendorong arah pengembangannya sebagai kawasan perkotaan. Pemerintah mendorong penyiapan infrastruktur perkotaan yang diperlukan. Gabungan kawasan Sebatik dan Nunukan yang seharusnya dipacu sebagai kawasan pengembangan menggunakan model perbatasan laut, dengan menekankan sebagai kawasan industri, sehingga kedepan kedua wilayah ini akan menjadi "Kota".

H. Menjadikan Nunukan sebagai Kota

Menjadikan Nunukan sebagai Kota Nunukan apakah relevan; jawaban relevan, sebagaimana keinginan untuk menjadikan Sebatik sebagai Kota atau Mahakam Hulu sebagai Kabupaten. Dalam konteks ini, Kota Nunukan dimaksud mencakup kawasan Nunukan dan Sebatik. Persyaratan untuk memekarkannya menjadi Kota dapat dipenuhi, tidak hanya dilihat dari aspek pertimbangan khusus sebagai wilayah perbatasan; Namun dilihat dari aspek lainnya, baik dari aspek politis, sosial budaya, ekonomi, hankam serta demografi dapat terpenuhi.
Ini berarti, perlu ada pembentukan Kabupaten Nunukan, yang mencakup wilayah 8 Kecamatan lainnya, yaitu Sei Manggaris, Lumbis, Lumbis Ogong, Sebuku, Tullin Onsoi, Sembakung, Krayan dan Krayan Selatan.  Ibukota Kabupaten Nunukan sangat strategis berada di Kecamatan Sei Manggaris, atas dasar pertimbangan berikut ini; Pertama, Kecamatan Sei Manggaris merupakan PKSN dan akan dibuka PLB darat Sei Manggaris - Serodong, sehingga memiliki prospek sebagai kawasan pertumbuhan, disamping sebagai entry point antar Negara. Keberadaan ibukota Kabupaten Nunukan diwilayah tersebut akan lebih mempercepat pengembangan kawasan tersebut.
Kedua, berdekatannya ibukota Kota Nunukan (di Nunukan) dan Kabupaten Nunukan (di Sei Manggaris) akan menciptakan sinergi pengembangan, karena sebagai Kota yang merupakan kawasan industri, membutuhkan pasokan bahan baku dari wilayah hinterland-nya, yaitu Kabupaten Nunukan. Sementara bagi Kabupaten Nunukan, diharapkan Kota Nunukan dapat berperan sebagai kota jasa, sebagaimana peran Kota Tarakan terhadap Kabupaten disekitarnya, yaitu Bulungan, Malinau dan Tana Tidung. Ini berarti, pengembangan Kota dan Kabupaten Nunukan harus saling melengkapi dan bersifat mutualisme. Pemerintah Kabupaten dan Kota Nunukan akan melakukan spesialisasi terhadap keunggulannya masing-masing secara alamiah.
Ketiga, lebih mendekatkan ibukota Kabupaten terhadap Kecamatan lainnya yang berada di daratan Kalimantan, dengan cakupan luas wilayah cukup  besar ± 13.257,78 atau 93,03 % dari luas keselruhan Kabupaten Nunukan, dimana dengan terbukannya jalur transportasi darat akan menghubungkan seluruh Kecamatan dengan ibukota Kabupaten (di Sei Manggaris). Saat ini akses jalan trans Kaltim melalui Malinau - Lumbis - Sembakung - Sebuku sudah terbuka; hanya diperlukan pemeliharaan rutin dan peningkatan kualitas jalan. Akses jalan menuju Krayan dan Krayan selatan melalui Malinau masih dalam proses pembukaan badan jalan.


P e n u t u p

K e s i m p u l a n

1. Pengembangan Sebatik memiliki arti strategis sebagai beranda depan negara RI, sekaligus mengimbangi pesatnya pembangunan di Tawao.

2. Pilihan model pengembangan dilihat dalam satu kawasan harus memperhatikan daya dukung lahan, potensi ekonomi, infrastruktur dan fasilitas publik serta SDM yang ada (demografi).

3. Pilihan model pengembangan yang tepat adalah menjadikan Nunukan dan Sebatik sebagai kawasan perbatasan laut, dengan menetapkan Nunukan sebagai pusat kawasan industri, sementara Sebatik merupakan kawasan transito dan jasa perdagangan.

4. Implikasi terhadap pilihan model tersebut adalah keharusan untuk menjadikan Sebatik sebagai kawasan perkotaan.

5. Inisiasi BNPP menjadi Sebatik sebagai kawasan agroindustri dan jasa maritm pada dasarnya sudah sejalan dengan model pengembangan sebagai kawasan perbatasan laut, yang cakupannya lebih luas, termasuk cakupan wilayahnya yang merupakan gabungan Nunukan dan Sebatik.

6. Hasil kajian untuk menjadikan Nunukan sebagai kawasan berikat pada tahun 1990-an oleh BPPT, dihadapkan pada beberapa kendala yang tidak memungkinkan pembentukan kawasan berikat. Namun hasil kajian tersebut dapat dilakukan penyesuaian model pengembangan alternatif lainnya, seperti pembentukan kawasan industri berbasis agroindustri, yang merupakan bagian dari model pengembangan perbatasan laut.


Saran-saran

1. Perlunya dilakukan kajian untuk memjadikan Nunukan dan Sebatik sebagai Kota Nunukan, dan mengalihkan Kabupaten Nunukan ke Sei Manggaris.

2. Perlunya dilakukan kajian pendirian pelabuhan ekspor - impor di Seabtik dalam skala tertentu, termasuk kajian untuk menetapkan entry point (PPLB Laut) di Sebatik.

3. Implikasi pendirian PPLB Laut di Sebatik, harus diikuti dengan kelancaran akses jalan lingkar Seabtik, dalam rangka mendukung kelancaran mobilitas orang dari dan menuju Nunukan atau sebaliknya.


Pengantar

Tulisan ini pada awalnya dimaksudkan sebagai masukan bagi Biro Perbatasan, Penataan Wilayah dan Kerjasama Setdaprov. Kaltim pada tahun 2012 lalu, yang pada saat tersebut melaksanakan kerjasama dengan Universitas Airlangga Surabaya, dalam melakukan kajian pemekaran Kecamatan Sebatik menjadi Kota.

Masukan tersebut pendekatannya bersifat pragmatis - lebih banyak didasarkan pada pengalaman dilapangan, dikaitkan dengan kebijakan yang telah diambil pemerintah. Tentunya, pendekatan ini tidak sempurna sepenuhnya, tanpa dilengkapi dengan kajian akademik; Namun, masukan yang diberikan dapat membuka khanazah terhadap pandangan lain terhadap rencama pemekaran Kecamatan Sebatik.

Tulisan ini, pembahasannya diawali dengan gambaran Kecamatan perbatasan yang ada di Kabupaten Nunukan, dilanjutkan dengan model pengembangan wilayah dilihat dari aspek teoritis dan implementasi yang telah dilakukan selama ini, sebelum mengajukan saran; bahwa yang perlu dimekarkan tersebut adalah menggabung Kecamatan yang ada di Pulau Sebatik dan Nunukan sebagai "Kota Nunukan", dan membentuk Kabupaten Nunukan di daratan Pulau Kalimantan, tepatnya ada di sekitar wilayah Sei Manggaris.


Oleh :

Diddy Rusdiansyah A.D, SE., MM
Kepala Bidang Pembinaan Ekonomi dan Dunia Usaha Badan Pengelolaan
Kawasan Perbatasan, Pedalaman dan daerah Tertinggal Provinsi Kalimantan Timur


Daftar Kepustakaan/Referensi (berdasarkan footnote)

1. Drs. H. Syaukani HR, Prof. DR. Afan Gaffar, MA & Prof. DR. M. Ryaas Rasyid, MA; Otononomi Daerah Dalam Negara Kesatuan. Cetakan I. Maret 2002. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Hal 190.

2. Ir. Rohmad Supriyadi, M.Si; Kebijakan & Strategi Untuk Mendorong Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Kawasan Perbatasan (handout). Disampaikan pada Workshop Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Perbatasan, yang diselenggarakan Ditjen Bangda Kemendagri, tanggal 20 Juni 2011 di Hotel Ambhara - Jakarta Selatan.

3. Bappenas; Strategi dan Model Pengembangan Wilayah Perbatasan Kalimantan. Cetakan Pertama. November 2003. Diterbitkan Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal - Deputi Bidang Otda dan Pengembangan Regional. Jakarta.

4. Prof. Drs. Robinson Tarigan, MRP; Perencanaan Pembangunan Wilayah. Edisi Kedua. Cetakan Keempat. Juni 2009. Bumi Aksara. Jakarta. Hal 104.

5. Muhammad Ikhwanuddin Mawardi; Membangun Daerah yang Berkemajuan, Berkeadilan, dan Berkelanjutan. Cetakan Pertama. November 2009. IPB Press. Bandung. Hal 164.

6. Drs. Untoro Sardjito, MM; Pengembangan Infrastruktur Mendorong Pertumbuhan Wilayah Perbatasan (handout). Disampaikan pada Workshop Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Perbatasan, yang diselenggarakan DITJEN BANGDA Kementrian Dalam Negeri, tanggal 20 Juni 2011 di Hotel Ambhara - Jakarta Selatan.

7. DR. Afriadi Sjahbana Hasibuan, MPA. M.Com; Revitalisasi Pengembangan Wilayah Sebagai Upaya Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Wil. Perbatasan (handout). Disampaikan pada Workshop Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Perbatasan, yang diselenggarakan DITJEN BANGDA Kementrian Dalam Negeri, tanggal 20 Juni 2011 di Hotel Ambhara - Jakarta Selatan.

8. Prof. Mudrajad Kuncoro, Ph.D; Ekonomika Industri Indonesia Menuju Negara Indusri Baru 2030?. CV. Andi Offset. 2007. Jakarta. Hal 67-68.

9. Syarif Hidayat & Agus Syarif Hidayat; Qua Vadis Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Cetakan Ke-1. Agustus 2010. PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta. Hal 16 - 19.

10. BAPPENAS. Loc cit. Hal 32.


Read more

3 Tantangan Peningkatan Ekspor Indonesia Dalam Menghadapi Globalisasi Ekonomi


A. Pendahuluan  

Pengaruh globalisasi sudah merambah dalam kehidupan masyarakat, baik menyangkut kebutuhan primer (sandang dan pangan) sampai kepada pada peniruan gaya hidup (demonstration effect); Dan ini tidak mungkin terhindarkan bagi setiap Negara yang sistem ekonomi-nya terbuka, seperti Indonesia. Apalagi dikaitkan dengan perkembangan teknologi informasi yang semakin pesat saat ini, dimana mobilisasi informasi sudah merambah dimensi ruang yang tidak dapat dibatasi, dalam skala waktu relatif singkat.  Peristiwa penting terkait dengan pelbagai aspek kehidupan di suatu Negara, dapat segera diketahui masyarakat Negara lainnya, melalui jaringan pemberitaan media audio visual maupun internet.
Secara teoritis pengaruh globalisasi akan menyentuh pada percepatan mobilisasi tanpa batas terhadap  barang/jasa,  modal (dalam bentuk uang), manusia, informasi serta gaya hidup dan nilai-nilai sosial budaya bergaya western life style. Oleh Faisal Basri dan Haris Munandar (2009; hal 538); Globalisasi sudah terjadi sejak lama, menyatu dalam pelbagai aspek perekonomian nasional di seluruh dunia,  membentuk suatu jejaring global yang menyentuh hampir semua pelaku ekonomi. Oleh karena terkait satu sama lain, maka yang terjadi di suatu sektor/Negara, akan segera berimbas ke berbagai sektor/Negara lainnya.
Beranjak dari pemikiran diatas, maka dalam makalah ini akan dibahas pengaruh globalisasi terhadap perekonomian Indonesia terutama dari aspek perdagangan internasional (ekspor-impor) yang semakin ketat persaingannya, dan kemampuan daya saing industri dalam negeri untuk menghadapinya.

B. Pengertian & Implikasi Globalisasi

Merujuk pada pendapat Tulus Tambunan (2005; hal 1), dikatakannya bahwa globalisasi dari sisi ekonomi adalah suatu perubahan didalam perekonomian dunia yang bersifat mendasar/struktural dan akan terus berlangsung mengikuti kemajuan teknologi yang kenyataannya terus berkembang dengan pesat. Kondisi ini disatu sisi akan meningkatkan kadar saling ketergantungan antar Negara, dan disisi lainnya menyebabkan timbulnya persaingan antar Negara, dalam memperebutkan peningkatan porsi perdagangan internasional serta mendorong kegiatan investasi, keuangan dan produksi.
Milton Friedman (Tulus Tambunan; hal 2); menyatakan bahwa globalisasi akan bersentuhan  pada 3 (tiga) wacana mendasar, yaitu : (a) bernuansa penyebaran ideologi kapitalis, dengan menonjolkan semangat individualisme dan orientasi pasar yang lebih berpihak kepada pemegang kapital. Disamping seperangkat nilai lain yang menyertainya, yakni falsafah demokrasi dan HAM; (b) berorientasi  ekonomi, yaitu menekankan pada pembukaan pasar bebas (liberal) yang dikendalikan institusi internasional (WTO); dan (c) bermuatan teknologi, khususnya teknologi informasi yang akan membuka batas-batas negara sehingga negara makin tanpa batas.
Sebagaimana dikatakan oleh Joseph E. Stiglitz (2003); Globalisasi membuka jalan keperdagangan internasional yang telah membantu banyak Negara untuk berkembang lebih pesat dari  apa yang telah mereka capai sebelumnya. Disamping, mengurangi perasaan isolasi yang dirasakan oleh banyak Negara berkembang, sekaligus membuka akses bagi masyarakat-nya akan pelbagai ilmu pengetahuan. Permasalahannya, globalisasi yang dipersepsikan sebagai suatu "kemajuan" (biasanya dikaitkan dengan gaya kapitalisme murni a la USA); Negara-negara berkembang harus menerimanya, jika ingin berkembang dan mengurangi kemiskinan secara efektif.
Kenichi Ohmae (1991), mengatakan bahwa kita sudah menjadi warga global; Peta politik dan batas wilayah antar Negara masih jelas sebagaimana sediakalanya, akan tetapi peta kompetitif, yang memperlihatkan arus kegiatan keuangan dan industri menjadi tidak jelas. Kekuatan dominan yang mendobrak batasan tersebut adalah informasi, dimana peran Pemerintah sangat minim untuk mampu memfiltrasi-nya. Selanjutnya, globalisasi tidak akan menunggu, harus segara dilakukan aliansi sekarang ini, bukan sekedar aliansi tradisional.
Marsuki (2005; hal 285); berkembangnya ekonomi moderen saat ini telah memunculkan kebebasan berekonomi dalam semangat perlunya integrasi ekonomi secara regional dan global, guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat antar Negara. Secara umum, globalisasi ekonomi bermakna keterbukaan dan persaingan bebas berekonomi, yang dianggap sebagai best solution.
Selanjutnya oleh Dumairy (1997: hal 10); globalisasi diartikan mendunianya kegiatan dan keterkaitan perekonomian, yang tidak lagi mengenal batas kenegaraan; globalisasi bukan hanya sekedar berada tataran internasional, namun sudah menjadi transnasional kegiatan yang tidak hanya mencakup aspek perdagangan dan keuangan saja, tapi sudah memasuki ranah aspek produksi, pemasaran dan sumber daya manusia. Konsekwensinya, perekonomian antar Negara menjadi saling berkaitan, dimana perinstiwa ekonomi suatu Negara dengan dan mudah berimbas ke Negara lainnya.
Beranjak dari pengertian diatas, idealnya globalisasi akan memberikan keuntungan tersendiri bagi setiap Negara yang terlibat didalamnya, namun disisi lainnya harus diakui bersama bahwa terdapat pula implikasi yang bersifat negatif; Menurut Tulus Tambunan (2005; hal 13); dampak globalisasi ekonomi terhadap perekonomian suatu Negara bisa positif atau negatif, bergantung pada kesiapannya menghadapi peluang dan tantangan yang muncul dari proses tersebut. Secara umum terdapat 4 (empat) aspek yang terpengaruh langsung, yaitu ekspor, impor, investasi dan tenaga kerja.
Oleh Stiglitz (2003); globalisasi lebih menguntungkan Negara-negara maju, dan sebaliknya tidak banyak memberikan keuntungan bagi banyak orang di Negara berkembang. Pangkal permasalahannya adalah ketidakseimbangan perdagangan, dimana Negara-negara maju memaksa Negara berkembang untuk menghapuskan hambatan perdagangan (minimize non tariff barier), tetapi mereka sendiri melakukan pembatasan, terutama disektor pertanian, dengan pelbagai alasan, seperti issue lingkungan (eco labeling) dan penetapan standar kesehatan sepihak.
Semula diharapkan, lembaga-lembaga utama yang mengatur globalisasi, yaitu IMF, World Bank, WTO dan UNCTAD, dapat berperan aktif dan indipenden dalam mengatasi masalah ini. Akan tetapi, mereka lebih berkutat pada pembuatan aturan yang memaksakan konsep "liberalisasi" pasar keuangan/modal kepada Negara-negara berkembang melalui deregulasi internal, dengan dalih menstabilkan arus uang (modal). Konsekwensinya; selama masalah ini belum dapat dituntaskan, maka sistem perdagangan internasional yang berimbang dan menguntungkan semua pihak tidak dapat diwujudkan.
Bagi Indonesia sendiri, yang memiliki potensi sumber daya alam cukup melimpah, sebagai bahan baku industri; serta potensi jumlah penduduk yang besar sebagai kekuatan tersendiri  dalam mendorong permintaan domistik. Tentunya, dapat mengambil manfaat globalisasi yang indikasi keberhasilannya dapat dilihat pada perkembangan Neraca Pembayaran. Namun dalam waktu bersaamaan sebagai akibat keterbukaan ekonomi, Indonesia dihadapkan pada masalah semakin ketatnya persaingan, yang tidak hanya bersaing didalam penetrasi pasar di Negara lain, juga merasakan serbuan masuknya barang/jasa dari luar, sehingga implikasi dari hal ini sangat bergantung pada kemampuan daya saing industri lokal.  

C. Kinerja Ekspor

Negara Indonesia, yang saat ini sudah mendapatkan predikat emerging market dan mulai disetarakan dengan Negara-negara NICs, boleh dikatakan sudah mendapatkan keuntungan globalisasi ekonomi, terbukti dari  indikator investasi, ekspor-impor, cadangan devisa yang disajikan berikut ini. Indikator pertama, yaitu jumlah Investasi yang direalisasi, baik menggunakan fasilitas PMDN maupun PMA. Pada Tabel 1 berikut dapat dilihat bahwa selama periode waktu 2004 s/d 2008, realisasi PMA mencapai laju pertumbuhan rata-rata 7,2 %/tahun. Tahun 2009, mampu direalisasikan sebesar Rp 28.128,2 milyar.  Sementara dalam kurun waktu yang bersamaan jumlah PMDN, walaupun mampu  mencapai laju  pertumbuhan  rata-rata  14,9 %/tahun, namun proporsinya masih dibawah PMA.

Tabel 1
Perkembangan Realisasi Izin Usaha Tetap PMDN & PMA Tahun 2004 - 2009


Keterangan :
1) Posisi Jan s/d Sep 2009.
Sumber : Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RJPM) Nasional Tahun 2010 - 2014, Buku II - Memperkuat Sinergi Antar Bid. Pembangunan 

Peningkatan investasi, tidak hanya dipengaruhi faktor endowment yang dimiliki, berupa produk primer, namun didukung  pula  kondisi  ekonomi  yang  kondusif  dan  berdampak  positif terhadap tumbuhnya iklim investas, semakin membaiknya pelayanan birokrasi, terutama prosedur ekspor - impor, peraturan lokal, perpajakan  dan ketersedian potensi sumber daya manusis yang semakin terampil. Namun, disisi lainnya diakui, masalah infrastruktur belum dapat dituntaskan, seperti listrik, pelabuhan laut dan jalan.
Kondisi ekonomi makro Indonesia sejak tahun 2004 s/d 2008 (LPEM UI; 2010); mengalami laju pertumbuhan ekonomi secara berturut-turut 5,05 %, 5,69 %, 5,51 %, 6,28 % dan 6,01 %; Dan pada pada tahun 2009 (s/d Triwulan III) sudah mencapai 4,2 % (dikutip dari RPJM Nasional 2010 - 2014). Khususnya, untuk tahun 2010 ini oleh LPEM UI diproyeksikan laju pertumbuhan ekonomi akan mencapai 5,4 %. Kondisi ini, apabila dikaitkan prospek perluasan investasi kedepan tentunya akan lebih berpeluang menjadikan Indonesia sebagai Negara tujuan investasi (investment grade). Saat Negara-negara lain (diluar Negara-negara BRICs) mengalami penurunan laju pertumbuhan pada tahun 2007 dan 2008, sebagai imbas terjadinya krisis keuangan global, Indonesia sebaliknya mengalami laju pertumbuhan ekonomi positif, walaupun dorongan tersebut lebih banyak dipacu permintaan konsumsi rumah tangga.
Ideal-nya, bersamaan dengan kemampuan mengelola ekonomi makro, Pemerintah secara bersamaan juga harus melakukan upaya terobasan regulasi yang mengarah pada peningkatan kompetensi dan efisiensi pelaku usaha terutama industri pengolahan, untuk mampu bersaing di pasaran regional dan internasional, dimana tumpuannya terletak pada kemampuan untuk memacu pertumbuhan Industri Pengolahan Non Migas. Pada periode waktu 2004-2009, walaupun berfluktuatif, namun perkembangannya selalu positif (searah dengan laju pertumbuhan ekonomi). Disisi lainnya, pertumbuhan Industri Pengolahan Migas mengalami pertumbuhan negatif.

Tabel 2
Pertumbuhan Industri Pengolahan Tahun 2004 - 2009


Sumber : Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RJPM) Nasional Tahun 2010 - 2014, Buku II -  Memperkuat Sinergi Antar Bidang  Pembangunan

Indikator berikutnya adalah perkembangan ekspor-impor, selama periode 2004 - 2009 mengalami peningkatan cukup berarti terutama ekspor, dengan laju pertumbuhan rata-rata 15,40 %/tahun selama periode tersebut, sementara impor hanya tumbuh rata-rata 13,04 %/tahun, sehingga Neraca Perdagangan selalu dalam kondisi surplus relatif lebih besar dibandingkan transaksi lainnya; Dan ini menyebabkan Transaksi Berjalan selalu surplus, kecuali pada tahun 2008 (lihat Tabel 3), kendati  rasio-nya terhadap GDP rata-rata hanya 1,3 %, akan tetapi  turut memberikan andil terhadap pembentukan Cadangan Devisa, dimana dalam periode waktu yang sama mampu tumbuh sebesar 18,84 %/tahun, yang sebagian besar disumbangkan oleh Transaksi Modal & Finasial, terutama dari Investasi Portofolio, baik portofolio pasar uang maupun pasar modal.

Tabel 3
Ringkasan Neraca Pembayaran Indonesia Tahun 2004 - 2009
(nilai bersih, dlm juta US $)



Keterangan :
1) Rasio antara pembayaran hutang pokok + bunga hutang luar negeri terhadap barang/jasa
Sumber : Statistik Ekonomi & Keuangan Indonesia, publikasi Bank Indonesia per November 2010, diunduh pada tanggal 13 Januari 2010.

Pangsa pasar (market share) ekspor Indonesia, masih ditujukan kepada Jepang dan USA. Pergeseran pangsa pasar signifikan terjadi;  Pada tahun 2004 - 2006 menempatkan Negara Singapore sebagai tujuan ke-3, namun pada tahun 2007 - 2009 sudah bergeser pada Negara China sebagai urutan ke-3, menggeser Singapore menjadi urutan ke-4, dan masuknya Negara India dalam urutan ke-5, dengan menggeser Negara Malaysia yang tidak lagi menjadi Negara utama tujuan ekspor.
Gambaran pangsa pasar ini, sisi positifnya adalah jumlah permintaan komoditi ekspor relatif besar, mengingat posisinya dalam skala ekonomi internasional relatif dominan. Akan tetapi, apabila sepenuhnya bertumpu kepada Negara-negara tadi, gejolak ekonomi dalam negeri akan langsung memberikan pengaruh terhadap permintaan produk Indonesia. Ini artinya, untuk dapat mengeliminir gejolak tersebut harus dilakukan diversifikasi pasar, terutama dilingkungan Negara Asia Pasifik (dalam kerangka APEC dan Asean Plus).
Permasalahannya adalah pembukaan pasar baru, tidak hanya sekedar kemampuan untuk meningkatkan ekspor saja; Lebih dari itu ada kaitannya dengan kemampuan untuk meningkatkan daya saing industri, yaitu mampu memproduksi barang/jasa berstandar internasional, dengan harga yang kompetitif. Belum lagi dikaitkan dengan kondisi pasar yang sudah tersegmentasi dalam pelbagai "blok-blok perdagangan", sehingga diperlukan upaya promosi, guna mengimbangi upaya pembenahan terstruktur terhadap kebijakan/strategi peningkatran daya saing industri.

D. Tantangan Kedepan Pasar Ekspor 

Sebelum membicarakan prospek dari daya saing industri Indonesia kedepan, terlebih dahulu melihat peluang pasar ekspor yang ada, karena kemajuan suatu industri akan sangat ditentukan oleh kemampuan melepas hasil produksi tidak hanya pasar di dalam negeri, namun dapat pula merambah pasar luar negeri. Dalam konteks ini beberapa faktor patut menjadi perhatian, yaitu :
1. Pasar luar negeri potensial sudah terbagi dalam beberapa blok perdagangan regional, seperti Europe Union (EU), AFTA, NAFTA, APEC dan ACFA, yang tujuan utamanya adalah memperlancar arus perdagangan barang/jasa diantara sesama anggota. Keterlibatan Indonesia, pada beberapa blok perdagangan diatas memberikan keuntungan tersendiri berupa kemudahan ekspor. Namun permasalahannya, diantara sesama anggota bersaing terhadap jenis produk tertentu (seperti tekstil dan elektronik), dan untuk produk primer dihadapkan pada kendala permintaan yang tidak elastis di Negara yang masih dalam satu blok perdagangan. Untuk itu, Indonesia harus mampu membuka peluang pasar lainnya (di luar blok) melalui perjanjian bilateral. Menurut Frankel dan Wei (Mudrajad Kuncoro; 9); perdagangan internasional cenderung bias menuju perdagangan intraregional, dimana blok yang paling kuat ternyata bukan perdagangan intra Asia, tetapi justru trans Pasifik, termasuk perdagangan USA dan Kanada dengan Negara-negara Asia Timur. Kecenderungan ini memberikan isyarat bagi Indonesia untuk memasuki Negara-negara dalam kawasan Asia Tengah dan Afrika, karena produk hasil manufaktur dan primer Indonesia belum jenuh, sementara produk primer yang dihasilkan di kedua kawasan tersebut dapat diperdagangkan secara imbal balik (counter trade), karena Indonesia membutuhkannya sebagai bahan baku, seperti halnya kapas yang diperlukan untuk industri tekstil.
2. Sesuai kesepakatan WTO, setiap Negara secara bertahap harus menghilangkan pembatasan perdagangan yang bersifat non tarif, sehingga ini dapat menjadi peluang bagi indutri pengolahan yang berorientasi. ekspor, dengan cara menghasilkan produk berkualitas dan relatif murah harganya. Untuk produk primer tantangannya hanya terletak pada bagaimana memberikan nilai tambah (value added). Sedangkan untuk produk manufaktur dituntut untuk berproduksi secara efisien, karena mengandalkan upah buruh yang murah sudah kalah bersaing dengan China dan Vietnam. Selain itu, kalangan industri masih disibukan dengan restrukturisasi asset fisik (permesinan), karena sudah banyak yang daluwarsa teknologi-nya, sehingga tidak efisien lagi (menambah maintenance cost). Untuk industri pengolahan yang bersifat subsitusi impor, dihadapkan pada tantangan berfluktuasinya harga bahan baku, karena masih diimpor dari luar. Fluktuasi harga yang paling signifikan disebabkan kenaikan kurs mata uang kuat dunia (hard currency),yaitu US $, Euro EU dan Yen Jepang.
3. Menurut Faisal Basri (2009; hal 569); dikatakan bahwa fluktuasi kurs terutama US $, masih berpeluang besar terjadi di Indonesia, mengingat adanya kerawanan eksternal, yang disebabkan posisi modal asing (dalam bentuk hutang jangka pendek, saham dan obligasi) relatif besar dibandingkan dengan jumlah cadangan devisa yang ada. Sebagai contoh, pada tahun 2008, tingkat (%) kerawanan eksternal Indonesia mencapai 237 %, menyusul Korea Selatan 208 % dan Filiphina 97 %. Artinya, kalau USA belum dapat menuntaskan krisis ekonominya, sehingga menyebabkan perekonomian dunia turut mengalami krisis, maka Indonesia akan mengalami penurunan drastis dibandingkan lainnya. Walaupun kenyataannya, pada tahun 2010 ini, Indonesia diuntungkan dengan adanya krisis global, banyak investor asing menanamkan modalnya pada asset keuangan jangka pendek (SBI dan SBN) serta jangka panjang (SUN dan Saham), sehingga menyebabkan peningkatan cadangan devisa dan penurunan kurs US S hingga dibawah Rp 9.000,-/$. Akan tetapi tantangan kedepan yang dihadapi adalah; Pertama, pemerintah cq. Bank Indonesia harus mampu menjaga kestabilan kurs pada tingkat yang kompetitif, dengan tetap merangsang permintaan ekspor. Kedua, bagi kalangan pelaku bisnis industri pengolahan sudah seharusnya memanfaatkan fasilitas hedging (cegah resiko) melalui pemanfaatan fasilitas swap perbankan.              
4. Pilihan produk sebagai basis ekspor; apakah berbasis spektrum sempit atau spektrum luas. Kalau memilih spektrum luas, maka produk apa yang dapat diekspor harus diekspor selama pangsa pasar-nya ada, dengan harga relatif rendah. China cenderung memilih basis ini, karena didukung upah buruh yang rendah dan kestabilan nilai yuan (nilai kurs  yuan terhadap US $ ditetapkan relatif rendah). Berbeda dengan  pilihan pada spektrum sempit, lebih fokus pada produk yang memiliki daya saing tinggi serta memiliki nilai tambah tinggi melalui proses pengolahan berteknologi tinggi; Dan ini berdampak terhadap tingkat harga akhir, yang dapat ditekan pada skala produksi tertentu. Bagi Indonesia, pilihan diantara kedua basis ekspor ini menimbulkan dilemma tersendiri. Menurut Faisal Basri (2009; hal 557); Mayoritas produk ekspor kita adalah komoditas primer dan produk-produk manufaktur bernilai tambah rendah. Salah satu kharakteristik menonjol dari produk-produk seperti itu adalah permintaannya kurang peka terhadap perubahan pendapatan (low income electicity of demand). Pendapat tersebut, dilihat dari kharakteristik produknya, lebih tepat bagi Indonesia untuk memilih spektrum sempit, sehingga tantangannya adalah; (a) memilih produk unggulan yang memiliki daya saing, baik dari segi harga maupun kualitas; dan (b) memilih pasar yang tingkat kejenuhan masih kurang.
5. Walaupun sudah banyak Negara yang mengurangi pembatasan perdagangan melalui penerapan hambatan non tarif, seperti  pemberlakuan kuota, dan beralih pada penerapan tarif murni. Namun realitas-nya terutama Negara-negara maju, masih memberlakukan pembatasan pola baru, seperti produk yang harus ramah lingkungan dan standar laik kesehatan yang tinggi. Pembatasan dimaksud pada dasarnya adalah melindungi sektor pertanian Negara maju, yang merupakan sektor tradisional yang harus tetap dipertahankan, karena pertimbangan politis semata. Dalam kaitan ini, tantangan kedepan yang dihadapi Indonesia adalah kemampuan untuk melakukan lobby dengan Negara lawan dagang melalui asosiasi-asosiasi terkait dikedua belah pihak, untuk mengakomodir pelbagai tuntutan yang diminta. Pendekatan yang dilakukan kadangkala bersifat ad hoc (kasuistik), tetapi lebih efektif dibandingkan penggunaan jalur formal pemerintahan.
Beberapa tantangan prinsip diatas memberikan sedikit gambaran tentang kondisi pelbagai aspek yang mempengaruhi kegiatan perdagangan (ekspor) Indonesia, yang nantinya akan memberikan pengaruh berikutnya terhadap kegiatan industri yang berorientasi ekspor. Dengan gambaran tadi menimbulkan pertanyaan mendasar; "Apakah daya saing industri Indonesia, teruma industri pengolahan non migas mampu menghadapi kompetitifnya kegiatan perdagangan internasional di era globalisasi saat ini"  

E. Daya Saing Industri

Pertumbuhan ekonomi Indonesia sebagaimana telah disinggung sebelumnya masih menunjukkan tren positif, Oleh LPEM UI diperkirakan pada tahun 2010 ini akan mencapai laju pertumbuhan 5,4 %. Dari sisi penggunaan lebih ditentukan oleh konsumsi rumah tangga, sedangkan konsumsi pemerintah, walaupun relatif kecil, akan tetapi dapat menjadi stimulan dalam menggerakan kegiatan ekonomi melalui sektor fiskal. Dari sisi sektor ekonomi menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi masih bertumpu pada sektor non tradeable (jasa-jasa),yang mencapai pangsa pasar rata-rata sebesar 57,5 %/tahun selama periode 2004 s/d 2007, sementara sektor tradeable hanya rata-rata 42,5 %/tahun dalam kurun wakttu yang sama.
Adapun tingkat pertumbuhannya sendiri, sektor non tradeable mampu mencapai rata-rata 8,13 %/tahun selama periode 2005 s/d 2007, sedangkan tahun 2008 (s/d kuartal ke-3) mencapai 9,5 %. Sementara sektor tradeable rata-rata tumbuh 3,67 %/tahun, dan untuk kuartal ke-3 tahun 2008 baru mencapai 3,2 %.
Seharusnya sektor tradeable inilah yang mendorong laju pertumbuhan ekonomi Indonesia, karena selain menghasilkan komoditi/produk yang dapat dijual, juga mampu menyerap tenaga kerja yang lebih banyak. Sub sektor ekonomi manufaktur non migas, walaupun pangsanya 23,9 % terhadap keseluruhan sektor ekonomi (lihat Tabel 5), namun tingkat pertumbuhannya relatif kecil rata-rata 4,6 %/tahun selama kurun waktu 2005 s/d 2007, kemudian pada tahun 2008 (s/d kuartal 3) mencapai 4,3 %. Demikian pula untuk sub sektor pertanian, walaupun pangsanya mencapai 14,0 %, namun pertumbuhannya tidak mengembirakan.

Tabel 4
Pertumbuhan Ekonomi (GDP) per Sektor Ekonomi Tahun 2005 s/d 2008 Dan Pangsa Pasar per Sektor Ekonomi Rata-rata Tahun 2004 s/d 2007 1)


Keterangan :
1) Satuan dalam %.
2) Posisi s/d kuartal ke-3
3) Rata-rata pangsa pasar selama periode waktu 2004 s/d 2007 (tidak termasuk Migas).
Sumber : Diolah dari Buku Lanskap Ekonomi Indonesia oleh Faisal Basri & Haris Munandar, hal 43 s/d 45.

Seharusnya sektor tradeable inilah yang mendorong laju pertumbuhan ekonomi Indonesia, karena selain menghasilkan komoditi/produk yang dapat dijual, juga mampu menyerap tenaga kerja yang lebih banyak. Sub sektor ekonomi manufaktur non migas, walaupun pangsanya 23,9 % terhadap keseluruhan sektor ekonomi (lihat Tabel 4), namun tingkat pertumbuhannya relatif kecil rata-rata 4,6 %/tahun selama kurun waktu 2005 s/d 2007, kemudian pada tahun 2008 (s/d kuartal 3) mencapai 4,3 %. Demikian pula untuk sub sektor pertanian, walaupun pangsanya mencapai 14,0 %, namun pertumbuhannya tidak mengembirakan.
Dari sinilah timbul pertanyaan; apakah rendahnya pertumbuhan sektor tradeable, khususnya sub sektor menufaktur (pengolahan) non  migas mengisyaratkan penurunan daya saing, sehingga pertumbuhan yang terjadi; hanya semata-mata memenuhi kebutuhan dalam negeri; sedangkan ekspor yang dilakukan dihadapkan pada kondisi :
(1) Pangsa pasar produk unggulan sudah banyak tergerus oleh Negara lainnya, yang faktor utamanya disebabkan harga yang relatif lebih mahal ;
(2) Komoditi primer nilai tambahnya relatif kurang dan tidak bersifat elastis ;
(3) Kalaupun terjadi ekspor dalam jumlah besar, hanya berupa produk kimiawi yang berisiko tinggi terhadap lingkungan hidup (PMA atau PMDN yang berafiliasi dengan pihak luar negeri, yang melakukan investasi pada produk kimiawi ini, pada dasarnya merupakan realokasi pabrik dari Negara asal karena penolakan penduduk-nya terhadap kelestarian lingkungan);
(4) Merupakan produk subsitusi impor dari perusahaan prinsipal luar negeri, sehingga pasokan bahan baku, komponen rakitan utama (main spare part) dan tenaga ahli terampil berasal dari prinsipal-nya, sehingga bagian nilai tambah yang dinikmati menjadi relatif kecil.
Oleh Faisal Basri dan Haris Munandar (2009), gambaran lemahnya daya saing industri Indonesia ini berdasarkan sumber data yang dapatkan dari  International Institute for Management Development (IIMD) dalam World Competitivenes Yearbook 2008, disebutkan bahwa daya saing Indonesia terus mengalami penurunan, dimana tahun 2007 masuk dalam urutan ke-54 dari 55 negara yang diteliti.
IIMD bersama JICA, yang mengadakan penelitian terhadap prospek investasi menurut persepsi pengusaha Jepang, menyebutkan bahwa prospek usaha di Indonesia juga mengalami penurunan, yaitu pada tahun 2006 hanya menempati urutan ke-9 dari 10 negara yang menjadi rujukan, sementara pada tahun 2000 s/s 2002 masih berada pada urutan ke-4. Badan PBB yang mengurusi perdagangan dan pembangunan (United Nations Conference on Trade & Development = UNCTAD); mengelompokkan Indonesia bersama Bangladesh, India, Pakistan dan Srilangka kedalam kelompok Negara paling rendah kualitas kinerja dan potensi ekonomi-nya pada tahun 2006.
Untuk melakukan meningkatkan daya saing ini, IIMD menyarankan pembenahan terhadap 4 (empat) hal prinsip, yaitu: kinerja ekonomi, efisiensi pemerintah, efisiensi bisnis dan kondisi infrastruktur, mengingat kecenderungan strategi bisnis untuk menjaga kelangsungan hidupnya, lebih berorientasi pada penghematan biaya tetap (fixed cost),dibandingkan biaya variable (variable cost). Implikasinya, kondisi infrastruktur yang carut marut sekarang ini perlu dibenahi, seperti penambahan dan perbaikan ruas jalan untuk kelancaran trasportasi, kestabilan pasokan listrik,serta kelengkapan fasilitas pelabuhan laut/udara guna mendukung percepatan mobilitas barang dan orang menjadi lebih efisien. Demikian pula terhadap efisiensi pemerintah yang dimanifestasikan dengan kemudahan birokrasi perizinan, dihilangkannya  pungutan tidak resmi, kepastian aturan atas sewa penggunaan atau harga pembebasan lahan usaha. Untuk keperluan efisiensi bisnis, perlu adanya kejelasan aturan usaha,aturan perburuhan (termasuk pengaturan UMR) dan pungutan pemerintah daerah.
Kinerja ekonomi Indonesia cenderung mulai membaik dilihat dari indikator ekonomi makro saat ini, patut tetap dipertahankan kestabilan-nya, terutama laju pertumbuhan ekonomi, inflasi, pergerakan suku bunga simpanan/kredit dan fluktuasi mata uang utama.
Apabila keempat prasyarat yang disarankan IIMD secara konsisten dapat dibenahi, iklim usaha kondusif kedepan akan dapat tercipta sebagai momentum untuk meningkatkan kembali kemampuan daya saing  pada tahapan  berikutnya, dengan konsekwensi peran aktif pemerintah sebagai barometer-nya. Oleh Mudrajad Kuncoro (2007; 423); Pilihan  kebijakan sektoral terdiri atas pelbagai macam tindakan yang dirancang untuk menargetkan industri sektor tertentu dalam perekonomian; Selain itu dapat pula dilakukan pilihan kebijakan horizontal, mengarahkan kinerja perekonomian secara keseluruhan dalam kerangka persaingan dimana perusahaan melaksanakan usahanya.
Sebelumnya pilihan kebijakan lebih difokuskan pada pendekatan sektoral, dengan penetapan target setiap sektor industri, tanpa memperhatikan keberadaan lokasi-nya (spaceless). Sekarang ini pilihannya adalah bersifat horizontal, dimana spasial pembangunan industri berbasis kluster (industrial clusters).
Pilihan kebijakan strategi terakhir ini sangat membantu Pemerintah Pusat dan Daerah dalam merumuskan kebijakan industri, karena ada kejelasan konsentrasi geografis dan spesialisasi sektoral. Artinya, klaster ini menekankan arti pentingnya spesialisasi dalam suatu daerah geografis yang berdekatan, dengan memadankan perencanaan fasilitas fisik berdasarkan tata ruang wilayah. kelacaran suplai bahan baku, ketersediaan sumber daya manusia dan sistem kelembagaan formal yang bertindak sebagai fasilitator.
Dalam RPJM Nasional 2010 - 2014, jelas menyebutkan keinginan untuk menggerakan pertumbuhan ekonomi yang dipacu oleh kegiatan riil investasi dan ekspor (tradeable), melalui penciptaan iklim usaha yang kompetitif dengan menegaskan;          (a) reformasi terhadap pelayanan investasi melalui percepatan waktu pelayanan dan penerapan "one stop  service"; (b) Penekanan high cost economics melalui tindakan penyederhanaan sistem perizinan dengan biaya yang trasparan dan penghapusan tumpang tindih pembiayaan; dan (c) Reformasi peraturan pada tingkat Pusat dan Daerah, yang berindikasi terhadap terjadinya tumpang tindih aturan yang membingungkan dari aspek pembagian kewenangan, menghambat investasi dan menimbulkan duplikasi pembiayaan.

F. Kesimpulan

Berdasarkan apa yang telah dijelaskan diatas, maka beberapa kesimpulan yang patut menjadi perhatian, yaitu :
(1) Globalisasi ekonomi memberikan dampak positif dan negatif bagi suatu Negara, dimana secara ekonomi pengaruh langsungnya akan dirasakan pada aspek peningkatan investasi, perdagangan luar negeri (ekpor-impor) dan mobilisasi tenaga kerja. Kesiapan Negara bersangkutan merupakan faktor utama untuk dapat memanfaatkan globalisasi dengan baik ;
(2) Bagi Indonesia, globalisasi ekonomi telah memberikan manfaat terhadap peningkatan ekspor, namun pangsa pasar komoditi  unggulan ekspor Indonesia sudah banyak tergerus oleh Negara lainnya, karena kalah bersaing terutama dari aspek harga jual ;
(3) Untuk meningkatkan daya saing ekspor Indonesia, perlu dilakukan pembenahan terstruktur terhadap industri dalam negeri ;
(4) Peran pemerintah sangat diperlukan untuk melakukan pembenahan terhadap kinerja ekonomi makro, efisiensi pemerintahan (birokrasi) yang transparan, efisiensi bisnis melalui penmbenahan aturan/ketentuan yang tidak menambah beban biaya  dan kondisi infrastruktur yang perlu dibenahi, guna meningkatkan daya saing industri.


Oleh 
Diddy Rusdiansyah A.D, SE., MM
Dosen Tetap pada Universitas Widya Gama Mahakam Samarinda



BAHAN BACAAN

1) Bank Indonesia. 2010. Statistik Ekonomi & Keuangan Indonesia 2010. Publikasi November 2010. Diunduh pada tanggal 13 Januari 2010. http://www.bi. go.id/web/id/Statistik/Statistik+Ekonomi+Keuangan+Indonesia/Versi+HTML/Sektor+Moneter/.
2) Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2010. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Indonesia 2010 - 2014.
3) Basri, Faisal & Haris Munandar. 2009. Lanskap Ekonomi Indonesia - Kajian dan Renungan Terhadap Masalah Struktural, Transpormasi Baru dan Prospek Perekonomian Indonesia. Edisi Pertama. Cetakan ke-1. Jakarta; Penerbit Kencana Prenada Group. 
4) Dumary, Drs, MA. 1997. Perekonomian Indonesia. Cetakan Pertama. Yogyakarta; Penerbit Erlangga.
5) Fakultas Ekonomi UI. 2010. Indonesia Economic Outlook 2010 - Ekonomi Makro, Demografi dan Ekonomi Syariah. Jakarta; Penerbit PT. Grasindo.
6) Kuncoro, Mudrajad, Prof, Ph.D. 2010. Ekonomika Industri Indonesia Menuju Negara Industri Baru 2030. Yogyakarta; Penerbit Andi Offset.
7) Marsuki, DR. DEA. 2010. Analisis Perekonomian Nasional & Internasional. Edisi 2. Jakarta; Penerbit Mitra Wacana Media. 
8) Ohmae, Kenichi. 1991. Dunia Tanpa Batas - Kekuatan Strategi Didalam Ekonomi yang Saling Mengait. Cetakan Pertama. Alih Bahasa Drs. F.X. Budiyanto. Jakarta; Penerbit Binarupa Aksara.
9) Stiglitz, Joseph E. 2003. Globalisasi dan Kegagalan Lembaga-Lembaga Keuangan Internasional. Editor Adi Susilo, SE, MM. Jakarta; PT. Ina Publikatama.
10)Tambunan, Tulus T.H. 2005. Implikasi dari Globalisasi/Perdagangan Bebas Dunia Terhadap Ekonomi Nasional (sebuah makalah). Disampaikan pada Seminar Penataan Ruang & Pengembangan Wilayah Departemen PU pada tanggal 1 Juli 2010. Diunduh ulang pada tanggal 30 Desember 2010. http:/www.kadin.indonesia.or.id/enm/images/dokumen/Kadin98-2637-17032008.pdf. 

Read more

1 Manajemen & Penerapannya Dilingkungan Pemerintahan Daerah Dalam Perspektif Reformasi Birokrasi


A. Latar Belakang

Otonomi daerah yang sudah berlangsung sejak duabelas tahun terakhir ini menunjukkan perkembangan positif dilihat dari aspek percepatan pelaksanaan pembangunan, karena bersamaan dengan pelaksanaan otonomi tersebut diikuti pula pemberlakuan kebijakan desentralisasi fiskal. Dalam kaitan ini, sering terjadi kesalahan persepsi bahwa desentralisasi sepenuhnya diartikan sebagai pelimpahan kewenangan untuk sepenuhnya mengatur pengelolaan keuangan, dengan pelbagai potensi sumber pendapatan yang menjadi hak daerah. Namun, yang lebih penting dari itu adalah bagaimana kemampuan Pemerintah Daerah dalam mengatur pengeluarannya, untuk membiayai pelbagai kegiatan/program pemerintahan dan pembangunan yang memberikan kemaslahatan bagi masyarakat, sehingga bukan hanya sekedar percepatan realisasi pembangunannya saja, namun memperhatikan pula ketepatan sasaran dan pemerataan hasilnya.
Pemerintah Daerah sebagai unsur eksekutif berperan dalam domain pelaksanaan kegiatan pemerintahan dan pembangunan, sedangkan unsur legeslatif sepenuhnya bertumpu pada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dengan domain utama melakukan legeslasi terhadap produk hukum daerah dan menentukan hak budget. Kedua domain tadi secara politis sama-sama mengklaim pemenuhan terhadap kepentingan masyarakat, dari setiap tindakan/kebijakan yang diambil. Namun tumpuan akhirnya tetap berada pada domain pemerintahan sebagai pelaksana (eksekutor). Dalam posisi demikian, dan sekaligus mewujudkan sikap pemerintahan yang bertanggungjawab maka tuntutan terhadap tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) merupakan suatu keharusan, sehingga tindakan untuk melakukan reformasi birokrasi tidak terhindarkan pula, termasuk diantaranya terkait dengan perubahan mendasar terhadap manajemen pemerintahan.
Dalam ranah Ilmu Manajemen kontemporer yang terus berkembang pemikirannya, sejalan dengan dunia yang sedang berubah saat ini dan pada perspektif waktu kedepan,  maka timbul pertanyaan; Apakah reformasi birokrasi pemerintahan sudah sejalan dengan perkembangan pemikiran Ilmu Manajemen. Makalah ini mencoba melakukan tinjauan pragmatis antara teori dan realitas implementasi-nya dalam tataran pemerintahan daerah; Diawali dengan pembahasan mengenai perkembangan pemikiran Manajemen itu sendiri, kemudian dilanjutkan pada tataran  implementasi secara pragmatis, dikaitkan reformasi birokrasi berdasarkan pemahaman "good governance".

B. Perubahan peran Organisasi

Peter F. Drucker dalam bukunya Managing in a Time of Great Change (1997); telah menyebutkan beberapa kecenderungan sebagai paradigma yang mempengaruhi manajemen; Dikatakannya bahwa Negara-negara maju yang dipelopori Amarika Serikat sudah bergerak menuju masyarakat jaringan, terutama dalam kaitannya dengan hubungan organisasi dengan para individu yang bekerja didalamnya, yang menyebabkan keharusan penyesuaian manajemen terhadap perilaku, kecakapan dan sikap. Dalam konteks ini, contoh yang paling mudah dilihat adalah outsourcing (pelimpahan pekerjaan ke pihak luar). Organisasi pemerintahan maupun swasta melimpahkan sebagian atau bahkan keseluruhan dari sebuah aktivitas kepada suatu organisasi indipenden yang mempunyai spesialisasi pada jenis aktivitas tersebut. Pemahaman spesialisasi ini tidak hanya menyangkut spesialisasi bagi organisasi yang fokus aktvitas/bisnis tertentu saja (core bisnis), akan tetapi secara individual menciptakan para spesialis yang memiliki keahlian dibidang tertentu.
Dalam buku lainnya, Peter Drucker (1997; hal 75); menyebutkan para pekerja berpengetahuan tidak menghasilkan produk, namun menghasilkan berbagai ide, informasi dan konsep. Pekerja dimaksud adalah spesialis, yang telah belajar untuk mengerjakan sesuatu dengan baik, Namun spesialisasi sendiri adalah suatu hal yang menjemukan; Outputnya perlu digabungkan dengan output spesialis lainnya, sebelum spesialisasi ini bisa menghasilkan.   Perubahan lainnya dapat dilihat pada kecenderungan kearah aliansi sebagai sarana untuk pertumbuhan bisnis, sehingga struktur dan cara menjalankan bisnis tidak lagi didasarkan pada kepemilikan, tetapi bergeser pada kemitraan, yaitu usaha bersama (joint venture).
Tanggungjawab sosial merupakan issue mendasar lainnya; organisasi moderen harus mempunyai kekuatan sosial, bahkan untuk organisasi non bisnis kekuatan sosialnya lebih kuat. Milton Friedman (ekonom terkemuka dan pemenang hadiah nobel) mengemukakan pendapatnya bahwa merupakan suatu kesia-sia belaka, apabila organisasi bisnis hanya memiliki orientasi pada pencapaian kinerja ekonomi. Namun ini, tidak salah, asalkan kinerja ekonomi menjadi dasar pijakan untuk melakukan tanggungjawab sosial, karena tidak mungkin bagi organisasi bersangkutan melakakukan tanggungjawab sosial-nya, tanpa mendapatkan laba terlebih dahulu.
Kemajuan teknologi menyebabkan perubahan dalam kehidupan masyarakat, menjadi masyarakat yang pengetahuan dengan berbasis pada pemanfaatan jaringan teknologi informasi. Masyarakat akan selalu selalu memiliki preferensi yang berubah dengan cepat, Oleh Kenichi Ohmae (2005; hal 293), setiap gelombang teknologi baru akan mempunyai korbannya masing-masing, yaitu mereka ("organisasi') yang tidak mampu mengikuti perubahan zaman (maksudnya "perkembangan teknologi'), sehingga setiap organisasi harus mengerahkan segala kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru. Implikasinya terhadap pendekatan manajemen adalah keharusan mengikuti 3 (tiga) praktek yang sistematis; (1) peningkatan berkelanjutan pada segala sesuatu yang dilakukan organisasi, oleh masyarakat Jepang disebut "Kaizen", yang tujuan utamanya adalah meningkatkan sebuah produk/layanan menjadi benar-benar berbeda dalam dua atau tiga tahun (memperpendek life cycle); (2) kemampuan mengeksploitasi pengetahuan yang dimiliki; dan (3) terus belajar untuk berinovasi.
Ketiga hal disebutkan diatas, menyebabkan dampak ikutan terhadap kebutuhan untuk melakukan perubahan struktur organisasi ("khususnya lingkup bisnis"); desentralisasi, untuk segera mengambil keputusan dengan cepat, karena pertimbangan kedekatan dengan pencapaian kinerja, tuntutan pasar, kemajuan teknologi dan banyak hal lainnya.
Dalam tulisan James A. Champy pada buku The Organization of the Future; Frances Hesselbein et all (1997; hal 9-10); untuk mencapai tujuan organisasi pada perspektif waktu kedepan ada kecenderungan untuk melakukan reengineering, yaitu melakukan perubahan pola kerja organisasi yang tidak harus mengikuti fungsi, tetapi mengikuti proses hingga seringkali melewati batas-batas fungsional.  Perubahan mendasar terhadap pencapaian tujuan organisasi, kadangkala berdampak terhadap upaya untuk membangun kembali bidang usaha (reinventing), ditandai dengan perubahan dalam berbagai unsur organisasi sekaligus. Kombinasi dari tindakan reengineering dan reinventing tadi, maka bagi organisasi bersangkutan akan melakukan; setiap prosedur dilakukan desain ulang, beberapa kesempatan dan strategi baru akan dimunculkan, struktur organisasi dan hubungan kerja akan terjadi pergeseran, baik kedalam maupun keluar organisasi, pekerjaan para manajer disesuaikan kembali dan perubahan terhadap tingkah laku karyawan. Keseluruhan perubahan tadi membutuh proses relatif lama, karena terkait dengan perubahan budaya organisasi, namun tetap harus dilakukan apabila ingin tetap bertahan (survive) ditengah ketatnya persaingan bisnis.
Penulis lainnya; Riq Duques Paul Gaske, dalam buku yang sama (hal 41-51), mengatakan bahwa organisasi besar di masa depan akan melakukan strategi-strategi sebagai berikut; (1) Bertindak seperti perusahaan kecil ; (2) Menciptakan prioritas yang tinggi untuk inovasi; (3) Menciptakan fungsi organisasi yang ramping dan bernilai tambah; serta (4) Menciptakan budaya semangat kerja.

C. Reformasi Birokrasi & Implementasinya

Sebelum membicarakan penerapan  Manajemen secara praktis dilingkungan pemerintahan daerah, terlebih dahulu dibicarakan reformasi birokrasi, dimana menurut Michael Dugget (lihat Asmawi Rewansyah; 2010, hal 123), disebutkan bahwa reformasi birokrasi adalah proses yang dilakukan secara kontinyu untuk mendesain ulang birokrasi, yang berada dilingkungan pemerintah dan partai politik, sehingga berdaya guna dan berhasil guna ditinjau dari aspek hukum dan politik.
Adapun dasar pemikiran perlunya dilakukan upaya reformasi ini di Indonesia, ditentukan oleh; Pertama, perubahan paradigma sistem pemerintahan, yaitu perubahan dari sistem pemerintahan yang otoriterian-sentralis ke sistem pemerintahan demokratis-desentralisasi. Kedua, kondisi obyektif birokrasi pemerintahan  yang  dirasakan sudah tidak relevan lagi, diantaranya terdapat fakta-fakta; (1) Kelembagaan pemerintahan yang gemuk; (2) tidak didukung SD - Aparatur yang memiliki etos kerja, karena lemahnya perhatian pada aspek kesejahteraan; (3) sistem administrasi yang rumit dan berkonotasi berbiaya ekonomi tinggi; (4) budaya kerja kurang berdisiplin, bahkan cenderung terjadinya KKN; dan (5) kejenuhan masyarakat terhadap kualitas pelayanan yang diberikan pemerintah.
David Osborne dan Peter Plastrik (2001; hal 21); menegaskan bahwa dalam dunia yang berubah dengan cepat, revolusi teknologi, persaingan ekonomi global, pasar yang mengalami demassalisasi, masyarakat yang semakin terdidik dan kritis, pelanggan ("masyarakat yang dilayani") semakin menuntut dan keterbatasan pembiayaan publik, maka penerapan birokrasi yang bersifat monopoli atas ke bawah yang tersentralisasi, akan terjadi terlalu lamban, tidak responsif dan tidak mampu menampung perubahan (inovasi).
Dari banyak pemikiran untuk mengatasi hal tersebut, salah satunya merujuk pada langkah-langkah reformasi mendasar yang diajukan oleh David Osborne dan Ted Gaebler (1999), dimana reformasi yang relevan untuk dibahas lebih lanjut adalah menjadikan Pemerintahan yang Kompetitif - Orientasi pada Persaingan Kedalam Pemberian Pelayanan & Berjiwa Entrepreneur, dimana perbedaan dengan sistem birokrasi adalah sebagai berikut :


Disalin ulang dari Syafuan Rozi Soebhan (2000; hal 5).

Merujuk pada pemikiran diatas, penerapan praktis yang saat ini menjadi tren dilingkungan pemerintahan daerah adalah pembentukan unit pelayanan satu atap (terpadu), yang semula diawali dengan pembentukan Sistem Administrasi Manunggal Dibawah Satu Atap (SAMSAT) dalam hal pengurusan STNK dan BPKB, yang didalamnya terdiri 3 (tiga) Instansi berbeda, yaitu Dinas Pendapatan Daerah, Satlantas Polda dan PT (Persero) Asuransi Jasa Raharja. Perkembangan selanjutnya sistem pelayanan satu atap ini sudah mencakup jenis pelayanan lainnya, seperti; (1) pengurusan perizinan berupa IMB, SITU dan SIUP; (2) pembuatan KTP, Kartu Keluarga dan Akte Kelahiran; serta (3) pelayanan kesehatan.
Dalam Good Governance Brief (2009; hal 3); USAID melalui Local Governance Support Program (LGSP), mendefinisikan pelayanan satu atap adalah beberapa pelayanan Pemerintah Daerah yang disatukan dalam sebuah lokasi, dimana tujuan utamanya adalah peningkatan efisiensi dengan menggabungkan proses pelayanan yang berkaitan, mengurangi waktu perjalanan, waktu tunggu pelanggan serta biaya yang harus dikeluarkan.
Secara teoritis, sistem pelayanan satu atap ini sudah menerapkan prinsip-prinsip sistem pemerintahan entrepreneur, yaitu mengendepankan pelayanan (services), dimana didalamnya terdapat beberapa unsur menonjol berupa kerjasama tim lintas fungsional, persaingan tim dan pengendalian oleh pelanggan ("masyarakat") sebagai obyek pelayanan. Oleh James A. Champy, "reengineering" suatu organisasi mengharuskan dilakukannya perubahan pola kerja yang ditentukan oleh proses, sehingga didalam sistem pelayanan satu atap sudah diklasifikasikan sebagai reengineering, mengingat tim yang terlibat merupakan gabungan beberapa organisasi yang berbeda fungsi pokoknya, sehingga disini terjadi pola kerja bersifat lintas fungsional.
Merujuk pada pemikiran Peter Drucker, pelayanan satu atap yang menggabungkan beberapa organisasi yang berbeda fungsi untuk melaksanakan proses pekerjaan ("pelayanan") tertentu, dapat diidentikan sebagai penggabungan "spesialisasi keahlian" yang berbeda. Sebagai contoh SAMSAT, pihak Dinas Pendapatan Daerah memiliki keahlian dalam hal penentuan perpajakan, Satlantas Polda memiliki keahlian identifikasi kendaraan dan PT (Persero) Asuransi Jasa Raharja dalam hal keahlian penentuan besaran asuransi. Kombinasi keahlian (spesialisasi) ini-lah, yang menurut Peter Drucker akan menghasilkan produk ("jasa layanan") yang lebih baik.
Kerjasama tim terjadi persaingan yang sehat, karena pola kerja yang ditentukan oleh proses, masing-masing anggota tim melaksanakan tugas menurut fungsi pokok-nya dalam satu rangkaian proses yang saling terkait. Identifikasi masalah dapat segera ditentukan; kelihatan dengan jelas fungsi mana sebagai pemicu masalah. Kondisi seperti ini-lah yang memberikan nilai positif terhadap terjadinya persaingan yang sehat, karena setiap anggota tim akan berusaha tidak membuat kesalahan. Pengendalian oleh pelanggan dipersepsikan sebagai rujukan dalam mengukur tingkat kepuasan pelanggan disatu sisi, dan disisi lainnya akan menjadi indikator penilaian kinerja organisasi. Kepuasan pelanggan berkorelasi positif terhadap peningkatan kinerja organisasi.
Tindakan "reinventing" dalam hal sistem pelayanan satu atap ini belum menjadi prioritas, karena tidak diperlukan perubahan struktur organisasi. Sesuai dengan pemikiran Kenichi Ohmae; setiap organisasi  yang tergabung didalamnya cukup hanya mendesentralisasikan fungsi-fungsi teknis operasional, keputusan yang bersifat taktis diberikan kewenangan sepenuhnya kepada anggota tim sesuai fungsinya masing-masing. Tuntutan pelayanan dalam masyarakat yang  berpengetahuan, baik oleh Kenichi Ohmae maupun Riq Dugues Paul Gaske, sama-sama merekomendasikan perlunya dilakukan inovasi. Dalam lingkup pelayanan satu atap ini, upaya inovasi tidak berorientasi pada produk, tapi lebih ditekankan pada pola kerja dengan memanfaatkan perkembangan teknologi, guna lebih mempercepat proses pelayanan.
Implementasi lainnya yang dapat dijadikan rujukan dalam penerapan sistem pemerintahan entrepreneur adalah diberlakukannya Undang-Undang No. 23 Tahun 2007 tentang Badan Layanan Umum (BLU). Konsepsi BLU ini pada prinsipnya pemberian desentralisasi pengelolaan keuangan bagi organisasi pemerintahan yang ditetapkan menjadi BLU, baik oleh Presiden bagi organisasi Pemerintah Pusat maupun Gubernur/Bupati/Walikota untuk organisasi pada tingkat pemerintahan provinsi/ kabupaten/kota.
Desentralisasi dimaksudkan dapat berdampak terhadap terjadinya "reinventing", karena organisasi bersangkutan secara fungsional dapat melakukan perombakkan bidang usaha-nya dalam rangka meningkatkan pelayanan, tanpa menimbulkan perubahan struktur organisasi yang berlaku menurut ketentuan pemerintah. Umumnya, perombakkan tersebut mengarah pada pembentukan Strategic Bussiness Unit (SBU), dan sesuai dengan pemikiran Riq Duques Paul Gaske, maka SBU tadi sesuai dengan kecenderungan strategi organisasi masa depan, yaitu bertindak seperti perusahaan kecil dan menciptakan fungsi organisasi yang ramping dan bernilai tambah tinggi.
Dilingkungan jasa layanan kesehatan, khususnya RSUD; pembentukan SBU dilakukan pada Instalasi Rawat Inap (IRNA), yang orientasinya sudah mengarah pada fungsi ekonomi (profit oriented), tanpa melepaskan fungsi sosial-nya. Konsepsi dasarnya adalah pelanggan ("pasien") sebagai pengendali (pencipta pasar), dimana pelanggan yang memiliki latar belakang ekonomi yang kuat menghendaki kualitas pelayanan medik lebih baik, dan tarif sepadan dengan fasilititas dan tindakan medik yang diberikan. Berdasarkan konsepsi tadi, maka pembentukan SBU dilakukan dengan membentuk Paviliun, yang dapat diidentikan dengan perusahaan kecil, dengan struktur organisasi yang ramping dan lebih menekankan pada pelaksanaan fungsi, keputusan operasional dilimpahkan sepenuhnya, sehingga pelayanan dapat dilaksanakan dengan profesional, cepat dan tepat waktu. Aliansi strategis terjadi dalam skala internal, berupa kemitraan antar Instalasi, misalnya dari Instalasi Penunjang Medik berupa Unit Laboratorium dan Radiologi, akan akan berperan menyediakan layanan uji lab dan foto rontgen yang diperlukan untuk diagnosis medik lanjutan, tanpa SBU bersangkutan membentuk unit kerja tersendiri untuk keperluan tersebut.
Tanggungjawab sosial diwujudkan dalam bentuk subsidi silang (cross subsidiary), keuntungan SBU ("Paviliun") digunakan untuk menutup kekurangan biaya operasional kesehatan bagi pasien tidak mampu (kelas ekonomi). Bukankah ini landasan pemikirannya dapat dibenarkan oleh Milton Friedman, sebagaimana disadur oleh Peter Drucker; tidak mungkin peran sosial dikedepankan tanpa terlebih dahulu mewujudkan kinerja ekonomi (profit).
Dari gambaran diatas, pembentukan SBU dilingkungan RSUD mengandung banyak pemenuhan prinsip-prinsip sistem pemerintahan entrepreneur, antara lain :
1. Memberdayakan (empowering) semua potensi yang ada untuk memberikan pelayanan melalui kerjasama tim (team work), dengan melakukan kemitraan dan sekaligus menjadikan adanya persaingan yang sehat (competion) diantara unit kerja yang ada ;
2. Menghasilkan dana (funding outcomes), sehingga mampu memberikan subsidi silang bagi pasien tidak mampu ;
3. Menjadikan pelanggan sebagai faktor kendali (customer driven) dan menjadikan pasar (market) sebagai peluang untuk memberikan pelayanan terbaik.

D. Kesimpulan
Reformasi birokasi yang orientasi-nya bergeser dari sistem pemerintahan birokratis manjadi sistem pemerintahan entrepreneur, menyebabkan perubahan mendasar, diantaranya terhadap struktur organisasi pemerintahan, yang tanpa sadari sudah sejalan dengan perkembangan pemikiran organisasi kedepan. Dalam skala kecil dan faktual diwujudkan dengan pembentukan unit kerja pelayanan sistem satu pintu (terpadu) dan Badan Layanan Umum (BLU), yang hasilnya dapat dibuktikan, dan dapat dijadikan inisiasi bagi kegiatan pemerintah lainnya.
Perubahan-perubahan yang dicontohkan diatas merupakan positifisme dan normatifisme Ilmu Manajemen  dalam ranah pemerintahan, yang saat ini memasuki tahap reformasi.


P e n g a n t a r
Tanpa disadari bahwa pelaksanaan otonomi daerah yang sudah berlansung dalam duabelas tahun terakhir ini, sejalan dengan beberapa perubahan mendasar dibidang ilmu manajemen, terutama dalam kaitannya dengan perubahan organisasi sebagai dampak daripada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek). Organisasi dimasa depan, baik dalam lingkup pemerintahan maupun swasta (bisnis), cenderung akan mengarah pada spesialiasi dan pembentukan sistem jaringan kerja, disamping melakukan desentralisasi pengambilan keputusan. Di Indonesia, kecenderungan tadi diwujudkan dengan keinginan bersama untuk melakukan reformasi birokrasi, yaitu menjadikan  pemerintahan yang kompetitif, berorientasi pada pemberian pelayanan. Dalam konteks ini beberapa pengalaman praktis (best practice) dapat dijadikan rujukan, seperti pemberian pelayanan terpadu sistem satu pintu dan penerapan Badan Layanan Umum (BLU).  Kedua contoh tadi telah membuktikan bahwa organisasi pemerintahan dapat lebih efisien dan efektif dalam memberikan pelayanan prima kepada masyarakat, tanpa dihambat sistem birokrasi yang kaku. Diharapkan keberhasilan ini dapat merambah pada pelbagai aspek pelayanan birokrasi lainnya, diawali dengan perubahan pola pikir (mind set) para pelaku birokrasi itu sendiri, yaitu mampu memposisikan diri sebagai entrepreneur. Tulisan ini mencoba memberikan sedikit gambaran tentang perubahan manajemen dimaksud, yang memiliki relevansi terhadap pelaksanaan otonomi daerah, khususnya dalam lingkup optimalisasi pemberian pelayanan kepada masyarakat, sejalan dengan keinginan menjadikan birokrasi pemerintahan yang efisien dan efektif.  

Oleh
Diddy Rusdiansyah A.D, SE., MM., M.Si
Dosen Tetap Pada Universitas Widya Gama Mahakam Samarinda


Daftar Pustaka
1) Drucker, Peter F. 1997. Managing in a Time of Great Change. Alih Bahasa Agus Teguh Handoyo. Jakarta; PT. Elex Media Komputindo.
2) Drucker, Peter F. 1997. The Effective Executive. Alih Bahasa Agus Teguh Handoyo. Jakarta; PT. Elex Media Komputindo.
3) Hesselbein, Frances, Marshal Goldsmith & Richard Bechard (editor). 1997. The Organization of the Future. Alih Bahasa Ahmad Kemal. Jakarta; PT. Elex Media Komputindo.  
4) Ohmae, Kenichi 2005. The Next Global Stage - Tantangan dan Peluang di dunia yang Tidak Mengenal Batas Kewilayahan. Alih Bahas Achmad Fauzi, S.S. Jakarta; PT. Indeks.
5) Osborne, David dan Ted Gaebler. 1999. Mewirausahakan Birokrasi - Mentrasformasi Semangat Wirausaha kedalam Sektor Publik. Penerjemah Abdul Rosyid. Cetakan Kelima, Mei 1999. Jakarta; PT. Pustaka Binaman Pressindo.
6) Osborne, David dan Peter Plastrik. 2001. Memangkas Birokrasi - Lima Strategi Menuju Pemerintahan Wirausaha. Penerjemah Abdul Rosyid dan Ramelan. Cetakan Kedua (revisi), Febuari 2001. Jakarta; Penerbit PPM.
7) Rewansyah, DR. Asmawi, MSc. 2010. Reformasi Birokrasi Dalam Rangka Good Governance. Cetakan Pertama. Perbruari 2010. Jakarta; PT. Yusaintanas Prima.
8) Soebhan, Syafuan Rozi. 2000. Model Reformasi Birokrasi Indonesia (sebuah paper). Diunduh tanggal 30 Desember 2010. PPM LIPI. http://www.bpkp.go.id/ Unit/sutra/reformasi.pdf.  
9) Usaid. 2009. Pembaharuan dalam Manajemen Pelayanan Publik Daerah - Tantangan dan Peluang Dalam Desentralisasi di Indonesia. Publikasi Local Governance Support Program (LGSP). Juli 2009. http://www.usaid.ksap.gov/ pdf.docs/PNADQ133.pdf.



Read more

Delete this element to display blogger navbar

 
© Kabar Perbatasan Kaltim | Design by Blog template in collaboration with Concert Tickets, and Menopause symptoms
Powered by Blogger