2013 © Diddy Rusdiansyah. Diberdayakan oleh Blogger.

Ads 300 x 600

Recent Posts

2 Perlunya Perdagangan Lintas Batas Laut Dimasukan Dalam Revisi Border Trade Agreement (BTA) Tahun 1970 - Suatu Tinjauan Teoritis



BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Border Trade Agreement (BTA) Tahun 1970 yang merupakan perjanjian/kesepakatan perdagangan lintas batas antara Indonesia -  Malaysia, telah ditetapkan pada tanggal 24 Agustus 1970 lalu; dan sampai saat ini belum pernah dilakukan peninjauan ulang (revisi) secara substantif terhadap beberapa materi kesepakatan yang sudah tidak relevan lagi (out of date), sehingga dikaitkan dengan perkembangan yang ada saat ini maupun perspektif waktu kedepan, terutama dalam hubungannya dengan ekonomi dan perdagangan dilingkungan ASEAN, baik dalam kerangka AFTA maupun akan terbentuknya AEC ditahun 2015 mendatang (Kompas, Selasa, 5 Maret 2013).
Sebagaimana telah disebutkan diatas, terdapat beberapa kesepakatan yang sudah tidak sesuai lagi (lihat Diddy Rusdiansyah, 2013), diantaranya yang paling prinsip adalah terkait dengan; (a) penentuan nilai perdagangan lintas batas (threshold value for border trade) yang sewajarnya; (b) jenis barang yang dapat diperdagangkan, baik secara kualitatif maupun kuantitatif; dan (c) cakupan wilayah perdagangan lintas batas antar Negara,  dimana  pada  BTA  Tahun  1970  cakupan  wilayah dimaksud  lebih  ditekankan  pada
perbatasan darat;  sebagaimana  dikatakan  oleh   Hasjim Djalal (2013). Ketiga hal prinsip tersebut sudah diindikasikan bias dari ketentuan BTA seharusnya, seperti nilai perdagangan yang ditetapkan sebesar RM 600/orang/ bulan - dalam kenyataan sudah tidak mencukupi lagi, karena dengan jumlah uang  yang sama diukur berdasarkan nilai paritas daya beli-nya (purchasing power parity) di kedua negara, telah menyebabkan penurunan kuantitas barang yang dapat dibeli, sementara tuntutan terhadap kuantitas barang tetap atau bahkan meningkat, sehingga secara tidak langsung nilai perdagangan tadi lebih dari RM 600, sejalan dengan peningkatan harga (inflasi) di kedua Negara.
Penentuan seberapa besar nilai perdagangan dalam konteks saat ini bukan merupakan permasalahan lagi, karena setelah diberlakukannya AFTA dan akan diberlakukannya AEC; berkorelasi terhadap pengenaan tarif kepabeanan (duty) yang rendah atau bahkan ditiadakan (nihil), sehingga secara fiskal dampaknya tidak signifikan. Namun permasalahan mendasarnya adalah perlunya ada indikator penentu besaran nilai perdagangan lintas batas yang wajar. Dalam konteks ini harus ada kesepakatan indikator pemicu-nya (trigger); apakah menggunakan indikator pendapatan perkapita (disposible income), pengeluaran penduduk atau targeting inflation (lihat Diddy Rusdiansyah, 2013)
Ketiga indikator diatas akan menghasilkan nilai perdagangan yang berbeda, terutama penggunaan indikator pendapatan perkapita dan pengeluaran penduduk, yang dipilah menjadi 2 (dua), yaitu pengeluaran penduduk perkotaan dan  pengeluaran penduduk pedesaan. Di Malaysia kedua indikator tadi relatif lebih besar, sehingga nilai perdagangan yang terbentuk menjadi lebih besar dibandingkan Indonesia - sebagai konsekwensi sebaliknya, yaitu  relatif lebih rendahnya kedua indikator tersebut di Indonesia. Disisi lainnya, implikasi dari hubungan moneter antara kedua Negara yang berbeda penggunaan mata uang-nya; rupiah (Indonesia) - ringgit (Malaysia), lebih tepat menggunakan mata uang lainnya sebagai acuan konversi timbal balik (reciprocal), dengan mempertimbangkan kestabilan nilai kurs serta sifatnya yang merupakan hard currency; dapat diterima di kedua Negara; di Indonesia US $, euro EU, poundsterling Inggris dan yen Jepang, merupakan preferensi portofolio (A. Tony Prasetiantono; 1995; 92).
Jenis produk yang diperdagangkan menurut BTA Tahun 1970, dipihak Indonesia lebih ditekankan pada komoditas hasil bumi (ekstraktif), sedangkan dipihak Malaysia berupa komoditas hasil olahan (manufacture), termasuk barang-barang modal untuk keperluan industri skala kecil. Perkembangan ekonomi di kedua Negara selama 43 tahun sejak ditetapkannya BTA dimaksud telah menyebabkan perluasan produk (kualitatif) yang diperdagangkan, seperti LPG (gas) dan BBM (oil). Proses pembiaran diversifikasi produk perdagangan ini, apabila terus berlangsung maka dapat dipastikan dampaknya terhadap peningkatan nilai perdagangan, baik nilai individualnya yang sebesar RM 600/orang/bulan maupun nilai akumulasinya secara absolut; simultan dengan meningkatnya kuantitas barang - akibat dari penurunan daya beli uang (inflasi), guna tetap mempertahankan kebutuhan hidup (barang-barang primer) selayaknya.
Jenis produk perdagangan lintas batas yang diatur dalam BTA Tahun 1970 lebih ditekankan pada pemenuhan kebutuhan pokok untuk hidup selayaknya bagi penduduk kedua Negara yang saling berbatasan (sempadan). Perkembangan ekonomi dikedua Negara, tentunya berdampak terhadap peningkatan kesejahteraan, sehingga peningkatan kebutuhan hidup sudah bergeser - tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup atas barang-barang primer saja, namun sudah mencakup pula barang-barang sekunder lainnya, khususnya dipihak Indonesia. Term of trade dari kegiatan perdagangan lintas batas ini tentunya lebih menguntungkan bagi Malaysia, karena nilai imbal balik barang-barang olahan memberikan nilai tambah lebih besar, dibandingkan barang dagang dari Indonesia yang bertumpu pada komoditas ekstraktif. Namun, dengan harga yang lebih murah, maka permintaan komoditas ekstraktif Indonesia oleh Malaysia terus mengalami peningkatan, terutama komoditas hasil pertanian dan perikanan, akibat dari peningkatan kesejahteraan penduduk perbatasan Malaysia, disamping peningkatan kegiatan ekonomi Malaysia yang menjadikan komoditas pertanian/perikanan dari Indonesia sebagai bahan baku industri. Hal ini sangat terasa dalam hubungan dagang antara Nunukan (Kalimantan Timur) dan Tawao (Sabah).
Cakupan wilayah perdagangan lintas batas menurut BTA Tahun 1970, seperti dikatakan Hasjim Djalal, lebih mengakomodirkan kepentingan hubungan dagang di kawasan perbatasan darat Indonesia - Malaysia, sedangkan untuk kawasan perbatasan laut hanya disinggung secara tidak langsung, yaitu penggunaan perahu berbobot 20 m3 sebagai moda angkutan, dengan muatan barang setara RM 600 setiap kali jalan. Bobot perahu sebesar itu tidak layak untuk jalur transportasi laut; selain perkembangan teknologi transportasi, yang pada akhirnya bobot (tonnage) perahu yang ada sekarang lebih dari itu.
Ditinjau dari aspek hukum disebutkan bahwa rujukan kawasan perbatasan dalam BTA adalah apa yang telah didefinisikan dalam Border Crossing Agreement (BCA), dimana rujukan BTA Tahun 1970 adalah BCA Tahun 1967, dan saat ini merujuk pada BCA Tahun 2006; disebutkan bahwa pengertian tentang perbatasan adalah berlandaskan pada pengertian yang berlaku di masing-masing Negara; dan di Indonesia sendiri adalah berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara - disini telah menyebutkan adanya cakupan perbatasan laut, termasuk Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005 tentang Pulau-Pulau Kecil Terluar - apabila pulau-pulau tersebut berbatasan laut dengan Negara lain.
Dalam konteks hukum ini seperti dikatakan oleh Hasjim Djalal (2013), di laut ada hak-hal lewat kapal-kapal asing, baik atas dasar innocent passage melalui perairan disekitar kepulauan maupun perairan teritorial; atau dalam kerangka transit passage disekitar selat-selat yang dipakai untuk keperluan pelayaran internasional (seperti ALKI); atau dalam kerangka archipelagic sealanes passage melalui wilayah perairan tertentu disekitar perairan kepulauan/teritorial. Demikian pula,  ada hak-hak Negara lain yang telah diatur dalam  UNCLOS maupun rezim-rezim hukum laut yang telah disepakari sebelumnya, terutama dengan pihak Malaysia. Keseluruhan aturan/ketentuan tadi patut menjadi perhatian dalam merumuskan perdagangan lintas batas laut, yang akan diakomodir dalam peninjauan ulang BTA Tahun 1970.
Akumulasi terhadap semua hal diatas, dan tuntutan yang berkembang sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk di kawasan perbatasan antara Indonesia - Malaysia, yang diikuti peningkatan kesejahteraan penduduk di kawasan tersebut, maka prinsip hidup saling membutuhkan (simbiosis mutualisme) terus berkembang - penduduk kawasan perbatasan Indonesia mendapatkan kebutuhan barang olahan (sekunder) lebih murah dari Malaysia, karena mata rantai perdagangan yang lebih pendek, dibandingkan dengan pasokan barang yang sama dari dalam negeri, akibat sistem logistik nasional yang belum optimal dalam mendukung kebijakan penggunaan produk dalam negeri di kawasan perbatasan (termasuk pulau-pulau kecil terluar).  Penduduk kawasan perbatasan Malaysia sendiri mendapatkan barang primer (komoditas ekstraktif) lebih murah, apabila mendatangkannya  langsung dari kawasan perbatasan Indonesia.
Kondisi diatas, dikaitkan dengan perkembangan selama 43 tahun tidak ada perubahan BTA Tahun 1970, maka memunculkan bentuk perdagangan lainnya, yang bertolak belakang dengan BTA, terutama berhubungan dengan nilai perdagangan dan produk yang diperdagangkan, yang muncul dari kesepatakan lainnya. Sebagai contoh, di kawasan Brunei, Sabah, Philipina Selatan (Mindanau dan sekitarnya) serta Indonesia (Kalimantan Timur bagian utara, di sekitar Kabupaten Nunukan); berkembang apa yang disebutkan dengan barter trade (lihat Ramli Dollah et al, 2007). Bentuk perdagangan ini lahir dari kesepatan BIMP EAGA. Demikian pula halnya dengan Riau (termasuk Kepulauan Riau), kegiatan ekonomi - perdagangannya dilandasi pada kesepakatan SIJORI.
Kegiatan perdagangan, baik dalam kerangka barter trade (BIMP EAGA) maupun SIJORI yang terjadi dalam cakupan wilayah perbatasan laut, sebagaimana telah disebutkan diatas sudah tidak sejalan lagi dengan BTA Tahun 1970; nilai perdagangannnya sudah melebihi RM 600; dan yang lebih penting lagi pemahaman barang dalam ranah BTA adalah barang kebutuhan pokok, yang dapat diidentikkan dengan "barang bawaan" oleh para pelintas batas antar Negara, khususnya penduduk kedua Negara yang menggunakan pas lintas batas ataupun paspor; sementara dalam ranah barter trade - barang dimaksud merupakan "barang dagangan", dimana di Malaysia sendiri sudah ditetapkan agensi dan pelabuhan keluar/masuk barang, sehingga memudahkan untuk memungut bea keluar/masuk (duty).
Adanya dualisme implementasi perdagangan antara Indonesia - Malaysia; dapat dikatakan demikian dalam implementasi pragmatisnya; Ini harus segera diakhiri, dimana cara yang paling tepat untuk itu adalah melakukan perluasan ketentuan BTA, tidak hanya ditekankan pada perdagangan di kawasan perbatasan darat saja, namun mencakup pula perdagangan di kawasan perbatasan laut, dengan segala konsekwensinya yang telah terjadi selama ini yang perlu diakomodir. Perluasan BTA ini sangat relevan dengan rencana untuk melakukan peninjauan ulang (revisi) BTA Tahun 1970, selaras dengan akan terbentuknya AEC dan semakin intensif-nya regionalisasi perdagangan, dimana AEC sendiri merupakan perluasan dari AFTA. Antara ASEAN dan China telah melahirkan blok perdagangan berupa ACFTA yang mulai berlaku efektif pada tahun 2010, dan terakhir ini antara USA dengan UE (melibatkan pula Jepang); akan melahirkan Trans Pasifik Partnership (TPP) - merupakan blok perdagangan dengan tujuan utama  meminimalisasikan tarif dalam perdagangan barang, menghapus/mengurangi hambatan dalam perdagangan barang, jasa dan investasi, mengharmonisasi-kan aturan dan standar dalam perdagangan serta investasi, yang nantinya diharapkan dapat mendorong peningkatan kegiatan ekonomi dan perdagangan antara USA dan UE   (Kompas, Jum'at, 5 Pebruari 2013). Keberminatan Jepang  untuk bergabung dalam TPP ini, karena langkah liberalisasi ekonomi dan perdagangan bebas diprediksikan akan mampu menggerakkan perekonomian Jepang (Kompas, Sabtu, 9 Maret 2013).

1.2. Tujuan Terhadap Usulan Revisi
Usulan peninjauan ulang (revisi) terhadap beberapa ketentuan dalam BTA Tahun 1970, yang dianggap sudah tidak relevan lagi untuk saat ini maupun perspektif waktu kedepannya adalah bertujuan untuk :
1.2.1. Memberikan landasan hukum atas perluasan cakupan BTA yang tidak hanya mencakup kegiatan perdagangan lintas batas di kawasan perbatasan darat saja, namun mencakup pula perdagangan di kawasan perbatasan laut; antara Indonesia - Malaysia ;
1.2.2. Menumbuhkan kegiatan perdagangan penduduk kawasan perbatasan di kedua Negara. Khususnya bagi Indonesia, tumbuhnya kegiatan perdagangan akan diikuti dengan upaya pengembangan potensi ekonomi lokal - berbasis pada pemanfaatan sumber daya alam (ekstraktif) setempat yang dapat dijadikan unggulan (comparative advantage);
1.2.3. Mendorong adanya kegiatan investasi yang dilakukan oleh penduduk Indonesia - Malaysia dalam memanfaatkan potensi ekonomi disekitar kawasan perbatasan kedua Negara ini ; dan
1.2.3. Mencegah tindakan illegal trading yang umumnya terjadi dalam perdagangan di kawasan perbatasan laut kedua Negara, sebagai implikasi positif dari adanya aturan hukum yang mengatur perdagangan di kawasan ini, yang sebelumnya merupakan perdagangan tradisional yang tidak mengacu pada aturan BTA ;
1.2.4. Menciptakan tambahan pendapatan bagi Negara, karena diberlakukan-nya pungutan bea masuk/keluar (duty) yang diatur dalam ketentuan BTA ; dan
1.2.4. Mengendalikan kegiatan perdagangan antar penduduk kawasan perbatasan kedua negara menjadi lebih tertib dalam kawasan perbatasan yang telah disepakati menurut aturan/ketentuan masing- masing, sebagaimana disebutkan dalam ketentuan BCA.

1.3. Pokok-Pokok Materi Perubahan
Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa peninjauan ulang (revisi) terhadap BTA Tahun 1970 adalah terhadap beberapa materi yang bersifat prinsip untuk dapat dilakukan penyesuaian, yaitu :
1.3.1. Cakupan wilayah perdagangan yang diatur dalam BTA sudah mengakomodir pemahaman kawasan perbatasan, yang mencakup perbatasan darat dan perbatasan laut, sebagaimana diatur dalam BCA. Pembatasan ini menjadi batasan toleransi terhadap pemberlakuan atas pemanfaatan BTA hanya pada kawasan tertentu yang sudah ditetapkan secara pasti, termasuk kepastian penduduk yang dapat memanfaatkannya. Diluar itu semua dapat dianggap sebagai tindakan illegal; Disamping kepentingan untuk mendukung kebijakan penggunaan produksi dalam negeri ;
1.3.2. Penduduk yang dapat melakukan perdagangan lintas batas merujuk sepenuhnya pada BCA, yaitu penduduk yang bertempat tinggal (berdiam) di kawasan perbatasan yang masuk dalam area of access dari setiap Kecamatan (district) yang sudah disepakati sebagai exit/entry point. Penduduk dimaksud minimal memiliki pas lintas batas (PLB) ;
1.3.3. Perdagangan di kawasan perbatasan laut ini idealnya membatasi jarak (batas laut) antara exit/entry point di Indonesia dengan exit/entry point di Malaysia - Ini akan berkorelasi dengan penggunaan moda angkutan- nya. Penggunaan perahu berkapasitas 20 m3 sudah tidak relevan lagi, sehingga perlu ada kesepakatan ulang terhadap gross tonnage (GT) moda angkutan laut. Penggunaan moda angkutan laut pada perdagangan lintas batas laut ini perlu ada pembatasan GT-nya, untuk menghindari penggunaan moda angkutan yang sudah dikategorikan sebagai perdagangan konvensional ;      
1.3.4. Penentuan nilai perdagangan lintas batas, khususnya untuk barang-barang bawaan yang menjadi kebutuhan hidup sehari-hari penduduk kawasan perbatasan di kedua Negara. Nilai perdagangan ini ditentukan berdasarkan atas 3 (tiga) indikator utama, yaitu; (a) pendapatan perkapita; (b) pengeluaran penduduk, dimana berdasarkan publikasi Badan Pusat Statistik (BPS) - pengeluaran penduduk pada kawasan perbatasan, dapat dikategorikan sebagai pengeluaran penduduk pedesaan; dan (c) targeting inflation ;
1.3.5. Besarnya nilai perdagangan tidak menggunakan ringgit Malaysia (RM), namun menggunakan US $, sebagai hard currency yang diterima kedua belah pihak, walaupun nilai kurs-nya sendiri berfluktuatif ;
1.3.6. Jenis barang diperdagangkan dipilah menjadi 2 (dua), yaitu; (a)  barang bawaan, yang merupakan barang-barang kebutuhan pokok (primer), baik berupa komoditas hasil bumi (ekstraktif) maupun barang-barang hasil olahan industri. (b) barang dagangan, yaitu kelompok barang yang tidak termasuk dalam kelompok barang bawaan ;
1.3.7. Barang dagangan dan juga barang bawaan yang nilai perdagangannya sudah melebihi batasan nilai perdagangan yang ditetapkan, dapat dikenakan pajak (duty) sesuai ketentuan berlaku ;
1.3.8. Keluar/masuk penumpang dan barang harus ditetapkan pada tempat (exit/entry point) yang telah ditetapkan masing-masing Negara, untuk memudahkan didalam melakukan pemantauan, terutama pemantauan terhadap keluar/masuk barang.

BAB II
MANFAAT - IMPLIKASI - URGENSI PENINJAUAN ULANG BTA

2.1. Manfaat yang Didapatkan
Dilakukannya peninjauan ulang (revisi) terhadap BTA 1970 ini dapat memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak, terutama berhubungan dengan :
2.1.1. Memberikan kepastian hukum dalam implementasi perdagangan lintas batas laut, yang selama ini belum terakomodasikan sepenuhnya dalam ketentuan BTA ;
2.1.2. Mendorong upaya peningkatan kesejahteraan penduduk kawasan perbatasan di kedua Negara, melalui kegiatan perdagangan dan peluang pengembangan investasi berbasis pada pemanfaatan potensi ekonomi yang merupakan keunggulan kawasan bersangkutan ;
2.1.3. Menambah pendapatan bagi Negara, karena adanya pungutan kepabeanan (duty) atas kegiatan perdagangan lintas batas ini, terutama pungutan kepabeanan dari kegiatan perdagangan lintas batas laut ;
2.1.4. Menekan terjadi tindakan illegal trading, sebagai implikasi dari tertibnya kegiatan perdagangan lintas batas antar Negara, melalui kegiatan pengendalian kegiatan perdagangan.

2.2. Implikasi yang Ditimbulkan
Beberapa manfaat yang akan diterima sehubungan dengan peninjauan ulang BTA Tahun 1970 yang sifatnya lebih memperluas cakupan wilayah perdagangan lintas batas ini, akan menimbulkan beberapa implikasi, diantaranya yang paling prinsip adalah :
2.2.1. Diformalkannya kegiatan perdagangan lintas batas laut yang selama ini dikenal dengan istilah barter trade (perdagangan tradisional), dalam satu kesatuan dengan BTA - mengharuskan dilakukannya pengendalian perdagangan, terutama pada kawasan perbatasan laut; melalui penetapan exit/entry point tunggal lalu lintas barang dari dan ke kawasan tertentu di setiap Negara ;
2.2.2. Pengendalian kegiatan sebagaimana dimaksud, secara institusional harus ada keterlibatan Aparatur Pemerintah yang menangani urusan pungutan kepabeanan (duty) dan keamanan, termasuk urusan keimigrasian - apabila exit/entry point tadi menjadi jalur lalu lintas pergerakkan orang antar Negara ;
2.2.3. Untuk menunjang upaya pengendalian oleh Aparatur terkait diperlukan pembenahan fasilitas fisik yang cukup refresentatif, guna memperlancar arus pergerakkan orang/barang ;
2.2.4. Kawasan perbatasan di Indonesia yang memiliki potensi ekonomi yang dapat menjadi unggulan perdagangan lintas batas, perlu didorong untuk meningkatkan nilai tambah (value added) atas komoditas yang diperdagangkan, sehingga berimplikasi terhadap langkah pembinaan teknis dan mendorong kegiatan investasi oleh para pelaku usaha, dengan memberikan insentif investasi ;
2.2.5. Penggunaan moda angkutan perdagangan lintas batas laut harus terdaftar di kedua Negara.

2.3. Urgensi Perlunya Peninjauan Ulang
2.3.1. Landasan Filosofis
Border Trade Egreemnet (BTA) Tahun 1970 pada saat disepakati oleh Indonesia - Malaysia, pada awalnya lebih mengakomodir kegiatan perdagangan lintas batas darat; dan dalam perkembangan selanjutnya intensitas kegiatan perdagangan di kawasan perbatasan laut lebih besar, baik menyangkut nilai perdagangannya maupun jenis barang yang diperdagangkan - kesemuanya itu tidak sejalan dengan batasan aturan yang telah ditetapkan dalam BTA Tahun 1970. Pembiaran seperti ini disatu sisi memberikan keuntungan bagi penduduk kedua Negara, berupa tumbuhnya kegiatan ekonomi kawasan yang berkorelasi terhadap peningkatan kesejahteraan penduduk; Namun disisi lainnya, tindakan ini merupakan kegiatan illegal yang dasar hukumnya tidak ada.

2.3.2. Landasan Sosiologis
Realitas peningkatan kegiatan perdagangan di kawasan perbatasan laut ini, sebagai implikasi dari tidak adanya perubahan (revisi) BTA Tahun 1970, yang hingga saat ini sudah berlangsung selama ± 43 tahun; melahirkan bentuk perdagangan lainnya yang bersifat informal - lahir dari kesepakatan lainnya antara Indonesia-Malaysia, sehingga secara de facto diakui semua pihak, karena sudah menjadi tuntutan dari kepentingan penduduk kedua Negara; sebaliknya secara de yure tidak ada pengaturan legalitasnya. Dualisme penerapan bentuk perdagangan ini secara pragmatis harus dijadikan dalam satu aturan BTA, yang mengakomodir kegiatan perdagangan di kawasan perbatasan darat dan laut. Ini secara psikologis akan memberikan kepastian hukum, sehingga dalam aspek kehidupan sosial penduduk yang berdiam di kawasan perbatasan akan terdorong untuk mengembangkan usaha-usaha ikutan yang memberikan nilai tambah atas komoditas unggulan. Muara akhirnya adalah menciptakan kesejahteraan penduduk.

2.3.3. Landasan Yuridis
Diperluasnya cakupan BTA pada rencana peninjauan ulang BTA Tahun 1970, dengan mengakomodirkan perdagangan lintas batas laut, yang selama ini dikatakan sebagai perdagangan tradisional,  akan lebih memberikan kepasian hukum terhadap implementasi perdagangan lintas batas diantara penduduk Indonesia - Malaysia, guna melengkapi implementasi BCA.

BAB III
KETERKAITAN ATURAN

3.1. Dasar Keterkaitan Aturan
Perluasan terhadap pemberlakukan BTA pada dasarnya merujuk pada BCA, yang mengatur secara prinsip cakupan area of access daripada entry/ exit point terhadap pemanfaatan BTA dan penduduk yang berhak untuk melakukannya, namun demikian aturan yang lebih luas lagi sebagai rujukan yuridis formil lainnya menurut Hasjim Djalal (2013) adalah :
3.1.1 Hak lintas Malaysia barat dan timur melalui koridor di laut Natuna/Anambas sesuai perjanjian 1982 antara Indonesia-Malaysia ;
3.1.2 Hak lintas ALKI melalui laut Natuna/Karimata (dari Laut China Selatan, laut Karimata, selat Gasper, laut Jawa dan selat Sunda) ;
3.1.3 Hak tradisional fishing Malaysia di sekitar kepulauan Anambas, di luar 12 mil dari pantai ;
3.1.4 Hak lintas transit melalui selat Malaka/selat Singapura ;
3.1.5 Kebebasan berlayar dan terbang melalui dan di atas ZEE di laut China Selatan ;
3.1.6 Adanya zona tambahan sejauh 12 mil lagi diluar laut teritorial untuk pengawasan keuangan, bea cukai, imigrasi, dan karantina ;
3.1.7 Adanya hak hot pursuit sampai ke batas territorial sea Negara lain (Malaysia) di selat Malaka, laut China Selatan, dan Kalimantan Timur.

3.2. Aturan Terkait Dengan Perdagangan
Dalam cakupan implementasi teknis BTA kedepannya, beberapa aturan/ketentuan lingkup perdagangan yang harus menjadi rujukan adalah :
3.2.1. Undang-Undang 11 Tahun 1995, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai ;
3.2.2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan ;
3.2.3. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2008 tentang Pengenaan Bea Keluar Terhadap Barang Ekspor ;
3.2.4. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 208/PMK.011/2012 tanggal 17 Desember 2012 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk Dalam Rangka ATIGA ;
3.2.5. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 83/M-DAG/PER/12/2012 tentang Ketentuan Impor Produk Tertentu.

BAB IV
P E N U T U P

4.1. K e s i m p u l a n
Rencana peninjauan ulang terhadap BTA Tahun 1970, yang telah diberlakukan selama ± 43 sejak ditetapkan pada tanggal 24 Agustus 1970 - merupakan suatu langkah strategis dalam rangka mengakomodir kepentingan penduduk di kawasan perbatasan Indonesia - Malaysia. Peninjauan ulang BTA dimaksud sifatnya adalah perluasan cakupan perdagangan, yang terdiri dari perdagangan lintas batas darat dan laut, dengan ciri-ciri khas berikut ini :
4.1.1. Kedua cakupan kawasan diberlakukannya perdagangan ini, yaitu darat dan laut rujukannya adalah Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 dan dijabarkan lebih lanjut dalam kesepakatan BCA Indonesia - Malaysia ;
4.1.2. Jenis barang, dipilah menjadi barang bawaan dan barang dagangan, dengan tetap melakukan pembatasan jenis barang; Barang bawaan diprioritaskan untuk kebutuhan pokok penduduk kawasan perbatasan, sedangkan barang dagangan adalah kelompok barang diluar barang kebutuhan pokok (bawaan) yang sudah termasuk barang kebutuhan sekunder ;
4.1.3. Pembebasan bea keluar/masuk untuk jenis barang kebutuhan pokok (bawaan), dengan nilai perdagangan (threshold value of border trade)  yang sudah ditentukan ;
4.1.4. Diberlakukannya bea keluar/masuk (duty) atas barang dagangan yang bernilai komersial, termasuk barang kebutuhan pokok yang sudah melebihi nilai yang ditentukan ;
4.1.5. Penggunaan moda angkutan, khususnya di laut adalah lebih dari 20 m3, disesuaikan dengan jarak perbatasan laut antar kedua kawasan (Indonesia - Malaysia), dan harus dihindari penggunaan moda angkutan yang sudah dikategorikan sebagai kegiatan perdagangan internasional (konvensional). Moda angkutan harus terdaftar di kedua Negara yang berbatasan.

4.2. R e k o m e n d a s i
Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa peninjauan ulang BTA Tahun 1970, sifatnya merupakan perluasan cakupan perdagangan darat dan laut, sehingga implementasinya akan menigkatkan kesejahteraan penduduk kawasan perbatasan dikedua Negara melalui kegiatan perdagangan dan investasi. Oleh karena adanya perluasan cakupan ini, dengan tetap memberikan pembatasan yang bertujuan untuk menjaga kebijakan pemerintah terkait dengan penggunaan produksi dalam negeri, maka direkomendasikan untuk dibentuk Tim yang bertugas untuk mendalami peluang penyesuaian (revisi) BTA Tahun 1070, dengan merujuk aturan/ketentuan yang ada.
Keterlibatan unsur anggota Tim adalah BNPP, Kementrian Perdagangan dan K/L terkait lainnya, beserta Instansi terkait dilingkungan Pemerintah Daerah, yang memiliki kawasan perbatasan dengan Malaysia, yaitu Provinsi Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Riau dan Kepulauan Riau.
 


O l e h :
Diddy Rusdiansyah AD, SE, MM
Kabid. Pembinaan Ekonomi & Dunia Usaha Badan Pengelolaan Kawasan Perbatasan, Pedalaman & Daerah Tertinggal Provinsi Kalimantan Timur 

Referensi Pendukung

Buku Teks/Makalah/Handout

1)Djalal, Prof. DR. Hasjim. 2013. Pentingnya Perdagangan Lintas Batas Tradisional RI - Malaysia Dalam Perspektif Laut (Makalah). Rapat Kerja BNPP tanggal 30 April 2013. Jakarta
2)Dollah, Ramli dan Ahmad Mosfi Mohammad. 2007. Perdagangan Tukar Barang Malaysia - Indonesia : Potensi dan Cabaran (sebuah makalah). Jati Vol 12. Desember 2007.
3)Rusdiansyah. Diddy, SE, MM. 2013. Prospek Perdagangan Bebas Lintas Batas Di Kawasan Perbatasan Kalimantan Timur - Malaysia; Saat ini dan Kedepannya Berdasarkan Pendekatan Pragmatis (makalah). http://diddyrusdiansyah.blogspot.com/.
4)..... 2013. Perdagangan Lintas Batas Di Kawasan Perbatasan Indonesia - Malaysia; Sebuah Kajian Terhadap Implementasi Border Trade Agreement (BTA) Tahun 1970 Di Kalimantan Timur (makalah). http://diddyrusdiansyah.blogspot.com/.

Aturan/Ketentuan Hukum
5)Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara.
6)Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005 tentang Pulau-Pulau Kecil Terluar.
7)Agreement on Border Trade Between the Government of the Republic Indonesia and the Government of the Malaysia, 24 Agustus 1970.
8)Agreement Between the Government of the Republic Indonesia and the Government of the Malaysia on Border Crossing, 12 Juni 2006.

Majalah/Harian Umum
9)Kompas, Harian Umum. Rubrik Ekonomi, terbit Jum'at, 5 Pebruari 2013.
10)Kompas, Harian Umum. Rubrik Ekonomi, terbit Selasa, 5 Maret 2013.
11)Kompas, Harian Umum. Rubrik Utama, terbit Sabtu, 9 Maret 2013.

Read more

3 MENYELAMATKAN SENI KERAJINAN TANGAN TENUN IKAT AOHENG DAN SULAMAN BAHAU DARI KEPUNAHAN - Merefleksikan kiprah seorang Kartini Perbatasan - Theodora Hangin Bang Donggo


Theodora Hangin Bang Donggo (Ibu Hangin)



Kiprahnya dalam mengembangkan seni kerajinan anyaman etnis dayak 
telah menjadikan dirinya sebagai penerus perjuangan kartini, 
tanpa disadarinya sendiri. 

Setiap tahun, tepatnya pada tanggal 21 April; kita selalu memperingati Hari Kartini sebagai manifestasi dari semangat perjuangan kaum wanita Indonesia untuk maju; mencapai kesetaraan jender, tanpa melepaskan kodratnya sebagai wanita. Dalam konteks saat ini, banyak kiprah yang dapat dilakukan oleh kaum wanita, seperti apa yang dituliskan dalam Kompas (Jum'at, tanggal 19 April 2013); disebutkan bahwa kondisi saat ini menjadi titik-titik kritis yang bisa menghambat dalam mencapai MDG, dan selanjutnya menjadi peluang untuk memanfaatkan bonus demografi 2020-2030; berupa peningkatan kesejahteraan. Namun untuk mencapainya tidak mudah, karena tingkat fertilitas total (TFR) para kaum wanita harus diturunkan menjadi 2,01 - 1,87, dimana saat ini masih berada dikisaran 2,6. Demikian pula tingkat pendidikan dan kesehatan masyarakat Indonesia perlu lebih ditingkatkan lagi. Kesemuanya ini mengarah pada bagaimana mengupayakan kesetaraan jender sebagai kunci utama. Ini bukan berarti wanita diatas segalanya, namun harus kita akui bersama bahwa kesetaraan jender tadi akan menyadarkan para kaum wanita terhadap hak-haknya dalam mengatur dirinya, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun pengembangan diri - kesemuanya akan bermuara pada perencanaan jumlah anak yang ideal dan kesempatan menciptakan kehidupan rumah tangga yang lebih berkualitas. Artinya, kembali pada peran wanita terutama wanita muda.
Kiprah diatas tadi merupakan sekedar gambaran umum betapa kaum wanita Indonesia tidak dapat lagi dipandang sebelah mata, baik dalam perspektif kekinian maupun masa yang akan datang. Namun, bagaimana halnya dengan kiprah wanita yang bertautan dengan kehidupan sehari-hari - dalam konteks ini banyak contoh yang dapat dijadikan rujukan keberhasilan, seperti apa yang dilakukan oleh seorang wanita yang bernama Theodora Hangin Bang Donggo. Lahir dari etnis dayak asli - Dayak Aoheng, yang keberadaannya ("suku ini") sebagian besar berada di pedesaan Kecamatan Long Apari - salah satu dari 19 Kecamatan perbatasan di Kalimantan Timur.

Semangat Untuk Terus Belajar
Ibu   Hangin  lahir  di Tiong Ohang (saat ini sudah menjadi ibukota  Kecamatan    Long  Apari),  pada  tanggal 10 Pebruari   1956,   namun   setelah  memasuki masa remaja pindah ke Long Bagun, karena orang tuanya beralasan ingin memberikan pendidikan terbaik bagi putra-putrinya; Ini dapat dimaklumi, mengingat pendidikan tertinggi yang ada di Tiong Ohang saat itu hanya sampai jenjang SD.
Setelah menyelesaikan pendidikan SPG C di Long Iram pada tahun 1971, ibu Hangin  tidak melanjutkan pendidikannya lagi; bukan karena alasan ekonomi ataupun ketidak- mampuan akademik; Semangat untuk belajar tetap bergelora, namun apa daya - keterbatasan jenjang pendidikan lanjutan atas relatif terbatas disekitar wilayah pedalaman (apalagi di kawasan perbatasan) pada saat itu.  Semangat belajar tetap tinggi sampai saat ini, hanya saja semangat  tersebut  diwujudkan  dalam  bentuk  lainnya, yaitu terus belajar untuk mengembangkan kerajinan anyaman asli etnis dayak, terbukti pada tahun 2007 lalu - ibu Hangin mendapatkan penghargaan dari UNESCO atas kiprahnya mengembangkan seni kerajinan ini. Ibu Hangin mampu mensejajarkan kreatifitas seni anyaman etnis dayak dengan etnis sasak (Lombok - Nusa Tenggara Barat, yang menggunakan bahan baku utama anyaman dari bambu), dengan nilai artitistik bervariasi berdasarkan latar belakang etnis asalnya - mengingat setiap etnis dayak berbeda motif kerajinannnya, walaupun sama-sama menggambar hubungan sakral manusia dengan alam sekitarnya, maupun hubungannya dengan Tuhan; Disamping tingkat kerumitan seni anyaman-nya yang cukup tinggi, sehingga man mampu menghasilkan produk seni yang tidak lepas dari akarnya, walaupun ada sentuhan modifikasi seni kontemporer, sebagai implikasi dari permintaan pasar.    
               
Kelebihan Seorang Hangin
Keaslian seni anyaman etnis dayak tetap bertahan, namun permintaan pasar, baik menyangkut motif dan penggunaan bahan baku terus berkembang. Disinilah peran ibu Hangin sangat terasa - mampu mengikuti arah perkembangan pasar. Ibu dari 2 orang anak ini; masing-masing 1 orang putra dan putri; aktif mengikuti pelbagai even pameran (eksebishi) didalam dan luar negeri maupun mengikuti studi banding atas undangan instansi pemerintahan. Dari sini beliau banyak belajar mengenai teknis anyaman dari daerah (suku) lain di Indonesia.

Kelebihan lainnya adalah mampu untuk berbagi ilmu tanpa merasa takut tersaingi; bahkan sebaliknya, dengan berbagi ilmu beliau termotivasi untuk terus belajar. Ini yang menjadi latar belakang; mengapa beliau tetap terus berkiprah pada Yayasan Bhakti Total Bagi Indenesia Lestari - Balikpapan, karena  melalui Yayasan inilah peran edukasi tersebut diimplementasikannya, tidak menonjolkan diri sebagai salah seorang perintis yang telah membesarkan Yayasan tersebut tetap eksis sampai dengan saat ini.


Salah satu motif sulaman etnis dayak Aahong yang ditemui di Long Tuyoq 

Kelebihan berikutnya adalah mampu merubah pola pikir para pengrajin seni anyaman di kawasan perbatasan, seperti di Long    Apari   (dayak  Aoheng),   Bahau   Hulu
(dayak Kenyah) dan Krayan (dayak Lundayeh),  bahwa seni menganyam bukan sekedar pencitraan budaya, akan tetapi dapat memberikan penghasilan tambahan,  selama  pengrajin  bersang-kutan     mau    bersungguh-sungguh   dan
konsisten dalam menjaga kualitas hasilnya. Ibu Hangin telah membuktikan sendiri - Art Shop yang dimilikinya (CV. Matan di Samarinda) berkembang cukup pesat.  Ini bukti kemampuan beliau memperluas jaringan pemasaran, dipadukan dengan kemampuan menjaga kestabilan pasokan yang berada dipedalaman (termasuk kawasan perbatasan). Koneksitas seperti ini lazimnya dilakukan oleh perusahaan yang mampu menerapkan manajemen moderen; bukankah beliau sendiri hanya mengenyam pendidikan sampai jenjang sekolah lanjutan pertama - terlebih lagi koneksitas ke pedalaman/perbatasan, dengan segala keterbatasan pilihan moda angkutannya dan kondisi fisik infrastruktur transportasi yang masih minim, menjadi kendala  tersendiri.  Kenyataannya beliau mampu melakukannya, meskipun dalam skala terbatas. Ini semua ditopang oleh kemauan untuk terus belajar dan ditempa oleh pengalaman lapangan yang terbentuk secara otodidak.    


Obsesi Memecahkan Rekor Muri
Memecahkan rekor Muri bukanlah hal yang mudah; perlu kerja keras dan kerjasama semua pihak yang berkepentingan ("sama kepentingannya"). Pertanyaannya; apa yang menjadi obsesi ibu Hangin - beliau ingin membuat anyaman rotan sepanjang ± 150 - 200 m; membentang sepanjang jembatan sungai Mahakam dalam kisaran tersebut.
Caranya cukup sederhana, yaitu setiap suku/anak suku etnis daya di Kalimantan Timur, paling tidak 15 - 20 suku/anak suku diminta membuat anyaman dari rotan yang panjangnya 10 m dan lebar 2 - 3 m (ditentukan kemudian ukuran pastinya). Motif sesuai suku/anak suku bersangkutan. Dalam batasan waktu yang telah ditentukan semua hasil anyaman tadi dikumpulkan, dan dibentangkan pada momen yang memiliki nilai sejarah, seperti perayaan Hari Kemerdekaan RI atau ulang tahun Provinsi Kalimantan Timur; dan sangat mungkin dilaksanakan bersamaan dengan peresmian jembatan kembar sungai Mahakam.
Motif dirancang terlebih dahulu, dimana pertemuan tepi anyaman satu dengan lainnnya saling bertaut dengan harmonisnya. Motif tersebut sebelum dijadikan anyaman harus ada pengakuan (approval) dari Kepala Adat; bahwa motif tersebut memang benar sebagai motif asli suku/anak suku bersangkutan. Pembentangan anyaman dilakukan oleh setiap suku/anak suku pada momen yang disepakati - pada saat itulah rekor Muri akan diraih. Hasil anyaman disimpan di Museum Mulawarman dan didokumentasikan dalam bentuk buku.
Sederhana saja obsesi tersebut, dan mampu diwujudkan - selama semua pihak yang memang berkepentingan terutama para pencinta dan peduli terhadap kelestarian seni budaya, khususnya seni anyaman asli etnis dayak; mau membantu . jangan kita biarkan ibu Hangin berjalan sendiri; kiprahnya selama ini sudah cukup menjadi goodwill bagi kita untuk merealisasikan obsesi tersebut.
Ini dapat menjadi momentum untuk menghidupkan kembali seni anyaman yang mulai kurang diminati oleh kaum muda di pedalaman (termasuk perbatasan); terbukti dari para pelaku ("pengrajin") yang menggelutinya lebih banyak kaum wanita berusia 35 tahun keatas; dan inipun dilakukan sebagai kegiatan sambilan - pengisi waktu luang, setelah menyelesaikan urusan rumah tangga atau membantu suami berladang. Faktor-faktor penyebab utamanya adalah; Pertama, seni kerajinan ini tidak dianggap sebagai kegiatan produktif yang dapat menghasilkan pendapatn; Kedua, peluangnya pasarnya terbatas dilingkungan sekitarnya, belum ada terobosan untuk penetrasi pasar keluar, akibat keterbatasan informasi pasar dan jalur pengirimannya belum terbentuk; Dan ketiga, masuknya barang-barang moderen yang harganya lebih murah; menjadi disinsentif untuk melakukan inovasi dan berkreasi. Padahal bahan baku yang disediakan alam sekitarnya cukup tersedia.

Selalu Mengedepankan Keaslian
Ciri khas produk seni yang dikembangkan ibu Hangin; selain mempertahankan keaslian motifnya, juga memperhatikan kualitas penggunaan bahan baku dari lingkungan sekitarnya maupun proses pewarnaannya - semua serba alami. Pada Festival Seni Anyaman Adi Kriya Kalimantan di Betara Budaya Jakarta, tanggal 27 Maret - 7 April 2013 (Kompas, Kamis, 28 Maret 2013) - semua yang hadir mengapresiasi produk yang ditampilkan - bernilai artistik tinggi.
Saat ini beliau sedang memikirkan; bagaimana serat ulap dayo (sejenis daun yang banyak tumbuh dihutan Kalimantan Timur terutama disekitar Tanjung Isui); menjadi lebih halus, sehingga dapat dijadikan tenunan ikat yang lebih halus lagi. Kedepannya, tenunan ulap doyo ini akan dijadikan "icon tenun ikat" Kalimantan Timur. Saat ini, akibat proses pengolahan yang masih sederhana, maka tekstur serat yang dihasilkan masih kasar, oleh karenanya tenun ikat yang dihasilkan masih kasar pula. Perkembangan teknologi terkini memungkinkan untuk menghasilkan serat yang cukup halus; dan proses ini sedang menjajaki pemikiran kearah tersebut.

Upaya Penyelamatan Seni yang Akan Punah 
Selain ulap doyo yang identik dengan tenunan asli etnis dayak Benuag; masih ada lagi tenunan lainnya dari dayak Aoheng, namun saat ini sudah tidak ada lagi masyarakat  dayak Aoheng  yang membuatnya,  sehingga  dapat dikatakan  bahwa tenunikat tersebut sudah mendekati kepunahan. Demikian pula, sulaman asli etnis dayak Bahau, walaupun masih ada anggota masyarakat yang membuatnya; akan tetapi dilakukan oleh anggota masyarakat yang sudah usia lanjut, dan rendahnya keberminatan kaum muda untuk melanjutkannya. Berarti, cenderung mendekati kepunahan, apabila tidak dilakukan tindakan untuk menghidupkannya kembali.  



Sulaman etnis dayak Bahau dan Aoheng yang memiliki kesamaan motif, 
sebagai contoh sulaman yang patut kita kembangkan sebagai sulaman asli Kalimantan Timur

Tenun asli dayak Aoheng berdasarkan informasi daii orang-orang tua suku ini, dikatakan bahwa bahan baku utamanya  berasal dari  perpaduan serat kulit kayu, akar gantung dan kapas. Dilihat dari penggunaan bahannya saja sudah cukup kompleks untuk mengolahnya, apalagi menjadikannya sebagai tenun ikat; Sedangkan sulaman dayak Bahau, aslinya terbuat dari benang yang diambil dari perca-perca kain. Tentunya, kompleksitas proses pembautan sulaman ini relatif tidak ada, karena bahan bakunya dapat digantikan dengan penggunaan benang.
Perbedaan kompleksitas kedua hal diatas, tidak berarti harus ada perberdaan upaya penyelamatannya. Oleh karenanya beberapa langkah strategis yang perlu dilakukan; Pertama, menghimpun hasil tenunan dan sulaman yang masih ada - sebagian merupakan hasil tenunan/sulaman lama, peninggalan dari generasi sebelumnya, yang akan dijadikan referensi. Kedua, sebagai kelanjutan upaya pertama tadi adalah mencari anggota masyarakat (pengrajin) yang masih dapat membuatnya, guna mendalami teknis pembuatannya - paling tidak masih dianggap mampu, dan inipun kalau memang masih ada pengrajin dimaksud. Ketiga, apabila langkah kedua tidak dapat dilaksanakan, maka tindakan berikutnya adalah melakukan pengembangan, dengan cara menghimpun para pengrajin yang memiliki keahlian menenun/mensulam - kelompok inilah yang akan melakukan tindakan rekayasa, baik menyangkut teknis pembuatannya maupun penggunaan bahan baku.
Ketiga langkah tadi masih perlu untuk dijabarkan lebih lanjut implementasinya, namun dukungan semua pihak yang berkepentingan (stakeholder) sangat diperlukan, karena ini bukan pekerjaan yang mudah - penyelamatan seni yang akan punah. Kita akan berdosa terhadap generasi mendatang, apabila tidak dilakukan penyelamatan sejak dini. Mari kita dukung ibu Hangin; jangan biarkan beliau jalan sendirian.

Makna sebuah Motif  
Sulaman dayak Bahau dan Aoheng pada dasarnya memiliki motif yang hampir sama  (lihat penyajian foto sebelumnya); Perlu diingat bahwa motif seni kerajinan tangan, baik berupa anyaman, sulaman maupun produk seni lainnya; memiliki makna tersendiri, bukan hanya sekedar seni - akan tetapi sebagai gambaran daripada manifestasi hubungan dinamis manusia (masyarakat dayak) dengan alam sekitarnya, yang telah memberikan penghidupan; juga merupakan manifestasi hubungan manusia dengan penciptaNya, yang kesemuanya diaktualisasikan dengan seni, sehingga wajar setiap motif etnis dayak berbeda - bergantung pada falsafah hidup dan budaya yang terbentuk pada setiap suku/anak suku dayak.
Perkembangan zaman tentunya akan memberikan pengaruh terhadap perkembangan seni etnis dayak, termasuk seni anyaman dan sulaman, namun tidak pada motif dasarnya. Penyesuaian terhadap perkembangan zaman, disamping untuk menjadikannya lebih dinamis sebagai seni kontemporer; dimaksudkan pula untuk mengikuti permintaan pasar, yang cenderung mengarah pada nilai-nilai natural (back to nature).

Munculnya Kartini lain
Mobilitas kehidupan manusia ada batasnya, karena termakan usia - demikian pula ibu Hangin, mobilitasnya sudah mulai terbatas. Perlu ada generasi berikutnya sebagai penerus; Salah satunya adalah para pengrajin yang selama ini telah mendapatkan binaannya secara teknis. Namun itu belum cukup, karena masih diperlukan binaan dalam bentuk lainnya, seperti memberikan kesempatan untuk mengikuti pelatihan, pameran didalam dan diluar negeri serta perluasan peluang pasar.
Dari beberapa bentuk binaan diatas, yang paling prinsip adalah perluasan pasar. karena selain adanya kepastian pasar atas produk seni yang dihasilkan, juga memberikan penghasilan tambahan, sehingga dapat menjadi kegiatan produktif. Kalau ini semua dapat dilakukan . kelak akan muncul kartini-kartini perbatasan lainnya, yang mampu menjaga kelestarian budaya masyarakat perbatasan, khususnya etnis dayak.


O l e h :
Diddy Rusdiansyah A.D, SE., MM
Kepala Bidang Pembinaan Ekonomi & Dunia Usaha Badan Pengelolaan Kawasan Perbatasan, Pedalaman & Daerah Tertinggal Provinsi Kaltim



Read more

2 PERDAGANGAN LINTAS BATAS TRADISIONAL INDONESIA - MALAYSIA : Bagian dari Border Trade Agreement atau Merupakan Hal Terpisah

A. Latar Belakang 

Dalam sepekan ini Badan Pengelolaan Kawasan Perbatasan, Pedalaman dan Daerah Tertinggal (BPKP2DT) Provinsi Kalimantan Timur, disibukan dengan 2 (dua) kegiatan; Pertama, menyelenggarakan rapat kerja terkait dengan usulan terhadap perubahan Border Crossing Agreement (BCA) di Samarinda, pada tanggal 2 April 2013; Dan kedua, menghadiri rapat kerja mengenai perdagangan lintas batas tradisional Indonesia - Malaysia dan Indonesia Philipina, yang diselenggarakan oleh Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP), pada tanggal 3 April 2013 di Jakarta. Kegiatan  disebutkan terakhir, terutama dalam kaitannya dengan perdagangan tradisional antara Indonesia - Malaysia dapat dikatakan masih dalam ranah Border Trade Agreement (BTA).
Kedua kesepakatan (agreement) ini; walaupun terdapat perbedaan ranah (domain) cakupannya, dimana BCA  terkait dengan pengaturan pergerakkan lintas batas orang, sedangkan BTA ada hubungannya dengan pengaturan pergerakkan barang yang bersifat lintas batas antar Negara. Namun disisi lainnya terdapat persamaan dalam hal sama-sama sudah daluwarsa (out of date) - BCA terakhir yang telah disepakati (issued) antara Indonesia dan Malaysia adalah pada tanggal 12 Juni 2006 di Bukit Tinggi (Sumatera Barat), sehingga merujuk pasal (article) 14 ayat (2) BCA dimaksud; disebutkan bahwa 5 setelah ditetapkannya kesepakatan harus dilakukan peninjauan ulang (review). Berarti, pada tahun 2011 lalu BCA Tahun 2006 seharusnya sudah ditinjau ulang. Kenyataannya, sampai dengan tahun 2013 ini belum dihasilkan kesepakatan BCA yang baru - atau dengan kata lainnya sudah daluwarsa 2 tahun.  Sementara BTA Indonesia - Malaysia lebih parah lagi, sejak disepakatinya pada tanggal 24 Agustus  1970 di Jakarta; sampai dengan saat ini belum pernah dilakukan peninjauan ulang,   berarti sudah daluwarsa selama 43 tahun.
Walaupun BCA Tahun 2006 dan BTA Tahun 1970 sudah daluwarsa, akan tetapi masih tetap dijadikan rujukan oleh Indonesia - Malaysia; mungkin saja ini ada kaitannya dengan kesepahaman bahwa sebagai bangsa yang serumpun, semua masalah dapat dibicarakan secara informal, selama masalah tersebut tidak bersifat prinsip yang dapat mengganggu hubungan kedua Negara. Atau dapat dipersepsikan pula bahwa pada tataran implementasinya belum menunjukkan indikasi yang mendesak untuk dilakukan perubahan, semuanya masih berjalan dalam koridor yang dapat ditoleransi kedua belah pihak.
Tulisan ini, walaupun membicarakan tentang BCA, namun pokok pembahasan-nya lebih menekankan pada perdagangan lintas batas tradisional, yang selama ini sudah terjalin antara warga Negara Indonesia dan Malaysia yang berada di sekitar kawasan perbatasan, sebelum diberlakukannya BTA itu sendiri; disamping mengkaji beberapa aturan terkait dengan BTA Tahun 1970.

B. Hubungan BCA - BTA

Sebelumnya telah disebutkan bahwa BCA dan BTA ada keterkaitan erat, sehingga perubahan BCA memberikan pengaruh terhadap BTA, meskipun keduanya berbeda ranahnya (domain). Dalam ketentuan BCA, yaitu kesepakatan tentang exit/entry point (pos lintas batas; PLB), disebutkan pula cakupan area (access of area) yang ada pada setiap PLB. Cakupan area ini menjadi rujukan terhadap penetapan kawasan (area) yang berhak mendapatkan fasiltas perdagangan lintas batas antara Negara, yang diatur menurut ketentuan BTA. Dalam kawasan tersebut sudah terdefinisikan penduduk yang mendapatkan hak-hak melakukan perdagangan dengan nilai perdagangan sebesar RM 600/ orang/bulan, termasuk jenis barang yang dapat diperdagangkan.
Untuk menentukan penduduk yang terdefinisikan dimaksud menjadi ranah BCA, yaitu dibuktikan dengan kepemilikan pas lintas batas, sehingga dengan bukti tersebut penduduk bersangkutan dapat melakukan pergerakkan lintas batas antar Negara, termasuk melakukan kegiatan perdagangan - membawa barang, tanpa dibebani bea keluar/masuk (duty); dan harus diingat bahwa pembebasan bea tadi pada tahun 1970 masih relatif tinggi tarif-nya, sehingga sudah sewajarnya pemenuhan barang-barang kebutuhan pokok bagi penduduk yang berada dikawasan perbatasan kedua Negara dibebaskan dari pungutan bea keluar/masuk. Hal-hal seperti ini telah diatur dengan baik dalam ketentuan BTA Tahun 1970.
Dinamika  perkembangan hubungan Indonesia - Malaysia, pada prinsipnya tidak terdapat indikasi yang menyebabkan perubahan BCA, kecuali pada posisi Indonesia; Perubahan dimaksud hanya sekedar perubahan PLB dan cakupan area-nya - sebagai implikasi adanya pemekaran Kecamatan di kawasan perbatasan yang didefinisikan menurut Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara.
Demikian pula mengenai BTA Tahun 1970, indikasi perubahannya yang paling prinsip hanya berkisar pada penentuan nilai perdagangan (threshold value for border trade) dan penggunaan nilai mata uang (lihat Diddy Rusdiansyah, 2013);  serta apakah perdagangan di kawasan perbatasan laut - dan juga pulau kecil terluar, yang memiliki pebatasan laut dengan Negara lain (selain Malaysia); masih relevan menggunakan aturan BTA, karena pihak Malaysia sendiri - dalam hubungan perdagangan lintas batas dengan Indonesia, khususnya dengan Kalimantan Timur bagian utara (disekitar Nunukan), dan dengan Philipina bagian selatan; menggunakan "barter trade" (lihat Ramli Dollah et al, 2007). Bentuk perdagangan ini (barter trade) merupakan kesepakatan BIMP-EAGA, tidak tunduk pada aturan BTA; Mengingat kesepakatan BIMP-EAGA mengakomodir bentuk perdagangan tradisional yang telah lama dilakukan disekitar kawasan Kalimantan Timur bagian utara - Sabah - Philipina bagian selatan.

C. Perdagangan Lintas Batas Tradisional

Perdagangan lintas batas tradisional tidak dapat disamakan dengan BTA, karena BTA hanya mengatur jenis barang tertentu yang umumnya merupakan barang-barang hasil bumi (ekstraktif) dari pihak Indonesia, dan dari pihak Malaysia berupa barang-barang kebutuhan pokok hasil olahan, termasuk jenis barang untuk keperluan industri yang dapat dikatakan industri skala kecil. Demikian pula nilai perdagangannya sudah ditetapkan sebesar RM 600/orang/bulan atau menggunakan perahu dengan bobot 20 M3, dengan nilai RM 600 setiap kali jalan.
Sementara perdagangan lintas batas tradisional, walaupun cakupan wilayah-nya sama dengan BTA, yaitu kawasan perbatasan antar Negara, namun tidak merujuk pada batasan nilai perdagangan seperti disebutkan diatas (menurut BTA), demikian pula jenis barangnya dapat saja tidak sesuai daftar barang yang disepakati kedua belah pihak; sebagaimana diatur dalam ketentuan BTA, misalnya kayu (logging) - pihak Indonesia tidak memberlakukan barang ini sebagai produk dagangan (barter), sebaliknya pihak Malaysia mencantumkannya sebagai barang yang dapat diperdagangkan (barter).  Ini pada dasarnya identik dengan bentuk "perdagangan bebas lintas batas antara Negara" yang saling berbatasan. Bentuk perdagangan disebutkan terakhir ini berlaku menurut ketentuan konvensi perdagangan internasional, yaitu dikenakan tarif (bea keluar/masuk) dan aturan perdagangan lainnya yang berlaku di Negara bersangkutan, termasuk pengaturan jenis barang yang dapat diperdagangkan.
Namun tetap diperlukan adanya pembatasan kawasan, yaitu hanya mencakup kawasan perbatasan (dan pulau kecil terluar) yang sudah ditentukan masing-masing Negara - maksudnya adalah barang-barang yang diperdagangkan hanya dapat beredar dalam kawasan perbatasan/pulau terluar; keluar dari kawasan tersebut sudah dianggap sebagai barang illegal, sehingga aparat pemerintah terkait dapat melakukan tindakan hukum. Dengan demikian bentuk perdagangan yang diatur dalam BTA, dipadankan dengan bentuk perdagangan tradisional (yang oleh Malaysia dikatakan sebagai barter trade) terdapat adanya kesamaan prinsip, yaitu dibatasinya cakupan kawasan perdagangannya.
Dikaitkan dengan akan terbentuknya Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community; AEC) pada tahun 2015 mendatang (Kompas, Selasa, 5 Maret 2013); mobilitas orang dan barang menjadi bebas, dan yang lebih penting lagi adalah hambatan tarif dan non tarif diminimalkan, sehingga pertanyaan mendasarnya; Apakah masih relevan menggunakan bentuk perdagangan yang diatur dalam BTA.

D. Perluasan BTA - Sebagai Perdagangan Bebas Lintas Batas

Menjawab pertanyaan diatas - memberikan indikasi perlu adanya modifikasi terhadap BTA, yaitu mengkombinasikan aturan BTA dengan perdagangan lintas batas tradisional, karena kenyataan dilapangan menunjukkan bahwa kegiatan perdagangan tradisional ini terus mengalami peningkatan, akan tetapi data pasti jumlah ekspor-impor tidak diketahui secara pasti; terbentur pada dasar hukumya yang belum jelas; disamping peluang terjadinya kegiatan perdagangan illegal, terutama di kawasan perbatasan laut, akibat banyaknya pintu keluar/masuk dan luasnya kawasan yang relatif sulit dipantau secara kontinyu oleh aparat pemerintah.
Dalam kerangka modifikasi ini, maka jenis barang yang telah ditetapkan dalam aturan BTA tetap digunakan sebagai rujukan barang yang dapat dibawa (hand carry) oleh penduduk pemegang pas lintas batas maupun paspor, yang melakukan pergerakkan lintas batas antar Negara - tidak dikenakan bea keluar/masuk (duty). Sedangkan barang-barang lainnya, selama tidak termasuk dalam daftar negatif (negative list) di masing-masing Negara, dapat dikategorikan sebagai barang dagangan bernilai komersial - mengadopsi perdagangan tradisional.
Sebagai barang dagangan yang  bernilai komersial dapat saja  ditempuh kebijakan; Pertama, membatasi jenis barang yang dapat diperdagangkan - walaupun merupakan sedikit perluasan cakupan barang yang sebelumnya tidak masuk dalam kategori jenis barang menurut ketentuan BTA. Kedua, tidak memberikan batasan jenis barang, karena pada akhirnya batasan tersebut akan berakhir dengan sendirinya, apabila AEC berlaku efektif tahun 2015.
Pada penyelenggaraan Lokakarya Perdagangan Bebas di Kawasan Perbatasan, yang dilaksanakan di Nunukan, tanggal 5 Desember 2012 - oleh Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UMKM Provinsi Kalimantan TImur (lihat Diddy Rusdiansyah, 2013), salah satu hasil kesimpulannya adalah memandang perlu untuk dilakukannya kajian terhadap kemungkinan penerapan perdagangan bebas lintas batas antara Nunukan - Tawao. Bentuk perdagangan ini dapat dijadikan bentuk baru pola perdagangan pada kawasan perbatasan (darat dan laut) - seperti dikatakan sebelumnya, yaitu mengakomodir BTA dan perdagangan tradisional.




Skema - Perdagangan Bebas Lintas Batas


Pada skema 1 diatas dapat dilihat bahwa kawasan diberlakukannya perdagangan bebas lintas batas hanya pada kawasan perbatasan dan pulau terluar - perbatasan darat dan laut; Kawasan tersebut memiliki arti strategis dari aspek sistem pertahanan sebagaimana disebutkan dalam dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang selanjutnya dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Sementara untuk pulau-pulau terluar (termasuk yang berbatasan laut dengan Negara lain) diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005 tentang Pulau-Pulau Kecil Terluar. Keseluruhan aturan tadi mengisyaratkan perlunya dilakukan pengelolaan kawasan yang menseimbangkan antara aspek kesejahteraan (properity) dan pertahanan/keamanan (security). Khususnya mengenai pulau kecil terluar ini; Mohammad Ikhwanuddin Mawardi (2009; 238), menyebutkan pulau-pulau ini memiliki potensi ekonomi untuk dikembangkan sebagai wilayah bisnis potensial yang berbasis pada pemanfaatan sumber daya (resource based industry), seperti industri perikanan dan pariwisata.
Salah satu upaya meningkatkan kesejahteraan penduduk kawasan perbatasan dan pulau kecil terluar (sebagaimana disebutkan Mohammad Ikhwanuddin Mawardi) adalah mengoptimalisasikan pemanfaatan potensi setempat melalui kegiatan ekonomi - perdagangan; dan ini tidak perlu dikhawatirkan, karena sudah ada pembatasan, yaitu :
a. Batasan cakupan kawasan diberlakukannya perdagangan, dimana rujukannya adalah Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 dan BCA Indonesia - Malaysia.
b. Batasan jenis barang, terutama  bawaan yang diprioritaskan untuk kebutuhan pokok penduduk kawasan perbatasan yang relatif lebih murah harganya, karena rantai distribusi yang lebih pendek.
c. Batasan pembebasan bea keluar/masuk hanya untuk jenis barang untuk kebutuhan pokok, dengan nilai (threshold value of border trade)  yang sudah ditentukan.
d. Diberlakukannya bea keluar/masuk (duty) atas barang dagangan yang bernilai komersial, termasuk barang kebutuhan pokok yang sudah melebihi nilai yang ditentukan.
e. Penggunaan alat angkutan, khususnya di laut tidak dibatasi tonase-nya (gross tonnage) - namun harus terdaftar di kedua Negara yang berbatasan.
Keseluruhan pembatasan diatas sejalan dengan prinsip memprioritaskan penggunaan produksi dalam negeri - akibat kendala sistim logistik nasional dan mata rantai distribusi yang cukup panjang hingga ke kawasan perbatasan/pulau terluar, menyebabkan harga yang harus dibayarkan penduduk setempat menjadi lebih mahal, dibandingkan harga barang yang sama dari Negara lain yang berbatasan langsung. Dari sudut pandang ekonomi, sangat wajar bagi penduduk perbatasan untuk melakukan kegiatan perdagangan secara langsung, guna mendapatkan harga lebih murah - sepadan dengan tingkat penghasilannya, yang sebagian besar tergerus dengan beban hidup yang cukup tinggi - Peran Pemerintah ("Negara") adalah melakukan "regulasi" agar tuntutan ekonomi yang berkembang dikawasan perbatasan tidak mengarah pada tindakan illegal; dan kenyataan dilapangan seringkali membuktikan masalah ini.
Regulasi dimaksud sifatnya adalah memformalkan realitas yang terjadi dilapangan, dimana rencana peninjauan ulang BTA Tahun 1970 menjadi momentum untuk dapat mensepakati bentuk perdagangan yang sudah mengantisipasi berlakunya AEC - perdagangan bebas kawasan ASEAN. Negara-negara maju, seperti Amerika Serikat bersama dengan Uni Eropa sudah menjajaki pembentukan kawasan perdagangan bebas transatlantik (trans pasific partnership; TPP); untuk keperluan tersebut akan segera dilakukan langkah kerjasama bilateral, dalam rangka menjajaki kemungkinan menghilangkan tarif dalam perdagangan barang, menghapus atau mengurangi hambatan dalam perdagangan barang, jasa dan investasi, mengharmonisasikan aturan dan standar dalam perdagangan serta investasi (Kompas, Jum'at, 5 Pebruari 2013). Demikian pula, Negara Jepang  berminat untuk bergabung dalam TPP ini, karena langkah liberalisasi ekonomi dan perdagangan bebas diprediksikan akan mampu menggerakkan perekonomian Jepang (Kompas, Sabtu, 9 Maret 2013). Langkah yang dilakukan Negara-negara maju tersebut tidak bedanya dengan kerjasama ekonomi - perdagangan diinternal ASEAN - AFTA (Asean Free Trade Area), dimana komoditi tertentu beban tarifnya dijadikan nol persen. Hasil studi Feridhanusetyawan dan Pangestu pada tahun 2002 (dalam Prof. DR. Tulus T.H Tambunan, 2011; 341); menjelaskan adanya manfaat peningkatan kesejahteraan dalam lingkungan Negara-negara ASEAN.
Gambaran diatas - sedikit mengilustrasikan bahwa kekhawatiran untuk menerapkan perdagangan bebas lintas batas; tidak perlu ada, selama regulasinya dapat diatur dengan baik, dengan beberapa implikasi dijelaskan berikut ini.

E. Implikasi Perdagangan Bebas Lintas Batas 

Perdagangan bebas lintas batas antar Negara; walaupun dalam skala kecil tetap membutuhkan fasilitas pendukung berupa exit/entry point (pos lintas batas; PLB) - untuk menampung pergerakkan orang dan barang dalam satu pintu yang dapat dipantau. Idealnya PLB tersebut memiliki fasilitas CIQS dan untuk melancarkan kegiatan perdagangan ada kawasan yang ditetapkan sebagai zona perdagangan (trade zone), di darat maupun laut. Melalui forum KK/JKK Sosek Malindo Provinsi Kalimantan Timur - Peringkat Negeri Sabah sudah pernah ada kesepakatan untuk membentuk Free Trade Zone (FTZ) di Nunukan dan Tawau. Namun sampai dengan saat ini belum ada realisasi, akibat dari belum siapnya infrastruktur dikedua belah pihak.
Pembentukan FTZ di Nunukan (ataupun Sebatik) sudah sejalan dengan model pengembangan kawasan di perbatasan laut/pesisir, yaitu Model Kawasan Perbatasan Laut (Bappenas, 2003). Salah satu fasilitas yang harus disediakan berdasarkan model ini adalah kawasan berikat (bounded area), atau disebut pula sebagai FTZ. Menurut Syarip Hidayat et al (2010; 27); dikatakan bahwa secara umum FTZ (dapat diidentikan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus) memberikan perlakukan khusus dibidang kapabeanan, perpajakan, perizinan, keimigrasian dan ketenagakerjaan.
Ramli Dollah et al (2007), menyebutkan bahwa kelancaran pelaksanaan barter trade didukung oleh penyediaan fasilitas pergudangan (werehousing) sebagai transshipment barang yang akan diekspor/diimpor - demi kemudahan dalam menarik bea keluar/masuk barang (duty) melalui perusahaan (syarikat) yang ditunjuk oleh Kastam Diraja Malaysia. Pelabuhan barter trade, seperti di Sandakan. Tawau dan Lahad Datu merupakan miniatur dari FTZ skala besar yang ada di Labuan. Kedepannya, direncanakan untuk menjadikan Sebatik sebagai kawasan yang akan menerapkan barter  trade (FTZ).
Untuk mengimbangi perolehan atas manfaat barter trade ini (dalam istilah Indonesia - identik dengan perdagangan tradisional antar Negara), seharusnya ada pelabuhan untuk transshipment dari Nunukan/Sebatik menuju Tawau atau sebaliknya - kendala yang dihadapi adalah Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 83/M-DAG/PER/12/2012 tentang Ketentuan Impor Produk Tertentu, khususnya pasal 6 ayat (1) yang hanya menetapkan beberapa pelabuhan, termasuk Pelabuhan Tarakan untuk impor produk tertentu, dimana pada ayat (2); produk tertentu dimaksud adalah makanan dan minuman.        
Merujuk aturan Kementrian Perdagangan ini, jelas mengindikasikan pembatasan terhadap jenis barang - hanya makanan dan minimum, sedangkan dalam aturan BTA masih ada toleransi impor barang-barang untuk keperluan industri, demikian pula dalam perdagangan tradisional, jenis barang yang diperdagangkan lebih dari itu (makanan dan minuman). Sementara pasal 7 Peraturan yang sama tidak menyebutkan kawasan perbatasan/pulau terluar sebagai kawasan yang mendapatkan perlakuan khusus.
Permasalahan inilah yang perlu mendapatkan perhatian utama sebelum membicarakan lebih lanjut mengenai bentuk perdagangan bebas lintas batas - ini merupakan tugas BNPP untuk mencari solusi yang terbaik, yang jelas perdagangan bebas lintas batas masih ada batasan, terutama cakupannya hanya pada kawasan perbatasan/pulau terluar. Perlu diantisipasi perkembangan yang ada, agar tidak mengarah pada tindakan illegal, sehingga menghilangkan manfaat yang seharusnya dapat diterima; Memformalkan tindakan illegal dengan regulasi yang dapat dibenarkan menurut ketentuan berlaku adalah lebih baik, dibandingkan membiarkan tindakan illegal terus berlangsung - karena sesuatu yang illegal pasti ada pihak lain yang menjadikannya sebagai keuntungan pribadi.

F. Langkah Tindaklanjut - Simpulan

Kawasan perbatasan dihadapkan pada banyak kendala dalam upaya pengembangannya; Namun, disisi lainnya mengandung banyak potensi ekonomi yang dapat dikembangkan melalui kegiatan perdagangan, dalam rangka meningkatkan kesejahteraan penduduk. Bentuk perdagangan BTA memberikan pembatasan; dan  dalam kasus tertentu, seperti kegiatan perdagangan Nunukan - Tawau; Sangihe - General Santos; Riau - Malaka; dan Kepulauan Riau - Johor Bahru; Perkembangan perdagangan tradisional (atau menurut Malaysia diistilahkan sebagai barter trade) telah berkembang cukup pesat, baik nilai perdagangannya maupun jenis barang yang diperdagangkan.
Bentuk perdagangan bebas lintas batas dapat menjadi solusi, yaitu mengkombinasikan BTA dan perdagangan tradisional - hanya saja dasar regulasinya perlu ada kesepakatan, peninjauan ulang terhadap BTA tahun 1970 dapat menjadi momentum untuk mengkaji format perdagangan bebas lintas batas ini. Kita perlu menghindari agar tidak terjadi dualisme bentuk perdagangan dikawasan perbatasan/pulau terluar.



O l e h :
Diddy Rusdiansyah AD, SE., MM
Kepala Bidang Pembinaan Ekonomi & Dunia Usaha Badan Pengelolaan Kawasan Perbatasan, Pedalaman & Daerah Tertinggal



Referensi Pendukung

Buku Teks/Makalah/Handout
1) Bappenas. 2003. Strategi dan Model Pengembangan Wilayah Perbatasan Kalimantan. Cetakan Pertama. November 2003. Diterbitkan Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal - Deputi Bidang Otda dan Pengembangan Regional. Jakarta.
2) Dollah, Ramli dan Ahmad Mosfi Mohammad. 2007. Perdagangan Tukar Barang Malaysia - Indonesia : Potensi dan Cabaran (sebuah makalah). Jati Vol 12. Desember 2007.
3) Hidayat, Syarip dan Agus Syarip Hidayat. 2010. Quo Vadis Kawasan Ekonomi Khusus. Cetakan ke-I, Agustus 2010. PT. Rajagrafindo Persada. Jakarta.
4) Mawardi, Mohammad Ikhwanuddin. 2009. Membangun Daerah yang Berkemajuan, Berkeadilan, dan Berkelanjutan. Cetakan Pertama. November 2009. Penerbit IPB Press. Bogor.
5) Rusdiansyah. Diddy, SE, MM. 2013. Prospek Perdagangan Bebas Lintas Batas Di Kawasan Perbatasan Kalimantan Timur - Malaysia; Saat ini dan Kedepannya Berdasarkan Pendekatan Pragmatis (makalah). http://diddyrusdiansyah.blogspot.com/.
6) Rusdiansyah. Diddy, SE, MM. 2013. Perdagangan Lintas Batas Di Kawasan Perbatasan Indonesia - Malaysia; Sebuah Kajian Terhadap Implementasi Border Trade Agreement (BTA) Tahun 1970 Di Kalimantan Timur (makalah). http://diddyrusdiansyah.blogspot.com/.
7) Tambunan, Prof. DR. Tulus T.H. 2011. Perekonomian Indonesia Kajian Teoritis dan Analisis Emperis. Juli 2011. Penerbit Ghalia Indonesia. Bogor.

Aturan/Ketentuan Hukum
8) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
9) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara.
10)Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
11)Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005 tentang Pulau-Pulau Kecil Terluar.
12)Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 83/M-DAG/PER/12/2012 tanggal 27 Desember 2012 tentang Ketentuan Impor Produk Tertentu.
13)Agreement on Border Trade Between the Government of the Republic Indonesia and the Government of the Malaysia, 24 Agustus 1970.
14) Agreement Between the Government of the Republic Indonesia and the Government of the Malaysia on Border Crossing, 12 Juni 2006.

Majalah/Harian Umum
15)Kompas, Harian Umum. Rubrik Ekonomi, terbit Jum'at, 5 Pebruari 2013.
16)Kompas, Harian Umum. Rubrik Ekonomi, terbit Selasa, 5 Maret 2013.
17)Kompas, Harian Umum. Rubrik Utama, terbit Sabtu, 9 Maret 2013.

Read more

3 Menjadikan Badan Pengelola Perbatasan Sebagai Badan Otoritas Khusus - Wacana atau Suatu Keharusan


A. Pendahuluan

Hasil penelitian Kodam VI/Mulawarman, yang telah diseminarkan secara nasional pada tanggal 12 Juli 2012 lalu, di Balikpapan; salah satu isu strategis yang diangkat adalah upaya percepatan pembangunan di kawasan perbatasan, diantaranya mengusulkan peningkatan status Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) dan Badan Pengelola Perbatasan Daerah (BPPD), yang semula hanya sebagai "koordinator" pelaksanaan pembangunan perbatasan, menjadi "Badan Otoritas Khusus Pengelola Perbatasan". Dasar pemikirannya adalah selama ini keterlibatan banyak Instansi Pemerintahan untuk turut berperan aktif dalam pembangunan kawasan perbatasan, sesuai tugas dan fungsinya; berdampak terhadap pemborosan biaya dan sasarannya menjadi tidak fokus (Tim Peneliti KODAM VI/MLW, 2012; 19)

Disisi lainnya fungsi koordinatif secara teoritis hanya memberikan arahan program pembangunan dan memantau pelaksanaan program dilapangan - selanjuntnya menyampaikan masukan (feed back) sebagai langkah penyempurnaan program pembangunan tahun berikutnya, tanpa ada kekuatan untuk memberikan "tekanan" bagi Instansi Pemerintah  terkait; apakah harus melaksanakan atau tidak program dimaksud. Acapkali fungsi koordinatif hanya sebagai upaya menghimpun masukan dan memberikan usulan, yang masih perlu diproses lebih lanjut oleh Instansi terkait - disesuaikan dengan dokumen perencanaan formal yang dimiliki maupun kemampuan keuangannya. Disinilah permasalahan prinsip dari fungsi koordinatif yang dibebankan pada BNPP/BPPD. Sementara upaya percepatan pembangunan di kawasan perbatasan sudah merupakan suatu keharusan yang tidak dapat ditunda.

Penyajian tulisan ini bertujuan untuk; (a) memberikan penekanan terhadap arti pentingnya perluasan peran institusional Badan Pengelola Perbatasan, terutama BPPD, dengan memperhatikan beberapa faktor pendukungnya, seperti kondisi kawasan; dan (b) memberikan tinjauan yuridis formal terhadap perluasan peran  institusional  bagi BPPD  untuk melaksanakan fungsi pelaksanaan (implementatif), yang sifatnya temporer dan residual.

B. Relevansi Badan Ororita Khusus - Perluasan Kewenangan

Pembentukan Badan Otoritas Khusus Pengelola Perbatasan dasar pemikirannya sangat realistis, karena realitas di lapangan acapkali terjadi lemahnya peran dari fungsi koordinatif BNPP/BPPD; disebabkan setiap Instansi berkepentingan untuk melaksanakan peran dan fungsi sektoral-nya dengan baik, serta berkepentingan untuk mencapai sasaran program yang sudah tertuang dalam RPJM Nasional/Daerah dan RENSTRA sektoral-nya masing-masing, walaupun kesepakatan wilayah (spasial) pembangunannya sama, yaitu di kawasan perbatasan.

Peran koordinatif dilingkungan Instansi Pemerintahan bercirikan 2 (dua) hal prinsip, yaitu; (a) keanggotaannya bersifat ad hoc, sehingga keterwakilan anggota dapat berganti-ganti dalam mewakili Institusi-nya; tidak menutup kemungkinan keterwakilan tersebut tidak dalam posisi menentukan; dan (b) tidak dalam kapasitas untuk mengambil peran dan fungsi Institusi teknis yang ada. Kedua hal inilah menjadikan Institusi yang memiliki peran/fungsi koordinatif selalu dihadapkan pada kondisi dilematis, akibat kebijakan/keputusan yang telah ditetapkan bersama; tidak dapat dilaksanakan secara efektif, karena lemahnya komitmen bersama dan ketergantungan implementasi pada Instansi teknis terkait.

Merujuk pada pemikiran James A. Champy (dalam Frances Hesselbein et al, 1997; 9-10); sebenarnya dimungkinkan bagi Institusi Pemerintah untuk melakukan reengineering, yaitu melakukan perubahan pola kerja institusi; tidak selalu bertumpu pada fungsi, tetapi mengikuti proses yang dapat  melewati batas-batas fungsional.  Dalam konteks BPPD, perubahan ini dapat  berdampak terhadap upaya untuk melakukan perluasan fungsi (reinventing), yang pada tahap awalnya diindikasikan dengan perubahan dalam struktur organisasi yang memungkinkan untuk bertindak sebagai pelaksana (eksekutor) program pembangunan dalam cakupan kawasan tertentu ("perbatasan").

Permasalahannya; perubahan status Institusi BNPP/BPPD, yaitu memiliki peran/fungsi koordinatif - implementatif, tidak hanya terkait dengan perubahan aturan hukum (yurisdiksi) institusional-nya saja, namun lebih dari itu, yaitu ada kaitannya dengan hubungan kerja antar BNPP-BPPD-Instansi Pemerintah lainnya,  baik ditingkat pusat maupun daerah, dukungan sumber daya aparatur serta penganggaran (budgeting) kegiatan; Disamping mempertimbangkan kompleksitas permasalahan perbatasan yang dihadapi, mengingat adanya perbedaan luasan spasial dan cakupan kawasan, yang terdiri kawasan perbatasan laut dan kawasan perbatasan darat.

Di Provinsi Kalimantan Timur sendiri, cakupan kawasan dimaksud terdiri dari kawasan perbatasan darat, yang berada di Kabupaten Nunukan, Malinau dan Kutai Barat, sedangkan kawasan perbatasan laut berada di Kabupaten Nunukan, yaitu di sekitar Pulau Nunukan dan Pulau Sebatik. Walaupun luas wilayah perbatasan darat lebih luas dbandingkan dengan luas perbatasan laut, namun juumlah penduduk yang berada di kawasan perbatasan laut/pesisir relatif lebih banyak (padat) - selain itu ketersediaan fasilitas layanan dasar dan infrastrukturnya lebih baik, dan dinamika kegiatan perekeno- miannya lebih baik; sebagai implikasi dari kegiatan perdagangan antara Nunukan - Tawao yang terus berkembang dengan pesat.

C. Tantangan Wilayah dan Implikasinya 

Kawasan perbatasan darat dan laut yang ditangani oleh BNPP cukup luas, terutama laut - yang ada di 12 Provinsi (Cakupan Wilayah Administratif/CWA) di Inonesia, mencakup 38 Kabupaten/Kota (Wilayah Konsentrasi Pembangunan/WKP) dan 111 Kecamatan (Lokasi Prioritas). Ini merupakan tantangan yang memiliki kompleksitas cukup tinggi, tidak hanya mencakup luas wilayahnya saja (spasial), namun ada kaitannya dengan sebaran wilayahnya - dalam bentang yang cukup luas, dengan segala keterbatasan sarana transportasi, khususnya transportasi laut, sementara menurut Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang selanjutnya dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah - kedua aturan hukum (yuridis) tadi dengan jelas menegaskan bahwa kawasan perbatasan merupakan kawasan strategis nasional, sehingga perlu dilakukan pengelolaan kawasannya secara khusus - dalam rangka menjaga kedaulatan Negara; dan ini dipertegas kembali dengan terbitnya Undang-Undang No. 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara.

Pengalaman lepasnya Pulau Sepadan dan Ligitan merupakan pelajaran yang sangat berharga, yang sampai saat ini masih menyisakan masalah, karena pihak Malaysia mulai dengan versi masalah yang lain - masalah zona ekonomi eksklusif disekitar wilayah Pulau Ligitan dan Sepadan; berbenturan dengan kepentingan Indonesia sendiri. Ini baru menyangkut masalah perbatasan di laut; Belum lagi masalah perbatasan darat di Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat dengan Malaysia, NTT dengan Timor Leste serta Papua dengan PNG - masih terdapat beberapa titik batas wilayah (demarkasi) yang belum ada kesepakatan final - outstanding boundary problems (OBP).

Sejarah telah membuktikan bahwa masalah pengelolaan kawasan perbatasan merupakan hal prinsip, secara de facto lepasnya Pulau Sepadan dan Ligitan - karena pihak Malaysia sudah lebih dulu "mengelolanya". Kita tidak ingin masalah ini terulang kembali; pepatah bijak mengatakan "belajarlah dari sejarah" dan "jangan lupakan sejarah". Keberadaan BNPP dan BPPD sudah merupakan langkah yang tepat - sebagai institusi yang secara khusus mengelola pembangunan dan pembinaan masyarakat di kawasan perbatasan; namun masalahnya adalah keterbatasan wewenang.

Apabila mempertimbangkan secara bijak kompleksitas permasalahan pengelolaan kawasan perbatasan, dengan segala implikasinya, baik dilihat secara sosial-ekonomi, politis dan pertahanan/keamanan, pembentukan Badan Otoritas Khusus adalah relevan, tanpa harus membentuk institusi baru - cukup hanya memberikan perluasan kewenangan pengelolaan, tidak semata-mata hanya berwewenang sebagai koordinasi, akan tetapi ada pula kewenangan implementasi (eksekusi).

Keberadaan BNPP ditingkat pusat, dan BPPD Provinsi/Kabupaten/Kota di daerah merupakan mata rantai organisasi pemerintahan yang telah diatur kewenangannya berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Keberadaan BNPP tetap melaksanakan peran dan fungsi yang telah diatur dalam Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2010 tentang BNPP - penekanannya ada pada fungsi koordinasi - pada tataran dearah dapat melaksanakan fungsi implementasi. Antara BNPP dan BPPD fungsi koordinasi dilaksanakan secara intens - dalam konteks pelaksanaan program pembangunan yang menjadi prioritas bersama, merujuk pada ketentuan pasal 4 Peraturan Presiden dimaksud, khususnya butir a, b, e dan f.

D. Pembentukan Badan Otoritas Khusus di Daerah - Kasus Kalimantan Timur

Bagi Provinsi Kalimantan Timur sendiri relevansi pembentukan Badan Otoritas ini adalah;

Pertama, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, yaitu terkait dengan  luasan kawasan; mencapai ± 44.955,82 km2 (darat)  atau  21,54 %  dari  luas  daratan  Kalimantan  Timur   seluas  ±  208.657,74 km2; mencakup 19 wilayah adminstratif Kecamatan, di sepanjang garis perbatasan (border line) yang mencapai 1.038 km (dari batas Kalimantan Barat - Kalimantan Timur di Kabupaten Kutai Barat hingga Kabupaten Nunukan), yang berimplikasi kerawanan terhadap tindakan "illegal" - seperti pelanggaran batas wilayah, illegal logging, illegal trading dan human trafficking, sehingga penanganan aspek pertahanan/keamanan (security aspecs)  perlu mendapatkan perhatian - guna menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Tabel 1.
Jumlah Kecamatan dan Desa, Luas Wilayah serta Jumlah dan Tingkat Kepadatan Penduduk di Kawasan  Perbatasan  Provinsi  Kalimantan Timur


Keterangan : 
1) Luas wilayah daratan.
2) Jumlah penduduk tahun 2011, kecuali Kabupaten Kutai Barat merupakan jumlah penduduk tahun 2010.
Sumber : Diolah dari pelbagai sumber.

Kedua, adanya perbedaan yang cukup mencolok terhadap hasil-hasil pembangunan yang sudah dicapai di kawasan perbatasan Malaysia (Sabah dan Serawak), terutama hasil-hasil pembangunan fasilitas dasar, jaringan infrastruktur transportasi dan tingkat kesejahteraan penduduk,  sehingga  tingkat  kemajuan  sosial ekonomi relatif lebih menonjol dibandingkan kawasan perbatasan Kalimantan Timur; oleh karenanya menimbulkan dampak ketergantungan ekonomi terhadap Malaysia.

Sementara ketersediaan fasilitas dasar di kawasan perbatasan Kalimantan Timur, seperti pendidikan dan kesehatan dapat dikatakan masih minim; dan ini memberikan pengaruh terhadap upaya pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas. Upaya pemenuhan fasilitas pendidikan dan kesehatan dihadapkan pada kendala relatif kecilnya tingkat kepadatan penduduk dan penyebaran penduduk yang cukup luas.

Ketiga, upaya membuka isolasi kawasan perbatasan harus diatasi dengan membangun infrastruktur transportasi dan komunikasi, termasuk dukungan energi kelistrikan yang berkesinambungan, sehingga dibutuhkan pembiayaan yang besar dan waktu relatif lama, karena pelaksanaannya dilakukan secara bertahap (multi years program).

Atas dasar ketiga alasan inilah, maka upaya pengelolaan aspek penciptaan kesejahteraan (welfare aspecs) - melalui percepatan pembangunan di kawasan perbatasan Kalimantan Timur harus dilaksanakan secara terintegrasikan dalam satu institusi yang diberikan perluasan kewenangan mengelola pelaksanaan teknis pembangunan - sekali lagi disini ditegaskan bahwa hakekat perluasan kewenangan tadi tidak merubah struktur kelembagaan sebagai BPPD dan masih dalam koridor hubungan kerja dengan BNPP.

E. Prinsip-prinsip Dasar Perluasan Kewenangan

Perluasan kewenangan bagi BPPD sebagai Badan Otoritas Khusus - untuk melaksanakan pula fungsi pelaksanaan (implementasi), didasarkan pada prinsip-prinsip, sebagai berikut :

1. Fungsi pelaksanaan yang melengkapi fungsi koordinasi BPPD masih ada keterkaitan (linkage) dengan program-program pembangunan yang digariskan oleh BNPP melalui penetapan rencana induk dan rencana aksi (pasal 4 huruf a Keputusan Presiden No. 12 Tahun 2010), dan sesuai dengan kewenangan daerah.

2. Pelaksanaan program tahunan yang merupakan bagian dari kesepakatan program yang mendapatkan prioritas BNPP (pasal 19, 20 ayat 2 dan 21 Keputusan Presiden No. 12 Tahun 2010).

3. Merupakan pelaksanaan program yang bersifat residual; dalam artian bahwa implikasi dari penetapan program pembangunan tersebut sebagai prioritas pembangunan di kawasan perbatasan, maka apabila tidak ada Instansi Pemerintah teknis/sektoral yang melaksanakannya (termasuk menganggarkan pembiayaannya), maka BPPD dapat mengambilalih pelaksanaannya.

4. Untuk melengkapi prinsip residual diatas, dalam pelaksanaan program pembangunan di kawasan perbatasan, menerapkan pula prinsip temporer - yang dimaksudkan sebagai pelaksanaan program yang bersifat sementara waktu; Apabila Instansi teknis/sektoral terkait sudah siap untuk melaksanakannya, maka program tersebut dapat dialihkan pelaksanaannya pada tahapan berikutnya, dan harus menjadi lebih baik lagi hasilnya.

5. Sejalan dengan prinsip temporer diatas, pelaksanaan program pembangunan di kawasan perbatasan oleh BPPD menganut prinsip rintisan - melaksanakan program prioritas yang belum pernah dilaksanakan oleh Instansi teknis/sektoral lainnya.

6. Pelaksanaan program  pembangunan secara teknis didukung dengan kemampuan sumber daya Aparatur BPPD, baik secara internal maupun dukungan dari Aparatur Instansi teknis/sektoral; ini merupakan prinsip kapabilitas.

Dari keenam prinsip tersebut diatas dapat dirunut pokok pemikirannya; bahwa perluasan kewenangan BPPD masih dalam koridor yang dapat dibenarkan, karena; Pertama, program prioritas pembangunan yang dilaksanakan didukung oleh dokumen perencanaan yang merupakan strategi nasional (dibawah koordinasi BNPP). Kedua, perwilayahan pembangunan pada kawasan perbatasan yang sudah didefinisikan menurut Undang-Undang No. 43 Tahun 2008, yaitu Kecamatan di perbatasan yang telah ditetapkan sebagai Lokasi Prioritas.

Ketiga, prinsip residual dan temporer, pada dasarnya memberikan kesempatan Instansi teknis/sektoral sebagai leading sector dalam mendukung percepatan pembangunan di kawasan perbatasan - Apa yang dilakukan BPPD hanya bersifat sementara waktu, mengisi pelaksanaan program yang mendesak dan dibutuhkan masyarakat setempat. Dalam kaitan ini, tidak menutup kemungkinan bahwa program tersebut merupakan rintisan, yang selanjutnya apabila sudah cukup mapan dan berjalan dengan baik, disamping adanya kesiapan Instansi teknis/sektoral-nya, maka sudah menjadi kewajiban BPPD memberikan kesempatan untuk diambilalih - tentunya pengambilalihan ini harus ada kelanjutan pelaksanaannya dilapangan (konsistensi program) dan menciptakan hasil yang lebih baik.          

F. Kelembagaan - Tinjauan Yuridis  

Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat dapat dikatakan sebagai perintis dalam pembenukan institusi pemerintahan yang menangani pengelolaan kawasan perbatasan; Khususnya untuk Kalimantan Timur - institusi dimaksud adalah Badan Pengelolaan Kawasan Perbatasan, Pedalaman dan Daerah Tertinggal (BPKP2DT), yang dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah No. 13 Tahun 2009 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Lain Perangkat Daerah Provinsi Kalimantan Timur, sehingga dibandingkan dengan pembentukan BNPP, yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2010, maka keberadaan BPKP2DT lebih dahulu dibentuk. Sementara itu, untuk memberikan arahan dan sekaligus menseragamkan kelembagaan BPPD, Kementrian Dalam Negeri telah menerbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri  No. 2 Tahun 2011 tentang Pembentukan Badan Pengelola Perbatasan di Daerah, dimana pada  pasal 6 dan 7  disebutkan beberapa kewenangan yang diberikan terutama kewenangan untuk melakukan koordinasi pembangunan di kawasan perbatasan - tidak berbeda dengan ketentuan Peraturan Daerah yang ada, khususnya pasal 26, yang menyebutkan tugas BPKP2DT adalah merumuskan perencanaan, pembinaan, koordinasi dan pengendaian kebijakan teknis sesuai bidang yang ada. Artinya, fungsi untuk melaksanakan kegiatan teknis pembangunan di kawasan perbatasan masih melekat secara fungsional pada Instansi Pemerintah terkait.

Permasalahannya adalah untuk menjadikan BPPD sebagai Badan Otoritas Khusus harus ada sikronisasi dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Presiden maupun Peraturan Menteri Dalam Negeri sebagaimana disebutkan diatas. Oleh Mohammad Ikhwanuddin Mawardi (2009; 156-157), disebutkan bahwa terdapat 3 (tiga) alternatif kelembagaan yang mengelola perbatasan, yaitu lembaga bersifat implementatif, lembaga bersifat koordinatif serta lembaga bersifat implementatif dan koordinatif. Diantara ketiga bentuk lembaga tadi, disarankan pilihan yang tepat adalah lembaga bersifat implementatif dan koordinatif. Inilah yang seharusnya menjadi dasar pemikiran pembentukan BNPP dan BPPD.

Pada tingkat pusat (BNPP) dibentuk keanggotaannya lintas Kementrian/Lembaga Pemerintah Non Kementrian (K/L); lihat pasal 6 Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2010,  yang berfungsi untuk menetapkan kebijakan dan rencana kebutuhan anggaran serta mengkoordinasikan, mengevaluasi dan melakukan pengawasan atas pelaksanaan program pembangunan di kawasan perbatasan (ditegaskan pada pasal 3) - walaupun pada pasal 19; disebutkan bahwa adanya fungsi untuk melakukan integarasi dan sinkronisasi dalam melaksanakan tugas antara BNPP dengan Instansi Pemerintah terkait lainnya ditingkat Pusat - namun inti dari pelaksanaan fungsi BNPP adalah koordinasi (lihat pasal 21 Peraturan Presiden yang sama).

Badan Nasional Pengelola Perbatasan ini memiliki kewenangan untuk memfasilitasi kegiatan koordinatif terhadap program dan anggaran lintas sektoral (pasal 20 ayat 2); dan tidak mengambil tugas serta kewenangan K/L, mengingat fungsi implementatif masih melekat pada K/L teknis terkait. Dalam kerangka otonom daerah - perpanjangan fungsi impelementatif ini dapat digeserkan pada Instansi teknis/sektoral di daerah. Oleh Asmawi Rewansyah (2010; 152); disebutkannya bahwa dalam reformasi birokrasi, khususnya  untuk meningkatkan pelayanan pada masyarakat, maka kesan birokrasi yang bersifat lebih mempercepat proses pelaksanaan program pembangunan harus diutamakan, apalagi ini menyangkut program pelayanan dasar.

Sesuai dengan amanat Undang-Undang No. 43 Tahun 2008 dan pasal 24 Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2010, ditingkat daerah dibentuk lembaga yang sama untuk mengelola pembanguan di kawasan perbatasan; BPPD - dikaitkan dengan keinginan membentuk Badan Otoritas Khusus ini, maka pemberlakuannya secara efektif adalah di daerah, dalam hal ini BPP diberikan kewenangan implementatif. Keberadaan Unit Pelaksana Teknis (UPT) sebagaimana disebutkan pada pasal 13 dan 14 Peraturan Menteri Dalam Negeri yang sama, dapat dijadikan dasar rujukan untuk melaksanakan fungsi implementatif ini.

Berdasarkan uraian diatas maka pembentukan Badan Otoritas Khusus Pengelola Perbatasan di Daerah, termasuk di Kalimantan Timur sangat dimungkinkan, mengingat secara kelembagaan dasar pemikirannya sudah ada sebelum dibentuknya BNPP sendiri (lihat kembali Mohammad Ikhwanuddin Mawardi, 2009, 153-171, pokok-pokok pemikiran pembentukan kelembagaan pengelolaan perbatasan). Pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, cukup jelas wilayah tanggungjawabnya; di Pusat (BNPP) bertindak dalam kewenangan koordinatif, sedang di Daerah (BPP) lebih pada kewenangan implementatif sebagai ujung tombak pelaksanaan pembangunan di daerah dalam kerangka otonomi. Ini dapat diartikan bahwa pembentukan badan tersebut bukan hanya sekedar wacana saja; bergantung pada komitmen bersama untuk memajukan lawasan perbatasan.

G. Mekanisme Pengelolaan Kawasan - Hubungan Kerja Dengan BNPP

Selama ini integrasi pembangunan kawasan perbatasan, pada skala nasional adalah merujuk pada penetapan kawasan sebagai Pusat Kegiatan Strategi Nasional (PKSN) - mengutip Rohmad Supriyadi (2011);  dan penetapan Lokasi Prioritas (LOKPRI) oleh BNPP melalui penetapan Rencana Induk Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan oleh BNPP berdasarkan Peraturan BNPP No. 2 Tahun 2011.  

Ditetapkannya 5 (lima) PKSN di Kalimantan Timur diharapkan dapat menjadi pusat pertumbuhan kawasan sekitarnya. Namun akibat keterbatasan infrastrukuktur transportasi; menyebabkan potensi ekonomi kawasan yang dijadikan dasar rujukan penetapan PKSN ini, tidak dapat dieksploitasi dengan  baik  untuk  kemaslahatan  penduduk  setempat.  Atau  dalam arti kata lainnya, belum dapat terwujudkan, karena kawasan yang ditetapkan sebagai pusat pertumbuhan belum dapat berfungsi.

Sementara LOKPRI merupakan kesepakatan dalam melakukan tahapan kegiatan pembangunan di Kecamatan perbatasan (locus); Batasan wilayah pembangunannya  lebih memperhatikan batasan wilayah administratif pemerintahan terdepan, yaitu "Kecamatan". Ini mengisyaratkan strategi pembangunan yang diterapkan bersifat pemerataan untuk semua Kecamatan yang ada di wilayah perbatasan, karena disini pemahaman  desentralisasi  lebih  ditekankan  pada  "desentralisasi fungsional"  (Afriadi Sjahbana Hasibuan, 2011); atas dasar pertimbangan; bahwa (a) kawasan perbatasan sebagai bentang geografis yang  mempunyai  fungsi sama  dalam konteks  pengelolaan dan pengembangannya; dan (b) bersifat fungsional dalam satu entitas ("gabungan institusi") yang wilayah kerjanya berada dalam satu kesatuan sistem geografis yang tidak seharusnya terkotak-kotak oleh batas administrasi daerah.

Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur; berdasarkan perencanaan pembangunan yang tertuang dalam RPJM Daerah Tahun 2009-2013, membagi perwilayahan pembangunan di kawasan perbatasan, menggunakan konsep berupa penetapan lokasi 14 Desa/Kecamatan sebagai "titik-titik kuat pembangunan". Keempat belas titik kuat dimaksud pada dasarnya tidak berbeda dengan konsep PKSN, yaitu menjadikan Desa/Kecamatan sebagai pusat pertumbuhan, namun konsep titik kuat sudah direncanakan koneksitas transportasinya, baik darat maupun udara.

Sebagai pusat pertumbuhan berdasarkan konsep titik kuat ini sifatnya berjenjang, karena tidak mungkin menjadikan pusat pertumbuhan secara bersamaan, tanpa didukung keterbukaan jalur transportasi, terutama sarana/prasarana jalan. Desa/ Kecamatan yang sudah terkoneksikan jalur transportasinya diharapkan dapat memberikan dorongan pertumbuhan wilayah sekitarnya, sekaligus menjadi batu loncatan untuk mendorong pembukaan jalur transportasi lebih dalam lagi hingga mencapai lokasi titik kuat lainnya yang sepenuhnya berada di kawasan perbatasan. Dikaitkan dengan LOKPRI, maka lokasi titik kuat yang tidak termasuk dalam LOKPRI merupakan Penunjang LOKPRI.



Keterangan :
RPJPN = Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional RPJMN = Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
RPJPD = Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah RPJMD = Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
RKPP = Rencana Kerja Pemerintah Pusat RKPD = Rencana Kerja Pemerintah Pusat
DAK = Dana Alokasi Khusus TP = Tugas Pembantuan
Dekons = Dekonsentrasi Subs = Subsidi Pembangunan
RINDUK = Rencana Induk LOKPRI = Lokasi Prioritas
K/L = Kementrian/Lembaga Pemerintah Non Kementrian Prov/Kab/ Kot = Provinsi/Kabupaten/Kota

Bagan 1 - Mekanismen Perencanaan Pembangunan Sektoral dan Spasial di Kawasan Perbatasan 


Pembagian perwilayahan pembangunan seperti disebutkan diatas mengindika-sikan bahwa strategi perwilayahan di kawasan perbatasan sudah terdapat sinkronisasi antara perencanaan pusat dan daerah - sehingga pertanyaannya; bagaimana dengan sinkronisasi secara sektoral. Tentunya, perlu ada kesepakatan mengenai mekanisme hubungan kerja antara BNPP dengan BPPD. Pada Bagan 1 diatas, mekanisme dimaksud pada dasarnya tidak terdapat perbedaan prinsip - hanya saja dari aspek spasial-nya adalah merujuk pada LOKPRI. Sementara dari pelaksanaan program pembangunan, terutama pelaksanaan teknis di lapangan sepenuhnya diserahkan pada Instansi Pemerintah Daerah, dibawah pemantauan/pengendalian BPPD secara berjenjang - BPPD Provinsi dan BPPD Kabupaten/Kota. Selama ini mata rantai hubungan kerja antara BNPP dan BPPD, khususnya dengan BPPD Provinsi putus, karena secara teknis; pelaksanaan program dilimpahkan pada Kabupaten/Kota terkait  melalui pembiayaan Tugas Pembantuan (TP); atau dilaksanakan langsung oleh BNPP.

Idealnya, BNPP lebih memfokuskan alokasi pembiayaan melalui Dana Alokasi Khusus (DAK), dengan program yang telah disepakati bersama - implementasinya dapat diserahkan pada BPPD Provinsi atau Kabupaten/Kota. Mohammad Ikhwanuddin Mawardi (2009; 109-122); cukup jelas menggambarkan bagaimana tahapan pengalihan dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan menjadi DAK.

Pengalaman selama ini, dan ini dapat juga dikatakan sebagai proses pembelajaran bagi BNPP maupun BPPD; bahwa tuntutan administratif yang harus ditangani BNPP - sebagai pertanggungjawaban didalam mengelola dana TP maupun langsung bertindak sebagai pelaksana teknis dilapangan; banyak mensita waktu untuk mengurusnya, sehingga mengurangi kesempatan waktu yang seharusnya dapat dipergunakan untuk merumuskan pelbagai kebijakan yang bersifat strategis. Apabila kita arif dan bijak menempatkan pasal 4, 19 dan 21 Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2010, sebagai landasan pijakan mengoptimalkan peran BNPP, maka hal-hal yang bersifat taktis ("jangka pendek") diserahkan pada BPPD, karena BNPP masih dapat berfungsi melakukan koordinasi dan pemantauan - tantangan luas kawasan perbatasan (darat dan laut), termasuk pulau-pulau terluar;  dengan segala keterbatasannya, membutuhkan pemikiran yang brilian; dan ini hanya dapat dilakukan; apabila beban pekerjaan yang bersifat taktis dikurangi bobotnya. Riq Duques dan Paul Kasge (dalam Frances Hesselbein et al, 1997; 39-51); menyebutkan ukuran dan sentralisasi ("kasus perusahaan besar" yang dapat dipadankan kelembagaan pemerintahan) - tidak selalu memberikan pengaruh pada peningkatan kinerja. Atau apa yang dikatakan oleh Syaukani HR et al (2002; 213-214); salah satu kesalahpahaman tentang otonomi daerah, daerah dipretensikan belum siap dan belum mampu - pemberian tugas kepada daerah  juga harus diikuiti pelimpahan kewenangan. Kedua pendapat diatas, apabila dirunut berdasarkan ranah manajemen; menegaskan akan arti pentingnya span of control - semakin jauh jarak antara pengambil keputusan dengan tindakan (eksekusi) yang harus diambil, mengharuskan adanya pelimpahan wewenang. Artinya, pengelolaan perbatasan tidak sepenuhnya hanya dapat dilakukan di Jakarta, peran aktif daerah tetap dikedepan, guna memperpendek span of control tadi, Semuanya ini pada akhirnya bermuara pada "trust"  (meminjam istilah Francis Fukuyama) antara BNPP dan BPPD.

H. Penganggaran Keuangan

Umumnya masalah yang dihadapi oleh BPPD dalam menghimpun alokasi dana pada setiap Instansi Pemerintah, yang mengalokasikan dana pembangunan kawasan perbatasan, karena belum adanya keseragaman penganggaran pada APBD, khususnya dalam Daftar Pelaksanaan Anggaran (DPA) tahun berjalan. Ini patut menjadi perhatian, karena dalam setiap Rencana Aksi (Ranaksi) tahunan, setiap Pemerintah Daerah harus mengetahui alokasi dana APBD yang diperuntukkan pada kawasan perbatasan, sehingga untuk mengatasi permasalahan ini perlu adanya kesepakatan penetapan anggarannya secara nasional, mengingat terdapat 12 Provinsi (CWA) dan 38 Kabupaten/Kota (WKP) yang memiliki kawasan perbatasan.

Dalam Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, yang selanjutnya dijabarkan lebih lanjut berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 59 Tahun 2007 tentang Perubahan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006  tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, khususnya pasal 35, yang memberikan kewenangan bagi daerah untuk melakukan klasifikasi program/ kegiatan, sesuai urusan pemerintahan dan kewenangan daerah. Apabila hal ini dapat diwujudkan maka program, pembiayaan dan tolok ukur kegiatan Instansi Pemerintah yang berkiprah langsung dalam percepatan pembangunan kawasan perbatasan, dapat diketahui secara pasti; dan ini akan memudahkan kegiatan pemantauan di lapangan.

I. Dukungan Sumber Daya Aparatur

Dukungan sumber daya aparatur; sebagai implikasi dari adanya pelaksanaan program kerja teknis sektoral oleh BPPD, apalagi dalam statusnya sebagai Badan Otorita Khusus -  mengharuskan tersedianya aparatur yang memahami tugas/pekerjaan teknis, sehingga berdampak terhadap kebutuhan aparatur dari Instansi teknis Pemerintah terkait, baik dalam status diperbantukan atau dipekerjakan.

Pada tingkat BPPD, kebutuhan Aparatur tadi lebih pada tataran teknis, sedangkan BNPP tataran-nya lebih pada strategi kebijakan, sehingga tuntutan terhadap kebutuhan multidisiplin ilmu-nya lebih kompleks; Dan ini proses perekrutannya dapat berasal dari K/L teknis/sektoral - mereka umumnya memiliki pengalaman teoritis yang didukung oleh latarbelakang pendidikan yang sesuai, serta pengalaman pragmatis yang ditempa oleh pengalaman emperik, selama melaksanakan tugasnya di K/L bersangkutan. Pengalaman selama ini membuktikan bahwa pengalaman kerja berdasarkan proses otodidak tidak selalu membawa hasil yang optimal. Pembangunan kawasan perbatasan harus kita sepakati bersama bahwa penanganannya tidak berorientasi pada "working is usually", akan tetapi bekerja penuh dedikasi - semoga ini dapat dipahami.  

O l e h
Diddy Rusdiansyah A.D, SE., MM
Kabid. Pembinaan Ekonomi & Dunia Usaha Badan Pengelolaan Kawasan Perbatasan, Pedalaman & Daerah Tertinggal Provinsi Kalimantan Timur


Daftar Kepustakaan

Buku teks/makalah/hasil peneltian
  
1) Hasibuan, DR. Afriadi Sjahbana, MPA. M.Com; Revitalisasi Pengembangan Wilayah Sebagai Upaya Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Perbatasan (suatu handout). Disampaikan pada Workshop Percepatan Pertumbuhan Ekonoi Wilayah Perbatasan, diselenggarakan DITJEN BANGDA Kementrian Dalam Negeri, tanggal 20 Juni 2011. Jakarta.
2) Hesselbein, Frances, Marshal Goldsmith & Richard Bechard (editor). 1997. The Organization of the Future. Alih Bahasa Ahmad Kemal.  PT. Elex Media Komputindo. Jakarta.
3) HR, Drs. H. Syaukani, Prof. DR. Affan Gaffar, MA dan Prof. DR. M. Ryaas Rasyid, MA. 2002. Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan. Cetakan I. Maret 2002. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
4) Mawardi, Mohammad Ikhwanuddin. 2009. Membangun Daerah yang Berkemajuan, Berkeadilan, dan Berkelanjutan. Cetakan Pertama. November 2009. IPB Press. Bandung.
5) Rewansyah, DR. Asmawi, M.Sc. 2010. Reformasi Birokrasi Dalam Rangka Good Governance. Cetakan Pertama. Perbruari 2010. CV. Yusaintanas Prima. Jakarta. 
6) Supriyadi, Ir. Rohmad, M.Si. 2011; Kebijakan & Strategi Untuk Mendorong Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Kawasan Perbatasan (sebuah handout). Disampaikan pada Workshop Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Perbatasan, diselenggarakan DITJEN BANGDA Kementrian Dalam Negeri, tanggal 20 Juni 2011. Jakarta.
7) Tim Peneliti KODAM VI/MLW. 2012. Executif Summary Penelitian Wawasan Kembangsaan Masyarakat Perbatasan RI - Malaysia di Wllayah Kodam VI/Mulawarman. Juni 2012.

Peraturan-peraturan

8) Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
9) Undang-Undang No. 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara.
10)Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
11)Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.
12)Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah.
13)Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Pengelola Perbatasan.
14)Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 59 Tahun 2007 tenatng Perubahan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah
15)Peraturan Badan Nasional Pengelola Perbatasan No. 2 Tahun 2011 tentang  Rencana Induk Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan.
16)Peraturan Gubernur No. 34 Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2009-2013.

Read more

Delete this element to display blogger navbar

 
© Kabar Perbatasan Kaltim | Design by Blog template in collaboration with Concert Tickets, and Menopause symptoms
Powered by Blogger